Sunday, January 31, 2016

Sisi Lain Postmodernisme Di Indonesia


                Sejarah pembangunan  diluar dari krisis ekonomi yang menjadi kawan setia bangsa ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan, kemakmuran, serta berbagai kenyamanan hidup masyarakat yang kita lihat. Mengobrol di kafe berkelas, berbelanja di sebuah mal, mengikuti acara fashion show eksklusif, mengunjung  tempat wisata mewah, berlibur ke London atau paris bahkan ada juga yang melakukan umroh di tanah suci negara arab tiga kali dalam setahun dan makan di sebuah restoran bergensi hanyalah beberapa dari tanda kemakmuran tersebut.

                Akan tetapi, semuanya seakan berbalik bila mana dampak dari krisis ekonomi yang melanda bangsa kita sampai saat ini bisa dilihat. Gelombang krisis tersebut sesungguhnya telah membawa bangsa Indonesia menuju titik balik sejarah. Krisis menyebabkan mesin waktu perubahan seakan berhenti berdetak dan sejarah pertumbuhan seakan berputar menuju arah yang berlawanan. Dari kemajuan pesat ekonomi menuju kemandekan ekonomi, dari kemakmuran menuju kesengsaraan, dari materi yang berlimpah ruah menuju kelangkaan materi, dari optimisme masa depan menuju pesimisme masa depan.

                Kemakmuran yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan telah membawa masyarakat indonesia ke satu kondisi kehidupan pascamodernitas. Kondisi kehidupan ini terutama di tandai oleh berkembangnya berbagai gaya hidup, merebaknya kelas menengah baru, merajalelanya budaya konsumerisme, bertumbuh suburnya mal dan pusat perbelanjaan, serta berkembangnya beberapa kota sebagai tempat perbelanjaan masa depan. Fenomena ini menjelaskan tentang beralihnya kegiatan ekonomi (belanja) menjadi wahana pembentukan gaya hidup yang merupakan inti dari kebudayaan pascamodern.

                Akan tetapi, gelombang krisis telah mengubah segalanya. Didalam situasi krisis yang kita lihat dan kita rasa, kita tidak lagi mementingkan gaya (gaya makan, gaya liburan, gaya belanja), tetapi bagaimana memenuhi kebutuhan substansial. Segala bentuk kebiasaan kini mendadak berubah menjadi kemewahan. Bahkan beberapa kebutuhan pokok kini sudah menjadi barang mewah.

                Krisis yang menyakitkan tersebut menggiring bangsa kita ke titik balik posmodernitas. Sebuah kapal pesiar mewah posmodernitas yang melaju tiba-tiba hancur berkeping-keping di terpa badai krisis yang menyakitkan.

                Posmodernitas itu sendiri menyababkani satu kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mengandung berbagai kontradiksi. Berbagai fenomena yang saling berlawanan dan tumpang tindih dapat hadir secara bersamaandi dalamnya.

                Kemunculan postmodernitas di indonesia sebagai satu kondisi sosial budaya juga ditandai oleh berbagai kontradiksi yang melekat didalamnya. Hal ini dapat di cermati dari kencenderungan berdampingan secara kontradiktif niai-nilai global dan lokal di dalam gaya hidup masyarakat. Misalnya, kebangkitan nilai-nilai lokal seperti tenaga dalam, paranormal, jin sebagai bagian gaya hidup (ciri postmedernitas), tetapi konteksnya adalah untuk memperkuat nilai-nilai global melalui komoditifikasi (ciri kontradiksi posmodernitas). Beberapa di antara nilai-nilai psostmodernitas yang berkembang di indonesia antara lain :

Pertama, kecenderungan ke arah budaya konsumerisme, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kemunculan masyarakat postmodern di indonesia sebagai fungsi dari meningkatnya kemakmuran. Jean baudrillard mengatakan di dalam Consumer Society (1990) bahwa masyarakat postmodern adalah masyarakat yang dikelilngi oleh dunia benda yang melimpah ruah seingga benda-benda tidak lagi di hargai nilai gunanya, melainkan nilai tanda yang di tawarkan dalam membentuk gaya hidup (kelas, status, gengsi, prestise).

                Kedua, semakin terbentuknya kehidupan sosial oleh berbagai bentuk ilusi dan fantasi. Kafe-kafe ekslusif menjual ilusi ketenaran berupa aksesoris dan pakaian para selebriti atau artis-artis dunia. Media-media seperti TV Media menawarkan produk-produk untuk membangun fantasi tentang kesempurnaan tubuh, kemudahan hidup, dan kecantikan. Fantasi-fantasi tentang kesempurnaan ini sesungguhnya merupakan impor dari nilai-nilai matrealisme ala Amerika, yang kini seakan-akan menjadi kebutuhan dasar. Bahwa setiap objek termasuk manusia harus di buat sempurna karena ia harus ditonton. Masyarakat pascamodern adalah masyarakat tontonan.

                Ketiga, kecenderungan masyarakat kita pada tampilan luar. Ihab Hassan, seorang pencetus postmodernisme, di dalam The Postmodern Turn (1987) melukiskan kebudayaan posmodren sebagai satu kedangkalan. Artinya, kecenderungan penggunaan keanekaragaman simbol yang tidak ada gaung spritual dan keagamaan di dalamnya, misalnya status, prestise, gaya hidup, dan citra.

                Absurditas mewarnai berbagai sisi kehidupan. Kecenderungan akan hal ini di Indonesia semakin nampak. Orang lebih memilih simbol-simbol kemakmuran, seperti kendaraan mewah, pakaian merek dunia, tempat rekreasi atau hiburan seperti kafe berkelas ketimbang ungkapan-ungkapan spritual. Orang lebih mengejar keindahan tubuh atau kemolekan wajah, ketimbang ketenangan jiwa dan pencerahan hati. Orang lebih menyanangi tanda ketimbang makna dari tanda itu seperti plat-plat kendaraan yang di ubah susunanya sehingga menghasilkan satu keunikan kata.

                Keempat, semakin di kuasainya hidup hasrat ketimbang akal sehat. J Lyotard, di dalam Libidinal Economy (1993) melihat logika ekonomi politik dan kebudayaan postmodernitas merupakan paradigma ekonomi postmodern. Artinya, Ekonomi bertumbuh dengan cara menyalurkan setiap hasrat yang menggelora di dalam setiap manusia, hasrat kekayaan, kekuasaan, kemajuan, gengsi, prestise, status dan popularitas.

                Semua pelepasan hasrat itulah yang kita kejar-kejar selama ini di dalam kemakmuran. Hasrat kemajuan, misalnya telah memerangkap bangsa kita di dalam citra dan prestise kemajuan itu sendiri, kita lalu membangun objek-objek untuk mengangkat citra dan prestise, seperti kereta api, mal terluas, gedung termewah, jembatan terpanjang, menara tertinggi, rumah sakit berkelas dan tol laut.

                Padahal, semuanya tak lebih dari sebuah kesemuan. Yang kita perlihatkan kepada dunia hanyalah permukaan kemajuan. Kita tidak pernah mau tahu dengan substansi yang ada di baliknya (korupsi, kolusi, salah urus, salah tunjuk, ekonomi biaya tinggi nepotisme). Kita kehilangan kontrol terhadap hasrat kita sendiri dan akhirnya kehilangan fondasi, akar dan identitas.

                Berbagai gelombang panas krisis seakan-akan menyentak kita dari mimpi panjang dunia pascamodernitas yang penuh janji-janji glaour dan kemewahan permukaan. Kita lalu sadar tersadar dan bertanya-tanya, apakah perubahan ke arah kemewahan, melimpah ruah, gaya hidup dan budaya konsumerisme yang di janjikan kehidupan postmodernitas tersebut merupakan dunia yang betul-betul kita dambakan? Apakah betul itu tujuan dari pembangunan bangsa ini? Apakah nanti setelah badai krisis berlalu kita akan kembali kedangkalan tersebut?

                Krisis di bagsa ini semestinya dapat di jadikan pelajaran bahwa postmodernitas sebagai kondisi kehidupan sesungguhnya menawarkan kita kontradiksi. Kalau kita hanyut di dalam godaan hasrat, kedangkalan, dan permukaan maka kita menjauh dari kedalaman dan kearifan-kearifan masa lalu yang kita miliki.

                Krisis semestinya mampu menyadarkan kita untuk menemukan kembali keseimbangan hidup yang berasal dari kedalaman masa lalu. Kemajuan pembangunan selama ini telah menggiring masyarakat kita ke arah hasrat yang tak terbatas, ke arah kecintaan pada permukaan (prestise, gengsi, citra), yang telah menumpulkan hati, mengikis kepekaan sosial, menggelapkan hati nurani kita terhadap perasaan rakyat yang tiap hari mengalami kelaparan dan sakit lalu kemudian mati. Apa gunanya kita mempunyai harta yang berlimpah ruah, citra, dan kekuasaan bila semuanya tidak bermakna buat orang lain.

                Arti krisis dan titik balik sejarah bukanlah kebuntuan, tetapi bagaimana kita melihat ke belakang, menyadari, dan mengakui kesalahan-kesalahan kita, menemukan kembali kearifan-kearifan yeng telah kita lupakan dan lecehkan, lalu menyusun strategi-strategi baru untuk maju ke depan mencapai kehidupan yang lebih baik. Itulah makna reformasi yang paling sederhana.