Sejarah
pembangunan diluar dari krisis ekonomi
yang menjadi kawan setia bangsa ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan,
kemakmuran, serta berbagai kenyamanan hidup masyarakat yang kita lihat.
Mengobrol di kafe berkelas, berbelanja di sebuah mal, mengikuti acara fashion
show eksklusif, mengunjung tempat wisata
mewah, berlibur ke London atau paris bahkan ada juga yang melakukan umroh di tanah
suci negara arab tiga kali dalam setahun dan makan di sebuah restoran bergensi
hanyalah beberapa dari tanda kemakmuran tersebut.
Akan tetapi,
semuanya seakan berbalik bila mana dampak dari krisis ekonomi yang melanda
bangsa kita sampai saat ini bisa dilihat. Gelombang krisis tersebut sesungguhnya
telah membawa bangsa Indonesia menuju titik balik sejarah. Krisis menyebabkan mesin
waktu perubahan seakan berhenti berdetak dan sejarah pertumbuhan seakan
berputar menuju arah yang berlawanan. Dari kemajuan pesat ekonomi menuju
kemandekan ekonomi, dari kemakmuran menuju kesengsaraan, dari materi yang
berlimpah ruah menuju kelangkaan materi, dari optimisme masa depan menuju
pesimisme masa depan.
Kemakmuran
yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan telah membawa masyarakat indonesia
ke satu kondisi kehidupan pascamodernitas. Kondisi kehidupan ini terutama di
tandai oleh berkembangnya berbagai gaya hidup, merebaknya kelas menengah baru,
merajalelanya budaya konsumerisme, bertumbuh suburnya mal dan pusat
perbelanjaan, serta berkembangnya beberapa kota sebagai tempat perbelanjaan
masa depan. Fenomena ini menjelaskan tentang beralihnya kegiatan ekonomi
(belanja) menjadi wahana pembentukan gaya hidup yang merupakan inti dari
kebudayaan pascamodern.
Akan tetapi,
gelombang krisis telah mengubah segalanya. Didalam situasi krisis yang kita
lihat dan kita rasa, kita tidak lagi mementingkan gaya (gaya makan, gaya
liburan, gaya belanja), tetapi bagaimana memenuhi kebutuhan substansial. Segala
bentuk kebiasaan kini mendadak berubah menjadi kemewahan. Bahkan beberapa
kebutuhan pokok kini sudah menjadi barang mewah.
Krisis yang
menyakitkan tersebut menggiring bangsa kita ke titik balik posmodernitas. Sebuah
kapal pesiar mewah posmodernitas yang melaju tiba-tiba hancur berkeping-keping
di terpa badai krisis yang menyakitkan.
Posmodernitas
itu sendiri menyababkani satu kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mengandung
berbagai kontradiksi. Berbagai fenomena yang saling berlawanan dan tumpang
tindih dapat hadir secara bersamaandi dalamnya.
Kemunculan
postmodernitas di indonesia sebagai satu kondisi sosial budaya juga ditandai
oleh berbagai kontradiksi yang melekat didalamnya. Hal ini dapat di cermati
dari kencenderungan berdampingan secara kontradiktif niai-nilai global dan
lokal di dalam gaya hidup masyarakat. Misalnya, kebangkitan nilai-nilai lokal
seperti tenaga dalam, paranormal, jin sebagai bagian gaya hidup (ciri
postmedernitas), tetapi konteksnya adalah untuk memperkuat nilai-nilai global
melalui komoditifikasi (ciri kontradiksi posmodernitas). Beberapa di antara
nilai-nilai psostmodernitas yang berkembang di indonesia antara lain :
Pertama, kecenderungan ke arah budaya konsumerisme, yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari kemunculan masyarakat postmodern di indonesia sebagai
fungsi dari meningkatnya kemakmuran. Jean baudrillard mengatakan di dalam Consumer Society (1990) bahwa masyarakat
postmodern adalah masyarakat yang dikelilngi oleh dunia benda yang melimpah
ruah seingga benda-benda tidak lagi di hargai nilai gunanya, melainkan nilai
tanda yang di tawarkan dalam membentuk gaya hidup (kelas, status, gengsi,
prestise).
Kedua, semakin terbentuknya kehidupan
sosial oleh berbagai bentuk ilusi dan fantasi. Kafe-kafe ekslusif menjual ilusi
ketenaran berupa aksesoris dan pakaian para selebriti atau artis-artis dunia. Media-media
seperti TV Media menawarkan produk-produk untuk membangun fantasi tentang
kesempurnaan tubuh, kemudahan hidup, dan kecantikan. Fantasi-fantasi tentang
kesempurnaan ini sesungguhnya merupakan impor dari nilai-nilai matrealisme ala
Amerika, yang kini seakan-akan menjadi kebutuhan dasar. Bahwa setiap objek
termasuk manusia harus di buat sempurna karena ia harus ditonton. Masyarakat pascamodern
adalah masyarakat tontonan.
Ketiga, kecenderungan masyarakat kita
pada tampilan luar. Ihab Hassan, seorang pencetus postmodernisme, di dalam The Postmodern Turn (1987) melukiskan
kebudayaan posmodren sebagai satu kedangkalan. Artinya, kecenderungan
penggunaan keanekaragaman simbol yang tidak ada gaung spritual dan keagamaan di
dalamnya, misalnya status, prestise, gaya hidup, dan citra.
Absurditas
mewarnai berbagai sisi kehidupan. Kecenderungan akan hal ini di Indonesia
semakin nampak. Orang lebih memilih simbol-simbol kemakmuran, seperti kendaraan
mewah, pakaian merek dunia, tempat rekreasi atau hiburan seperti kafe berkelas
ketimbang ungkapan-ungkapan spritual. Orang lebih mengejar keindahan tubuh atau
kemolekan wajah, ketimbang ketenangan jiwa dan pencerahan hati. Orang lebih
menyanangi tanda ketimbang makna dari tanda itu seperti plat-plat kendaraan
yang di ubah susunanya sehingga menghasilkan satu keunikan kata.
Keempat, semakin di kuasainya hidup
hasrat ketimbang akal sehat. J Lyotard, di dalam Libidinal Economy (1993) melihat logika ekonomi politik dan
kebudayaan postmodernitas merupakan paradigma ekonomi postmodern. Artinya,
Ekonomi bertumbuh dengan cara menyalurkan setiap hasrat yang menggelora di dalam
setiap manusia, hasrat kekayaan, kekuasaan, kemajuan, gengsi, prestise, status
dan popularitas.
Semua pelepasan
hasrat itulah yang kita kejar-kejar selama ini di dalam kemakmuran. Hasrat
kemajuan, misalnya telah memerangkap bangsa kita di dalam citra dan prestise
kemajuan itu sendiri, kita lalu membangun objek-objek untuk mengangkat citra
dan prestise, seperti kereta api, mal terluas, gedung termewah, jembatan
terpanjang, menara tertinggi, rumah sakit berkelas dan tol laut.
Padahal,
semuanya tak lebih dari sebuah kesemuan. Yang kita perlihatkan kepada dunia
hanyalah permukaan kemajuan. Kita tidak pernah mau tahu dengan substansi yang
ada di baliknya (korupsi, kolusi, salah urus, salah tunjuk, ekonomi biaya
tinggi nepotisme). Kita kehilangan kontrol terhadap hasrat kita sendiri dan
akhirnya kehilangan fondasi, akar dan identitas.
Berbagai
gelombang panas krisis seakan-akan menyentak kita dari mimpi panjang dunia
pascamodernitas yang penuh janji-janji glaour dan kemewahan permukaan. Kita lalu
sadar tersadar dan bertanya-tanya, apakah perubahan ke arah kemewahan, melimpah
ruah, gaya hidup dan budaya konsumerisme yang di janjikan kehidupan
postmodernitas tersebut merupakan dunia yang betul-betul kita dambakan? Apakah betul
itu tujuan dari pembangunan bangsa ini? Apakah nanti setelah badai krisis
berlalu kita akan kembali kedangkalan tersebut?
Krisis di
bagsa ini semestinya dapat di jadikan pelajaran bahwa postmodernitas sebagai
kondisi kehidupan sesungguhnya menawarkan kita kontradiksi. Kalau kita hanyut
di dalam godaan hasrat, kedangkalan, dan permukaan maka kita menjauh dari
kedalaman dan kearifan-kearifan masa lalu yang kita miliki.
Krisis
semestinya mampu menyadarkan kita untuk menemukan kembali keseimbangan hidup yang
berasal dari kedalaman masa lalu. Kemajuan pembangunan selama ini telah
menggiring masyarakat kita ke arah hasrat yang tak terbatas, ke arah kecintaan
pada permukaan (prestise, gengsi, citra), yang telah menumpulkan hati, mengikis
kepekaan sosial, menggelapkan hati nurani kita terhadap perasaan rakyat yang
tiap hari mengalami kelaparan dan sakit lalu kemudian mati. Apa gunanya kita
mempunyai harta yang berlimpah ruah, citra, dan kekuasaan bila semuanya tidak
bermakna buat orang lain.
Arti krisis
dan titik balik sejarah bukanlah kebuntuan, tetapi bagaimana kita melihat ke
belakang, menyadari, dan mengakui kesalahan-kesalahan kita, menemukan kembali
kearifan-kearifan yeng telah kita lupakan dan lecehkan, lalu menyusun
strategi-strategi baru untuk maju ke depan mencapai kehidupan yang lebih baik. Itulah
makna reformasi yang paling sederhana.
No comments:
Post a Comment