Tuesday, February 2, 2016

Indonesia Dan Budaya "Anda Harus Bayar"


Pepatah Belanda  voor wat hoort wat bila kita terjemahkan dalam bahasa indonesia “untuk sesuatu ada sesuatu”, atau  sesungguhnya keselamatan atau kebahagiaan mengandung biaya, pada zaman Orde Baru agaknya telah ditafsirkan dan dipraktikkan secara harfiah. Penafsiran ini seja zaman kolonial Hindia Belanda memang telah berjalan pula. Korupsi dan kolusi telah muncul pula dalam tubuh birokrasi dan perdagangan, tetapi tidak terlalu merata dan meluas serta belum sistematik. Bukan karena pemerintah dan masyarakat waktu itu secara moral lebih bersih dan berbakti akan tugas! Korupsi dan kolusi tampak lebih jarang dari pada sekarang, karena mungkin pada waktu itu infrastruktur peradilan dan birokrasi memang lebih efisien dan efektif.
       Pada zaman Orde Baru, tugas pelayanan dan birokrasi kepada publik dan para pengusaha yang seharusnya berjalan atas dasar efisien tanpa pamrih, tumbuh melebar dan meluas secaravertikal maupun horizontal, berkembang menjadi suatu “kultur manajemen birokrasi”. Kalau apa yang disebut sebagai “kultur” dan “budaya” adalah proses dialektik, “kultur manajemen birokrasi” adalah tahapan sintesa budaya yang tercapai sesudah kekuasaan feodal-absolut di masa lalu memenangkan putaran dialektika budaya di negara kita. Revolusi 1945 yang seharusnya dapat mendobrak tesa budaya sistem kekuasaan yang feodal-absolut menjadi antitesa sistem kekuasaan yang demokratik-egaliter telah gagal
        Revolusi 1945 membuahkan Orde Lama dan Orde Baru yang justru mengembangkan pemahaman “kekuasaan” sebagai sesuatu yang agung, tunggal, dan menakjubkan. Maka penyandang kekuasaan yang sedikit banyak mengandung unsur-unsur agung, tunggal dan menakjubkan itu adalah penerjemah dan pelaksana konsep kekuasaan tersebut. Dan itu bergulir mulai dari presiden, jendral, menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, lurah dan bahkan mungkin ketua RW,RT yang mengurus KTP. Kekuasaan menuntut kepatuhan. Dan kepatuhan feodal-absolut membawa upeti. Itulah yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi “kultur manajemen birokrasi”.
           Kultur ini mengakar dan menjadi semacam way of life. Akar kultur ini kuat dalam tanah mereka yang tidak memegang kekuasaan. Kekuasaan itu yang tidak mungkin dilawan dan seharusnya di patuhi, kalau memang usahanya ingin lancar dan berhasil. Kalau mau diterima di suatu perguruan tinggi, sipil, militer, eksekutif, yudikatif, legislatif orang harus bayar, bila ingin kenaikan pangkat atau jabatan orang harus bayar; pengusaha yang memohon izin memenangkan suatu tender proyek dalam satu departemen harus bayar; orang kecil yang ingin mendapatkan Kartu Tanda Penduduk harus bayar; jenazah yang ingin dimakamkan harus bayar, dan tidak ada yang gratis semuanya harus bayar, untuk sesuatu ada sesuatu, semuanya telah mengalir merata di semua lapisan masyarakat.
        Orang yang dengan gagahnya ingin menolak “kultur harus bayar”, hampir dapat di pastikan akan kandas. Kekuasaan suatu jabatan, sekecil apa pun, semakin tampil tegar berwibawah, semakin berwajah, wajah yang dahulu sebelum memegang kekuasaan, luruh dan biasa, mungkin juga bertubuh kurus-kering dan kulitnya berpanu, begitu dia mendapat rezeki mendapat suatu kekuasaan, bagaikan mengenakan baju Gatotkaca akan terus menyangka dapat terbang tinggi kemana-mana. Kekuasaan melambung dan membengkak, mengeluarkan dosis yang menakutkan “bayar”, “bayar”, dan “bayar”.
      Di mata sang penguasa dan pejabat, nyaris semua pengusaha pribumi atau nonpribumi adalah orang-orang gendut perutnya yang siap untuk dipukul “buk” sehingga keluar Mercedes, BMW, rumah mewah, saham kosong, dan sebagainya. Dalam pandangan rakyat atau pengusaha semakin menancap juga akar-persepsi bahwa kekuasaan membawa “hak” untuk di “bayar” dan untuk dimanjakan dengan kemewahan. Persepsi bahwa kekuasaan adalah service, “pengabdian” dan “efisiensi” semakin kabur dan buram di mata masyarakat.
        Inilah, saya kira kegagalan Revolusi 1945 yang macet, berhenti hanya sampai pada sintesa budaya “kultur manajemen birokrasi”. Memang kekuasaan adalah segalanya. Tetapi segalanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tegasnya, Revolusi  1945 harus mencapai sintesa budaya “demokrasi dan modernita”.
       Alangkah jauh dan mendalam pengaruh sintesa budaya dari satu dialektika yang seharusnya mengundang suatu antitesa budaya yang baru dan segar, sintesa budaya “kultur manajemen birokrasi” itu berhenti di tempati, macet, mengakar di tubuh bangsa dan negara kita. Antitesa Revolusi 1945 laksana meteor di langit, yang sekejap bersinar terang benderang menerangi seluruh angkasa, tetapi bagaikan layaknya sebuah meteor ia segera redup kembali. Angkasa seluruh negeri dan bangsa kita menjadi buram kembali setelah budaya “harus bayar” tumbuh semakin kuat.
             Pengaruh pertama dari budaya “harus bayar” ini adalah pada penerimaan aksioma bahwa pekerja, berkarya, adalah hadirnya suatu akumulasi rasa cinta, gairah, terhadap hasil kreasi otak, pikiran dan tenaga yang di jalani lewat proses yang panjang. Seseorang yang bekerja akhirnya akan lega dan puas melihat hasil jerih payahnya berhasil melewati suatu prosedur yang transparan dan diketahui oleh hukum yang berlaku. Pada hakikatnya, setiap hasil kerja birokrasi dan perdagangan mengandung unsur “melayani”. Hasil kerja mereka sesungguhnya untuk diabdikan kepada masyarakat luas. Hasil kerja mereka sesungguhnya juga berfungsi untuk membantu roda mesin masyarakat berputar lebih lancar lagi. Tetapi, dengan merajalelanya budaya “harus bayar”, semangat melihat dinamika bekerja itu sebagai suatu proses terbuka, transparan, diketahui oleh hukum yang berlaku, serta yang paling penting kegairahan dan kegembiraan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat luas menjadi rusak sama sekali.
             Budaya “harus membayar” telah mengubah, menyulap, bahkan semangat melayani tersebut menjadi semangat egois, mementingkan diri sendiri, pasif, kehilangan motivasi untuk bekerja secara aktif dan gembira. Untuk setiap pekerjaan ia menunggu, bahkan menuntut sesuatu “pembayaran” yang memadai besarnya. Bila pembayaran itu belum diberikan, pekerjaan itu tidak akan segera dikerjakan. Sang pekerja yang kreatif dan penuh kegairahan tanpa pamrih akan menjadi pekerja yang malas, manja, bahkan cenderung menjadi sewenang-wenang. Itulah pengaruh kedua dai kultur “harus bayar” kepada etos kerja masyarakat kita.
           Pengaruh ketiga dari kultur “harus bayar” selain merusak kinerja dari birokrasi dan etos kerja, juga menjamah gaya hidup para pekerja umumnya, para pegawa negreri, bahkan juga para pengusaha dan pedagang, baik itu yang pribumi maupun keturunan tionghoa. Akibat dari mudahnya mendapat uang suap atau komisi orang tergoda untuk membelanjakan uang tersebut pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak esensial lagi, tetapi pada kebutuhan-kebutuhan akan benda-benda mewah yang akan memicu rasa haus terhadap keperluan-keperluan yang tidak terlalu penting lagi. Para pedagang dan para pengusaha yang tidak mau lepas dari kultur “harus bayar” semakin terseret lagi untuk membelanjakan keuntungan yang didapatnya dari bisnis mereka untuk lebih mengubah gaya hidup mereka. Mereka akan tampak dalam penampilan hidup yang lebih mewah lagi. Maka penyakit “cemburu sosial” terpicu untuk lebih luas menular di masyarakat. Kemewahan menjadi cita-cita hidup masyarakat.
        Ada semacam demam kelas ang tumbuh dalam masyarakat. Keinginan yang membara di dada sebagian besar masyarakt untuk pada suatu ketika mengecap kehidupan mewah menjadi semacam obsesi bagi lapisan masyarakat yang sebenarnya berada di luar jangkauan kemampuanya.
     Pengaruh terakhir atau keempat dari budaya “harus bayar” adalah akibat dari tiga pengaruh budaya tersebut, yaitu lumpuhnya administrasi negara dan seluruh birokrasi nyaris tidak ada sama sekali efisiensi dan produktifitas kerja. Dalam dunia usaha dan perdagangan berkembang suatu kultur yang hampir tidak berorientasi kepada efisiensi bisnis dan produktifitas kerja, kompetisi terbuka, tetapi ketergantungan roda usaha dan perdagangan pada kompetisi/lobi “harus bayar” pada birokrasi pemerintah dan semua instansi entah itu dibawah naungan negara ataupun swasta.
      Alangkah berat dan besar tantangan yang kita hadapi. Mungkin kerontokan total yang di kembangkan Orde Baru banyak bersumber kepada kultur “harus bayar” itu. Kalau kita masih berharap pada suatu ketika akan menjadi bangsa dan negara yang damai serta sejahtera, saya kira kultur “harus bayar” yang sudah macet menjadi sintesa budaya itu harus di dobrak, agar dapat menghasilkan antitesa budaya yang lebih demokratis, rasional dan transparan. Oleh karena itu kita harus bersedia bekerja keras, kita harus bertekad untuk menggarap terlebih dahulu bangunan dasar yang lebih mantap.
      Pertama, kita harus bekerja keras mengembangkan dan menumbuhkan sistem politik demokrasi yang kuat dan lestari. Kedua, pembongkaran dan penumbuhan sistem pendidikan kita, dari taman kanak-kanak, lewat SD, SMP, SMU hingga pada tingkat perguruan tinggai atau universitas. Hal ini, saya rasa, sangat penting karena melalui sistem dan filsafat pendidikan  kita dapat menyiapkan generasi atau warga demokrasi yang handal.

No comments:

Post a Comment