Pepatah Belanda voor
wat hoort wat bila kita terjemahkan dalam bahasa indonesia “untuk sesuatu
ada sesuatu”, atau sesungguhnya
keselamatan atau kebahagiaan mengandung biaya, pada zaman Orde Baru agaknya
telah ditafsirkan dan dipraktikkan secara harfiah. Penafsiran ini seja zaman
kolonial Hindia Belanda memang telah berjalan pula. Korupsi dan kolusi telah
muncul pula dalam tubuh birokrasi dan perdagangan, tetapi tidak terlalu merata
dan meluas serta belum sistematik. Bukan karena pemerintah dan masyarakat waktu
itu secara moral lebih bersih dan berbakti akan tugas! Korupsi dan kolusi
tampak lebih jarang dari pada sekarang, karena mungkin pada waktu itu
infrastruktur peradilan dan birokrasi memang lebih efisien dan efektif.
Pada
zaman Orde Baru, tugas pelayanan dan birokrasi kepada publik dan para pengusaha
yang seharusnya berjalan atas dasar efisien tanpa pamrih, tumbuh melebar dan
meluas secaravertikal maupun horizontal, berkembang menjadi suatu “kultur
manajemen birokrasi”. Kalau apa yang disebut sebagai “kultur” dan “budaya”
adalah proses dialektik, “kultur manajemen birokrasi” adalah tahapan sintesa
budaya yang tercapai sesudah kekuasaan feodal-absolut di masa lalu memenangkan
putaran dialektika budaya di negara kita. Revolusi 1945 yang seharusnya dapat
mendobrak tesa budaya sistem kekuasaan yang feodal-absolut menjadi antitesa
sistem kekuasaan yang demokratik-egaliter telah gagal
Revolusi
1945 membuahkan Orde Lama dan Orde Baru yang justru mengembangkan pemahaman “kekuasaan”
sebagai sesuatu yang agung, tunggal, dan menakjubkan. Maka penyandang kekuasaan
yang sedikit banyak mengandung unsur-unsur agung, tunggal dan menakjubkan itu
adalah penerjemah dan pelaksana konsep kekuasaan tersebut. Dan itu bergulir
mulai dari presiden, jendral, menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, lurah
dan bahkan mungkin ketua RW,RT yang mengurus KTP. Kekuasaan menuntut kepatuhan.
Dan kepatuhan feodal-absolut membawa upeti. Itulah yang kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi “kultur manajemen birokrasi”.
Kultur ini
mengakar dan menjadi semacam way of life.
Akar kultur ini kuat dalam tanah mereka yang tidak memegang kekuasaan. Kekuasaan
itu yang tidak mungkin dilawan dan seharusnya di patuhi, kalau memang usahanya
ingin lancar dan berhasil. Kalau mau diterima di suatu perguruan tinggi, sipil,
militer, eksekutif, yudikatif, legislatif orang harus bayar, bila ingin
kenaikan pangkat atau jabatan orang harus bayar; pengusaha yang memohon izin
memenangkan suatu tender proyek dalam satu departemen harus bayar; orang kecil
yang ingin mendapatkan Kartu Tanda Penduduk harus bayar; jenazah yang ingin
dimakamkan harus bayar, dan tidak ada yang gratis semuanya harus bayar, untuk
sesuatu ada sesuatu, semuanya telah mengalir merata di semua lapisan
masyarakat.
Orang yang
dengan gagahnya ingin menolak “kultur harus bayar”, hampir dapat di pastikan
akan kandas. Kekuasaan suatu jabatan, sekecil apa pun, semakin tampil tegar
berwibawah, semakin berwajah, wajah yang dahulu sebelum memegang kekuasaan,
luruh dan biasa, mungkin juga bertubuh kurus-kering dan kulitnya berpanu,
begitu dia mendapat rezeki mendapat suatu kekuasaan, bagaikan mengenakan baju
Gatotkaca akan terus menyangka dapat terbang tinggi kemana-mana. Kekuasaan melambung
dan membengkak, mengeluarkan dosis yang menakutkan “bayar”, “bayar”, dan “bayar”.
Di mata
sang penguasa dan pejabat, nyaris semua pengusaha pribumi atau nonpribumi
adalah orang-orang gendut perutnya yang siap untuk dipukul “buk” sehingga
keluar Mercedes, BMW, rumah mewah, saham kosong, dan sebagainya. Dalam pandangan
rakyat atau pengusaha semakin menancap juga akar-persepsi bahwa kekuasaan
membawa “hak” untuk di “bayar” dan untuk dimanjakan dengan kemewahan. Persepsi bahwa
kekuasaan adalah service, “pengabdian” dan “efisiensi” semakin kabur dan buram
di mata masyarakat.
Inilah,
saya kira kegagalan Revolusi 1945 yang macet, berhenti hanya sampai pada
sintesa budaya “kultur manajemen birokrasi”. Memang kekuasaan adalah segalanya.
Tetapi segalanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tegasnya, Revolusi
1945 harus mencapai sintesa budaya “demokrasi
dan modernita”.
Alangkah
jauh dan mendalam pengaruh sintesa budaya dari satu dialektika yang seharusnya
mengundang suatu antitesa budaya yang baru dan segar, sintesa budaya “kultur
manajemen birokrasi” itu berhenti di tempati, macet, mengakar di tubuh bangsa
dan negara kita. Antitesa Revolusi 1945 laksana meteor di langit, yang sekejap
bersinar terang benderang menerangi seluruh angkasa, tetapi bagaikan layaknya
sebuah meteor ia segera redup kembali. Angkasa seluruh negeri dan bangsa kita
menjadi buram kembali setelah budaya “harus bayar” tumbuh semakin kuat.
Pengaruh
pertama dari budaya “harus bayar” ini adalah pada penerimaan aksioma bahwa
pekerja, berkarya, adalah hadirnya suatu akumulasi rasa cinta, gairah, terhadap
hasil kreasi otak, pikiran dan tenaga yang di jalani lewat proses yang panjang.
Seseorang yang bekerja akhirnya akan lega dan puas melihat hasil jerih payahnya
berhasil melewati suatu prosedur yang transparan dan diketahui oleh hukum yang
berlaku. Pada hakikatnya, setiap hasil kerja birokrasi dan perdagangan
mengandung unsur “melayani”. Hasil kerja mereka sesungguhnya untuk diabdikan
kepada masyarakat luas. Hasil kerja mereka sesungguhnya juga berfungsi untuk
membantu roda mesin masyarakat berputar lebih lancar lagi. Tetapi, dengan
merajalelanya budaya “harus bayar”, semangat melihat dinamika bekerja itu
sebagai suatu proses terbuka, transparan, diketahui oleh hukum yang berlaku,
serta yang paling penting kegairahan dan kegembiraan untuk memberi pelayanan
kepada masyarakat luas menjadi rusak sama sekali.
Budaya “harus
membayar” telah mengubah, menyulap, bahkan semangat melayani tersebut menjadi
semangat egois, mementingkan diri sendiri, pasif, kehilangan motivasi untuk
bekerja secara aktif dan gembira. Untuk setiap pekerjaan ia menunggu, bahkan
menuntut sesuatu “pembayaran” yang memadai besarnya. Bila pembayaran itu belum
diberikan, pekerjaan itu tidak akan segera dikerjakan. Sang pekerja yang
kreatif dan penuh kegairahan tanpa pamrih akan menjadi pekerja yang malas,
manja, bahkan cenderung menjadi sewenang-wenang. Itulah pengaruh kedua dai
kultur “harus bayar” kepada etos kerja masyarakat kita.
Pengaruh
ketiga dari kultur “harus bayar” selain merusak kinerja dari birokrasi dan etos
kerja, juga menjamah gaya hidup para pekerja umumnya, para pegawa negreri,
bahkan juga para pengusaha dan pedagang, baik itu yang pribumi maupun keturunan
tionghoa. Akibat dari mudahnya mendapat uang suap atau komisi orang tergoda
untuk membelanjakan uang tersebut pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak esensial
lagi, tetapi pada kebutuhan-kebutuhan akan benda-benda mewah yang akan memicu
rasa haus terhadap keperluan-keperluan yang tidak terlalu penting lagi. Para pedagang
dan para pengusaha yang tidak mau lepas dari kultur “harus bayar” semakin
terseret lagi untuk membelanjakan keuntungan yang didapatnya dari bisnis mereka
untuk lebih mengubah gaya hidup mereka. Mereka akan tampak dalam penampilan
hidup yang lebih mewah lagi. Maka penyakit “cemburu sosial” terpicu untuk lebih
luas menular di masyarakat. Kemewahan menjadi cita-cita hidup masyarakat.
Ada semacam
demam kelas ang tumbuh dalam masyarakat. Keinginan yang membara di dada
sebagian besar masyarakt untuk pada suatu ketika mengecap kehidupan mewah
menjadi semacam obsesi bagi lapisan masyarakat yang sebenarnya berada di luar
jangkauan kemampuanya.
Pengaruh
terakhir atau keempat dari budaya “harus bayar” adalah akibat dari tiga
pengaruh budaya tersebut, yaitu lumpuhnya administrasi negara dan seluruh
birokrasi nyaris tidak ada sama sekali efisiensi dan produktifitas kerja. Dalam
dunia usaha dan perdagangan berkembang suatu kultur yang hampir tidak
berorientasi kepada efisiensi bisnis dan produktifitas kerja, kompetisi
terbuka, tetapi ketergantungan roda usaha dan perdagangan pada kompetisi/lobi “harus
bayar” pada birokrasi pemerintah dan semua instansi entah itu dibawah naungan
negara ataupun swasta.
Alangkah
berat dan besar tantangan yang kita hadapi. Mungkin kerontokan total yang di
kembangkan Orde Baru banyak bersumber kepada kultur “harus bayar” itu. Kalau kita
masih berharap pada suatu ketika akan menjadi bangsa dan negara yang damai
serta sejahtera, saya kira kultur “harus bayar” yang sudah macet menjadi
sintesa budaya itu harus di dobrak, agar dapat menghasilkan antitesa budaya yang
lebih demokratis, rasional dan transparan. Oleh karena itu kita harus bersedia
bekerja keras, kita harus bertekad untuk menggarap terlebih dahulu bangunan
dasar yang lebih mantap.
Pertama,
kita harus bekerja keras mengembangkan dan menumbuhkan sistem politik demokrasi
yang kuat dan lestari. Kedua, pembongkaran dan penumbuhan sistem pendidikan
kita, dari taman kanak-kanak, lewat SD, SMP, SMU hingga pada tingkat perguruan
tinggai atau universitas. Hal ini, saya rasa, sangat penting karena melalui
sistem dan filsafat pendidikan kita
dapat menyiapkan generasi atau warga demokrasi yang handal.
No comments:
Post a Comment