Wednesday, February 3, 2016

Etika Masyarakat Madani


          Menurut francis fukuyama, akibat desakan ekonomi global satu per satu pemerintah yang otoriter di dunia ini akan tumbang dan diganti oleh demokrasi liberal. Secara teoritis, hal itu mungkin juga terjadi di indonesia. Tetapi di Indonesia, kata “liberal” sejak zaman Bung Karno hingga sekarang, oleh banyak pemimpin Indonesia dianggap sebagai hal yang buruk dan tidak pantas untuk Indonesia. Bahkan dalam buku pegangan penataran P4 disebutkan “liveralisme adalah musuh pancasila”.
          Liberalisme menurut kacamata kita, berarti kebebasan individu yang tidak mengenal batas. Juga dianggap tidak mengenal nilai-nilai moral luhur karena akan melahirkan individualisme yang tidak sesuai dengan masyarakat Timu. Liberalisme dituduh akan menampilkan orang-orang yang lebih mementingkan kepentingan sendiri dengan menginjak-injak kepentingan orang lain. Mungkin kita merancukan pengertian “liberalisme” dengan kebebasan yang lahir sebagai konsekuensi paham kapitalisme ala Adam Smith yang berkembang sebelum abad ke-19.
          Adam Smith berpendapat bahwa mencari kekayaan (the attainment of wealth) dengan memanfaatkan segala sumber daya dan melalui mekanisme persaingan bebas adalah tujuan utama bagi individu atau bangsa. Pengaitan kapitalisme dengan liberalisme yang menekan kebebasan individual ala Adam Smith, tercermin dari pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya motivasi yang melatarbelakangi kegiatan manusia adalah kepentingan diri (self interest). Orang bekerja di pabrik bukan untuk menolong pemilik pabrik, tetapi untuk mencari makan bagi diri sendiri. Menurut smith, hanya di lingkungan keluarga sendiri motivasi kreativ dapat berlangsung. Di luar itu, semua tindakan selalu ada pamrihnya. Pandangan seperti itu yang membuat banyak orang mengaitkan liberalisme dengan keburukan praktek kapitalisme di abad ke-19. Benarkah paham liberalisme tidak mengenal moral?
          John Stuart Mill, penganjur liberalisme terkemuka mengatakan bahwa masyarakat liberal didasarkan pada penghormatan kepada hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang. Menurut Mill, tiap orang bebas untuk menentukan pilihan hidup masing-masing. Negara, melalui aturan hukumnya, harus memberikan kesempatan agar hak-hak tersebut semaksimal mungkin terlaksana. Satu-satunya kewenangan negara dalam membatasi hak-hak individu adalah mencegah agar orang tidak melanggar hak-hak orang lain.
Dengan kata lain, salah satu prinsip etika dalam masyarakat liberal adalah kewajiban bagi tiap warga untuk menghormati hak warga yang lain seperti ia sendiri ingin di hormati hak-haknya, dan pemerintah baru berhak mengintervensi ketika dalam menjabarkan hak-haknya itu, warga tersebut melanggar hak-hak warga lain. Juga pemerintah, atau siapa pun juga, tidak berhak memaksa agar warganya menganut nilai moral tertentu. Tiap orang dalam masyarakat liberal adalah autonomous moral agent.
           Bagian inilah barangkali yang masih belum dapat sepenuhnya diterima oleh pemimpin-pemimpin kita. Secara implist terkesan bahwa dalam masyarakat liberal, seorang dewasa dapat memilih untuk mengambil keputusan untuk dirinya, termasuk menganut agama apa pun atau bahkan tidak beragama sama sekali, sepanjang ia tidak memaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Masalahnya menjadi makin tidak sederhana ketika kita dihadapkan kepada teknologi seperti bayi tabung, aborsi, dan eutanasia. Sesuai dengan prinsip liberalisme yang menghormati hak otonom individu, pemerintah tidak boleh melarang warga untuk memilih teknologi tersebut sepanjang pilihan itu tidak merugikan orang lain. Maka perdebatan tentang aborsi dalam masyarakat liberal, misalnya, tidak berpusat apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak, tetapi tidak apakah janin yang ada dalam kandungan sudah memiliki hak untuk dilindungi atau tidak.
       Sikap Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini mencerminkan sikap masyarakat liberal, Pemerintah federal AS tidak melarang abortus atau kloning manusia, tetapi hanya melarang penggunaan dana federal untuk hal-hal tersebut, kalau ada orang yang menggunakan uangnya sendiri untuk menunjang kegiatan semacam itu, pemerintah tidak dapat melarang sepanjang hal itu tidak melanggar hak individu orang lain.
       Kritik terhadap paham liberalisme versi Mill bukannya tidak ada. Kritik itu antara lain datang dari pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar hidup sebagai individu. Ia akan selalu terikat pada sesuatu masyarakat tertentu, minimal dengan keluarganya sendiri. Menurut pengkritik tersebut, otonomi individu yang di gambarkan Mill hanya bermakna filosofi, tetapi tidak pernah ada praktek kehidupan sehari-hari. Terutama dalam masyarakat Asia, seperti yang diungkapkan oleh seorang pakar etika Jepang, Rihito Kimura, “Masyarakat Asia Diasuh dalam budaya yang mengedepankan kepentingan bersama dan membelakangkan kepentingan pribadi”. Pandangan semacam itu juga dianut oleh sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia.
          Untuk masyarakat jepang yang homogen, mempertahankan budaya semacam itu mungkin relatif lebih mudah. Untuk masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, mobilitas horizontal telah membaurkan antarawarga yang datang dari berbagai tradisi. Agar mereka dapat hidup bersama warga lain, pada umumnya mereka terpaksa menekan budaya asli masing-masing dan mencoba mencari titik temu di antara budaya asal yang berbeda. Ada saat ketika mereka seperti tercabut dari akar, atau mengalami “alienasi kultur”, terutama di kota-kota besar. Jika saat kosong tersebut diisi oleh rayuan konsumerisme oleh iklan-iklan produk untuk kenyamanan pribadi dan dorongan persaingan yang ketat dalam mencari hidup, bukan tidak mungkin individualisme seperti yang terjadi di Barat akan muncul.
          Ekonomi pasar yang menghasilkan produk-produk konsumsi pada umumnya akan memacu individualisme. Gejala-gejala ke arah itu sudah tampak di kota besar seperti jakarta dan berkat televisi ia juga sudah merambat ke desa-desa. Sementara uapaya untuk membangun etika sosial Indonesia tidak tampak. Penataran P4 yang dikatakan sebagai penataran nilai-nilai moral Pancasila lebih merupakan pengajaran tentang tata negara, dan bahkan cenderung disetujukan untuk menguatkan konsep pemusatan kekuasaan pada satu lembaga serta penanaman loyalitas kepada pimpinan nasional. Konsep etika masyarakat Pancasila hingga saat ini belum pernah dikembangkan atau dicontohkan. Para pimpinan bangsa justru lebih sering mencontohkan perilaku yang justru bertentangan dengan Pancasila. Dapat dimengerti jika sekarang banyak yang bersikap skeptis atau sinis terhadap Pancasila.
          Kini beberapa pakar mencoba mencari alternatif bentuk masyarakat yang lain, yaitu masyarakat madani. Dikatakan bahwa masyarakat madani bercermin kepada tatanan masyarakat madinah semasa Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin di sana. Aturan dasar (konstitusi) masyarakat Madinah tersebut tertulis dalam Piagam Madinah. INTI Piagam Madinah itu adalah ketaatan kepada ajaran Tuhan, persamaan hak dan kewajiban antara  semua warga baik kaum Yahudi maupun Arab, baik dalam membiayai anggaran belanja negara maupun mempertahankan negara. Juga perintah agar antara anggota masyarakat saling menghormati kehdupan warga lainnya sepanjang mereka tidak menyerang atau mengacaukan Madinah.
Jika kita coba bandingkan dengan masyarakat liberal ala Barat, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang pada prinsipnya dapat dianggap demokratis (menurut Nurcholish Madjid), tetapi tidak sekuler (memisahkan paham Ketuhanan dari negara). Menurut Cak Nur, juga ada sikap menghormati hak-hak asasi individu dan demokratis karena ada prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan. Hanya saja hak-hak individu warga tersebut dibatasi dengan rambu-rambu yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
          Kembali, seperti juga konsep leberal John Struat Mill, secara filosofis gambaran masyarakat madani mudah dipahami, tetapi bagaimana menjabarkannya dalam praktek-praktek bernegara di zaman modern masih memerlukan pemikiran lebih lanjut. Terutama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan memiliki faktor disintegrasi yang sangat besar. Apalagi karena seelama berpuluh tahun bangsa kita tidak dilatih untuk menghormati hukum, dan tidak pula ada upaya yang serius dari pimpinan-pimpinan bangsa untuk menegakkan wibawa hukum. Contoh perilaku yang diberikan dari atas justru contoh yang melecehkan hukum.
          Dalam masyarakat madani di zaman Nabi Muhammad, Rakyat menaruh kepercayaan yang besar terhadap kepemimpinan Nabi, dan sebaliknya Nabi juga memberikan contoh sikap yang arif dan adil. Demikian pula Nabi mempunya otoritas yang tidak diragukan dalam menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk masyarakat madani modern, figur seperti Nabi Muhammad tidak mungkinlagi kita peroleh. Pemimpin bangsa pun individu, tetapi institusi atau sistem. Perlu pula dicatat bahwa Nabi Muhammad menjadi pemimpin karena wahyu Allah, bukan hasil pemilihan seperti pemimpin bangsa modern.
          Lalu, bagaimana etika berbangsa dan bernegara dalam masyarakat madani modern untuk untuk negara seperti Indonesia? Para pengusul konsep masyarakat madani harus dapat menjelaskan. Kewajiban-kewajiban apa yang harus dilakukan oleh negara agar etika itu tetap terjaga. Masalah sering akan timbul ketika negara harus memberikan rambu-rambu dalam area menjadi perdebatan. Ketika pilihan atau pendapat individu berada pada wilayah kelabu dalam nilai-nilai norma agama. Saat ajaran agaman tersirat harus ditafsirkan untuk menghadapi problem kontemporer. Termaksuk misalnya, bolehkah perempuan menjadi pemimpin. Atau ketika kita dihadapkan pada teknologi industri yang memberikan berbagai alternatif pilihan pada manusia.

No comments:

Post a Comment