Menurut francis fukuyama, akibat desakan ekonomi global satu
per satu pemerintah yang otoriter di dunia ini akan tumbang dan diganti oleh
demokrasi liberal. Secara teoritis, hal itu mungkin juga terjadi di indonesia. Tetapi
di Indonesia, kata “liberal” sejak zaman Bung Karno hingga sekarang, oleh
banyak pemimpin Indonesia dianggap sebagai hal yang buruk dan tidak pantas
untuk Indonesia. Bahkan dalam buku pegangan penataran P4 disebutkan “liveralisme
adalah musuh pancasila”.
Liberalisme menurut kacamata kita, berarti kebebasan
individu yang tidak mengenal batas. Juga dianggap tidak mengenal nilai-nilai
moral luhur karena akan melahirkan individualisme yang tidak sesuai dengan
masyarakat Timu. Liberalisme dituduh akan menampilkan orang-orang yang lebih
mementingkan kepentingan sendiri dengan menginjak-injak kepentingan orang lain.
Mungkin kita merancukan pengertian “liberalisme” dengan kebebasan yang lahir
sebagai konsekuensi paham kapitalisme ala Adam Smith yang berkembang sebelum
abad ke-19.
Adam Smith berpendapat bahwa mencari kekayaan (the attainment of wealth) dengan
memanfaatkan segala sumber daya dan melalui mekanisme persaingan bebas adalah
tujuan utama bagi individu atau bangsa. Pengaitan kapitalisme dengan
liberalisme yang menekan kebebasan individual ala Adam Smith, tercermin dari
pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya motivasi yang melatarbelakangi
kegiatan manusia adalah kepentingan diri (self
interest). Orang bekerja di pabrik bukan untuk menolong pemilik pabrik,
tetapi untuk mencari makan bagi diri sendiri. Menurut smith, hanya di
lingkungan keluarga sendiri motivasi kreativ dapat berlangsung. Di luar itu,
semua tindakan selalu ada pamrihnya. Pandangan seperti itu yang membuat banyak
orang mengaitkan liberalisme dengan keburukan praktek kapitalisme di abad
ke-19. Benarkah paham liberalisme tidak mengenal moral?
John Stuart Mill, penganjur liberalisme terkemuka mengatakan
bahwa masyarakat liberal didasarkan pada penghormatan kepada hak-hak yang
dimiliki oleh setiap orang. Menurut Mill, tiap orang bebas untuk menentukan
pilihan hidup masing-masing. Negara, melalui aturan hukumnya, harus memberikan
kesempatan agar hak-hak tersebut semaksimal mungkin terlaksana. Satu-satunya kewenangan
negara dalam membatasi hak-hak individu adalah mencegah agar orang tidak
melanggar hak-hak orang lain.
Dengan kata lain, salah satu prinsip etika dalam masyarakat
liberal adalah kewajiban bagi tiap warga untuk menghormati hak warga yang lain
seperti ia sendiri ingin di hormati hak-haknya, dan pemerintah baru berhak
mengintervensi ketika dalam menjabarkan hak-haknya itu, warga tersebut
melanggar hak-hak warga lain. Juga pemerintah, atau siapa pun juga, tidak
berhak memaksa agar warganya menganut nilai moral tertentu. Tiap orang dalam
masyarakat liberal adalah autonomous
moral agent.
Bagian inilah barangkali yang masih belum dapat sepenuhnya
diterima oleh pemimpin-pemimpin kita. Secara implist terkesan bahwa dalam
masyarakat liberal, seorang dewasa dapat memilih untuk mengambil keputusan
untuk dirinya, termasuk menganut agama apa pun atau bahkan tidak beragama sama
sekali, sepanjang ia tidak memaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Masalahnya
menjadi makin tidak sederhana ketika kita dihadapkan kepada teknologi seperti
bayi tabung, aborsi, dan eutanasia. Sesuai dengan prinsip liberalisme yang
menghormati hak otonom individu, pemerintah tidak boleh melarang warga untuk
memilih teknologi tersebut sepanjang pilihan itu tidak merugikan orang lain. Maka
perdebatan tentang aborsi dalam masyarakat liberal, misalnya, tidak berpusat
apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak, tetapi tidak apakah janin yang
ada dalam kandungan sudah memiliki hak untuk dilindungi atau tidak.
Sikap Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini
mencerminkan sikap masyarakat liberal, Pemerintah federal AS tidak melarang
abortus atau kloning manusia, tetapi hanya melarang penggunaan dana federal
untuk hal-hal tersebut, kalau ada orang yang menggunakan uangnya sendiri untuk
menunjang kegiatan semacam itu, pemerintah tidak dapat melarang sepanjang hal
itu tidak melanggar hak individu orang lain.
Kritik terhadap paham liberalisme versi Mill bukannya tidak
ada. Kritik itu antara lain datang dari pendapat yang menyatakan bahwa pada
dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar hidup sebagai individu. Ia akan
selalu terikat pada sesuatu masyarakat tertentu, minimal dengan keluarganya
sendiri. Menurut pengkritik tersebut, otonomi individu yang di gambarkan Mill
hanya bermakna filosofi, tetapi tidak pernah ada praktek kehidupan sehari-hari.
Terutama dalam masyarakat Asia, seperti yang diungkapkan oleh seorang pakar
etika Jepang, Rihito Kimura, “Masyarakat Asia Diasuh dalam budaya yang mengedepankan
kepentingan bersama dan membelakangkan kepentingan pribadi”. Pandangan semacam
itu juga dianut oleh sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia.
Untuk masyarakat jepang yang homogen, mempertahankan budaya
semacam itu mungkin relatif lebih mudah. Untuk masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia, mobilitas horizontal telah membaurkan antarawarga yang datang dari
berbagai tradisi. Agar mereka dapat hidup bersama warga lain, pada umumnya
mereka terpaksa menekan budaya asli masing-masing dan mencoba mencari titik
temu di antara budaya asal yang berbeda. Ada saat ketika mereka seperti
tercabut dari akar, atau mengalami “alienasi kultur”, terutama di kota-kota
besar. Jika saat kosong tersebut diisi oleh rayuan konsumerisme oleh
iklan-iklan produk untuk kenyamanan pribadi dan dorongan persaingan yang ketat
dalam mencari hidup, bukan tidak mungkin individualisme seperti yang terjadi di
Barat akan muncul.
Ekonomi pasar yang menghasilkan produk-produk konsumsi pada
umumnya akan memacu individualisme. Gejala-gejala ke arah itu sudah tampak di
kota besar seperti jakarta dan berkat televisi ia juga sudah merambat ke
desa-desa. Sementara uapaya untuk membangun etika sosial Indonesia tidak
tampak. Penataran P4 yang dikatakan sebagai penataran nilai-nilai moral Pancasila
lebih merupakan pengajaran tentang tata negara, dan bahkan cenderung
disetujukan untuk menguatkan konsep pemusatan kekuasaan pada satu lembaga serta
penanaman loyalitas kepada pimpinan nasional. Konsep etika masyarakat Pancasila
hingga saat ini belum pernah dikembangkan atau dicontohkan. Para pimpinan
bangsa justru lebih sering mencontohkan perilaku yang justru bertentangan
dengan Pancasila. Dapat dimengerti jika sekarang banyak yang bersikap skeptis
atau sinis terhadap Pancasila.
Kini beberapa pakar mencoba mencari alternatif bentuk
masyarakat yang lain, yaitu masyarakat madani. Dikatakan bahwa masyarakat
madani bercermin kepada tatanan masyarakat madinah semasa Nabi Muhammad SAW
menjadi pemimpin di sana. Aturan dasar (konstitusi) masyarakat Madinah tersebut
tertulis dalam Piagam Madinah. INTI Piagam Madinah itu adalah ketaatan kepada
ajaran Tuhan, persamaan hak dan kewajiban antara semua warga baik kaum Yahudi maupun Arab,
baik dalam membiayai anggaran belanja negara maupun mempertahankan negara. Juga
perintah agar antara anggota masyarakat saling menghormati kehdupan warga
lainnya sepanjang mereka tidak menyerang atau mengacaukan Madinah.
Jika kita coba bandingkan dengan masyarakat liberal ala
Barat, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang pada
prinsipnya dapat dianggap demokratis (menurut Nurcholish Madjid), tetapi tidak
sekuler (memisahkan paham Ketuhanan dari negara). Menurut Cak Nur, juga ada
sikap menghormati hak-hak asasi individu dan demokratis karena ada prinsip
musyawarah dalam mengambil keputusan. Hanya saja hak-hak individu warga
tersebut dibatasi dengan rambu-rambu yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.
Kembali, seperti juga konsep leberal John Struat Mill,
secara filosofis gambaran masyarakat madani mudah dipahami, tetapi bagaimana
menjabarkannya dalam praktek-praktek bernegara di zaman modern masih memerlukan
pemikiran lebih lanjut. Terutama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan
memiliki faktor disintegrasi yang sangat besar. Apalagi karena seelama berpuluh
tahun bangsa kita tidak dilatih untuk menghormati hukum, dan tidak pula ada
upaya yang serius dari pimpinan-pimpinan bangsa untuk menegakkan wibawa hukum. Contoh
perilaku yang diberikan dari atas justru contoh yang melecehkan hukum.
Dalam masyarakat madani di zaman Nabi Muhammad, Rakyat
menaruh kepercayaan yang besar terhadap kepemimpinan Nabi, dan sebaliknya Nabi
juga memberikan contoh sikap yang arif dan adil. Demikian pula Nabi mempunya
otoritas yang tidak diragukan dalam menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an
dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk masyarakat madani modern, figur
seperti Nabi Muhammad tidak mungkinlagi kita peroleh. Pemimpin bangsa pun
individu, tetapi institusi atau sistem. Perlu pula dicatat bahwa Nabi Muhammad menjadi
pemimpin karena wahyu Allah, bukan hasil pemilihan seperti pemimpin bangsa
modern.
Lalu, bagaimana etika berbangsa dan bernegara dalam
masyarakat madani modern untuk untuk negara seperti Indonesia? Para pengusul
konsep masyarakat madani harus dapat menjelaskan. Kewajiban-kewajiban apa yang
harus dilakukan oleh negara agar etika itu tetap terjaga. Masalah sering akan
timbul ketika negara harus memberikan rambu-rambu dalam area menjadi
perdebatan. Ketika pilihan atau pendapat individu berada pada wilayah kelabu
dalam nilai-nilai norma agama. Saat ajaran agaman tersirat harus ditafsirkan
untuk menghadapi problem kontemporer. Termaksuk misalnya, bolehkah perempuan
menjadi pemimpin. Atau ketika kita dihadapkan pada teknologi industri yang
memberikan berbagai alternatif pilihan pada manusia.
No comments:
Post a Comment