Wednesday, November 15, 2017

Tiga Cara Mempertahankan Hidup Dalam Perspektif Ekonomi


Dari jaman primitif hingga era modern saat ini
Dalam menjalani kehidupan untuk hidup
Dan selama manusia itu lebih mementingkan kebutuhan
Maka, Tatanan kehidupan Tidak bisa terlepas dari sebuah kompetisi ala Darwin

Dalam satu masyarakat primitif, perjuangan antara agresi dan kerjasama ditentukan oleh alam sekitarnya. Apabila kelaparan mengancam masyarakat setiap harinya, seperti halnya penghuni Dunia Ketiga semisal suku-suku yang ada di Afrika, maka kebutuhan untuk mempertahankan hidup memaksa masyarakat untuk bekerjasama dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya. Akan tetapi pada masyarakat modern saat ini tekanan nyata dari alam sekitar ini tidak ada. Sekiranya manusia itu tidak lagi bahu-membahu melaksanakan tugas yang secara langsung berkenaan dengan usaha mempertahankan hidupnya, apabila separuh atau lebih dari penduduk bumi tidak pernah menggarap tanah; memasuki lobang-lobang tambang, menebang pohon yang nantinya digunakan untuk membangun rumah dengan tangan mereka, atau pun membuat sebuah pabrik yang limbahnya dibuang ke alam hingga ekosistem mengalami kerusakan karena tercemar, maka kelangsungan hidup antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan alam, merupakan suatu kenyataan hidup yang menakjubkan.

Sungguh sangat luar biasa, bahwa eksistensi masyarakat itu tergantung pada sehelai rambut. Masyarakat modern terancam oleh seribu macam bahaya. Kalau sekiranya para petani gagal menghasilkan panen yang cukup jumlahnya; kalau sekiranya para nelayan memutuskan untuk menjadi buruh pabrik; kalau sekiranya ahli kesehatan lebih memilih menjadi pengusaha dan para guru atau tenaga pengajar di sekolah lebih memilih menjadi manager disebuah perusahaan. Pendek kata, jikalau sekiranya salah satu daripada seribu tugas masyarakat yang saling berkaitan itu tidak dilaksanakan dengan baik. Maka, setiap hari masyarakat akan menghadapi kemungkinan kehancuran bukan karena disebabkan oleh alam, akan tetapi sebagai akibat bahwa sifat manusia ternyata tidak dapat diramal sebelumnya.

Selama berabad-abad manusia hanya mempnyai tiga cara untuk menghadapi kehancuran dalam hidup untuk menjalani kehidupn. Pertama, Ia akan berusaha mempertahankan kontinuitasnya dengan membentuk atau mengorganisir masyarakat menurut tradisi, dengan menurunkan berbagai macam tugas yang diperlukan dari satu generasi ke generasi berikutnya menurut ada istiadat dan kebiasaan. Semisal, seorang anak dalam sebuah keluarga akan mengikuti jejak ayahnya dan pola ini akan terus dipertahankan. Di Mesir kuno tempo doloe, “setiap orang terikat oleh suatu kaidah agama untuk menggantikan pekerjaan ayahnya yang jika sekiranya ia menolak dianggap sebagai pencemaran tempat yang tersuci” Adam Smith. Sama halnya dengan India tempo doeloe, di mana kedudukan-kedudukan tertentu yang secara tradisional ditentukan oleh kasta. Memang di banyak negara di mana industri tidak berkembang, seseorang mengikuti jejak orang tuanya dalam menutupi kebutuhan hidupnya atau mencari nafkah.

Kedua, masyarakat dihadapkan dengan kondisi dalam hidup untuk menjalani kehidupan dikontrol oleh pemerintah yang otoriter untuk menjaga agar tugas-tugas yang dikerjakan oleh masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut dijalankan. Piramida-piramida di Mesir kuno tidak dibangun karena terpikir oleh seorang kontraktor yang berani untuk membangunnya, begitupulah di Indonesia pada masa kolonial, dimana masyarakat atau rakyat Indonesia atas perintah dari pejabat pemerintahan setempat yang berwajah pribumi tapi dikontrol oleh VOC memaksakan rakyat Indonesia bekerja sebagai petani dan buruh bukan semata untuk kelangsungan hidup rakyat tersebut akan tetapi hasil dari pekerjaan yang dilakukan hanya dan untuk VOC (organisasi dagang Belanda). Baik Mesir maupun Indonesia pasca Kolonial adalah negara yang mencerminkan gaya kepemimpinan otoriter, mereka menjaga kelangsungan (kekuasaan) mereka dengan surat perintah seorang penguasa yang dibarengi dengan sebuah ancaman hukuman yang berasal dari penguasa tertinggi tersebut.

Berabad-abad lamanya manusia telah menyelesaikan masalah kelangsungan hidup dalam menjalani kehidupan di muka bumi dengan menggunakan salah satu dari cara-cara penyelesaian diatas. Dan selama masalah dalam menjalani hidup ditangani dengan cara tradisi atau perintah. Maka, meniscayakan tidak akan hadir atau tidak adanya kesempatan bertumbuhnya suatu bidang studi khusus salah satunya Ilmu Ekonomi. Walaupun masayarakat dari zaman sejarah telah menunjukkan suatu pola yang berkaitan dengan ekonomi, walaupun dari zaman dahulu menggunakan besi, perunggu, perak hingga emas sebagai mata uang, walaupun masyarakat tempo doeloe dalam aktifitasnya mendistribusikan barang-barang mereka dengan pola komunal yang sifatnya paling sederhana atau dengan cara yang bersifat ritual yang sangat pelit, selama mereka itu diatur oleh adat istiadat atau perintah, mereka (masyarakat) dalam sebuah wilayah atau kerajaan/negara tidak akan memerlukan ahli-ahli ekonomi.

Ketiga, ini adalah cara dimana suatu masyarakat ingin mempertahankan kontinuitasnya dengan memberikan setiap orang berbuat apa yang cocok untuk dirinya, asal ia mematuhi suatu peraturan pokok. Disinilah juga para ahli ekonomi hadir dan menawarkan cara yang disebut “sistem pasar” untuk menyelesaikan masalah dalam mempertahankan hidup. Setiap orang akan berbuat suatu yang menurut dia akan memberikan keuntungan keuangan yang terbaik. Dalam sistem pasar, daya tarik ialah keuntungan, bukan sebuah dorongan dari sebuah tradisi atau cambuk penguasa yang mendorong masing-masing orang melaksanakan tugasnya. Namun, jikalau dalam masyarakat itu sendiri hanya mengejar suatu keuntungan semata dalam menjalani hidup maka akan timbul pertentangan dalam masyarakat itu sendiri. Semisal, lahirnya golongan yang diuntungkan dan yang tidak diuntungkan atau dengan kata lain, lahirnya suatu kelompok baru yang bernama kelompok yang memiliki (kaya) dan tidak memiliki (miskin).

Nah, dari tiga cara dalam mempertahankan hidup dalam menjalani kehidupan, pertanyaan sederhana. Berada dimanakah kita saat ini?

Wednesday, November 8, 2017

Dalang Di Balik Eksploitasi SDA dan SDM Dunia Ketiga

Tenaga kerja ada sebelum dan tidak terikat pada modal.
Modal merupakan hasil dari tenaga kerja, dan tidak akan pernah ada apabila tenaga kerja tidak ada.
Buruh lebih penting daripada modal dan harus mendapatkan perhatian yang lebih besar. Abraham Lincoln

Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, gejala seperti yang sedang dialami oleh bangsa kita juga pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain. Karena faktor-faktor yang tidak selalu sama, dalam kurun waktu tertentu yang bisa panjang atau pendek, sebuah bangsa dapat mengalami kemerosotan dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan. Gejala seperti ini disebut malaise atau melt down. Karena faktor-faktor yang juga tidak sama buat setiap bangsa, banyak bangsa yang mencapai titik kemerosotan yang terendah atau titik balik, yang disebut pencerahan atau aufklarung. Titik balik ini diikuti dengan awal masa jaya dalam segala bidang, yang disebut rennaisance.

Kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut sangat banyak aspek, karena praktis menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi memegang peran penting dalam membawa keseluruhan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan.

Kehidupan ekonomi suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya yang bersifat non materi. Keduanya atau bahkan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saling berkaitan secara interdependen. Salah satu faktor yang dapat merusak kehidupan ekonomi suatu bangsa secara dahsyat ialah pengaruh interaksi dengan bangsa-bangsa lain, atau kekuatan-kekuatan yang ada di luar wilayah suatu negara tertentu seperti problem atau kasus yang terjadi di Indonesia.

Indonesia tempo doeloe mengalami penjajahan berabad-abad lamanya oleh Belanda yang diawali dengan “penjajahan” oleh sebuah perusahaan swasta, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie(VOC). Dimana negara di eksploitasi baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (upah rendah) yang menyebabkan VOC sangat kaya, bagaikan sebuah negara yang mempunyai angkatan bersenjata sendiri yang memaksakan kehendaknya pada para penguasa Nusantara (Indonesia). Karena korupsi yang terjadi dalam tubuh VOC, akhirnya bangkrut, dan penjajahan atas wilayah Nederlands Indie diambil alih oleh pemerintah Belanda.

Awal abad 20 banyak sekali negara-negara yang terjajah berhasil mengusir negara-negara penjajah, menjadi negara merdeka. Salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang merebutnya kemerdekaan di tahun 1945 adalah Indonesia. Namun sejak dekade itu pula, langsung saja muncul benih-benih penguasaan kebijakan dan kekayaan alam negara-negara yang lemah, terbelakang dan tidak berpendidikan. Benih-benih dari kekuatan-kekuatan tersebut sekarang telah menjadi sebuah kekuatan raksasa yang dahsyat.

Bentuknya seperti VOC dahulu, yaitu perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional. Mereka adalah business corporations. Maka era yang sekarang merajalela disebut era corporatocracy. Para ahli Amerika Serikat dan Eropa Barat sendiri yang sangat banyak menggambarkan kekuatan dan kejahatan mereka terhadap bangsa-bangsa lebih lemah yang dijadikan mangsanya dalam penyedotan sumber-sumber daya apa saja, terutama sumber daya mineral.

Para ahli Amerika Serikat dan Eropa semisal Joseph Stiglitz, John Pilger, Jeffrey Winters, Bradley Simpson, John Perkins, dan 12 perusak ekonomi lainya telah mengakui kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh para corporation. Kesemuanya dituangkan dalam buku paling mutakhir (2006) yang dikumpulkan dan di-edit oleh Steven Hiatt dengan kata pengantar oleh John Perkins. Judul bukunya “A Game as Old as Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption”.

Dari kesemuanya ini dapat kita baca bahwa di zaman setelah tidak ada negara jajahan lagi (kolonial), perusahaan-perusahaan raksasa yang transnasional itu bagaikan VOC tempo doeloe. Tetapi sekarang mereka tidak perlu melakukan penjajahan secara politik dan militer untuk menghisap kekayaan dari negara-negara dan bangsa-bangsa mangsanya. Sebab, cara-cara demikian sangat mahal dan dapatnya tidak seberapa dibandingkan dengan cara-cara yang mereka lakukan sekarang ini.

Cara-cara mereka sekarang hanya perlu memelihara elit bangsa-bangsa mangsa, dimana para elit bangsa walaupun secara politik dan secara formal berada di negara merdeka dan berdaulat. Akan tetapi, para elit bangsa dan anteknya-anteknya yang secara material maupun secara konsepsional didukung oleh corporatocracy global, bahkan lembaga internasional semisal IMF, WB, Bank Asia dll tidak terlepepas dari pengaruhnya. Hasilnya, bisa di pastikan, penghisapan kekayaan alam serta tenaga manusia menjadi sangat dahsyat dan menjadi harga mutlak.

Saturday, November 4, 2017

World Bank (Bank Dunia) "Empat Langkah Memperbudak Suatu Bangsa"

Lembaga ini tidak memiliki prinsip selain ketamakan dan tujuannya itu tidak akan berubah
selain hanya menarik semua kekayaan, kekuasaan dan memperbesar pengaruhnya terhadap negara"

William Findlay, Politikus Amerika Serikat


Para ekonom senantiasa membohongi publik bahwa resesi dan depresi adalah bagian alami dari siklus bisnis. Namun, kenyataan yang sebenarnya tidaklah seperti itu. Resesi dan depresi selalu terjadi bila Bank Sentral memanipulasi jumlah uang yang beredar, yang tujuan akhirnya adalah memastikan semakin banyak kekayaan yang ditransfer dari masyarakat ke tangan mereka. Bank Sentral sendiri merupakan metamorfosis dari pedagang uang di zaman dahulu.

Profesor Joseph Stiglitz, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, dan mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonom Presiden Clinton, Menjadi terkenal karena "Strategi Empat Langkah" yang diciptakannya bagi Bank Dunia, untuk memperbudak bangsa melalui para bankir.

Adapun strategi empat langkah tersebut antara lain: (1) Privatisasi, privatisasi dilakukan dengan memberikan tawaran kepada para pemimpin nasional yang nantinya akan diberi komisi sebesar 10% yang ada di rekening rahasia bank Swiss sebagai bentuk pertukaran uang pemangkasan beberapa miliar dolar dari harga penjualan aset nasional. Suap dan Korupsi, murni dan sederhana; (2) Liberalisasi Pasar Modal, langkah ini dilakukan untuk membatalkan hukum pajak uang yang melebihi perbatasannya. Joseph E Stiglitz, The World Bank Research Observer, menyebutnya siklus "Uang Panas". Awalnya, kas masuk dari luar negeri untuk berspekulasi di real state dan mata uang. Maka ketika perekonomian di negara itu mulai terlihat menjanjikan, uang dari luar negeri ini akan langsung ditarik keluar negeri lagi, sehingga menyebabkan ekonomi runtuh. Bangsa dalam keadaan tersebut akan membutuhkan bantuan IMF. Lalu, IMF akan menyediakan dana tersebut dengan syarat bahwa mereka diperbolehkan menaikkan suku bunga di mana saja dari 30% menjadi 80%. Hal ini terjadi di Indonesia dan Brasil, Juga di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin lainnya. Suku bunga yang lebih tinggi berakibat negara menjadi miskin, menghancurkan nilai properti, membantai industri produksi, dan mengerinkan keuangan nasional; (3) Menentukan harga berdasarkan pasar. Di Sinilah harga makanan, air, gas, dll dinaikkan yang menyebabkan kerusuhan sosial di negara masing,masing, sekarang lebih dikenal sebagai "Kerusuhan IMF". Kerusuhan ini menyebabkan pemodal menarik modal mereka dan pemerintah menjadi bangkrut. Hal ini menguntungkan perusahaan-perusahaan asing karena aset yang tersisa dapat dibeli dengan harga terendah; (4) Sistem Perdagangan Bebas. Di sinilah perusahaan-perusahaan internasional meledak di kawasan Asia, Amerika Latin, Afrika, sementara pada saat yang sama Eropa dan Amerika Serikat membarikade pasar mereka sendiri terhadap produk pertanian Dunia Ketiga. Mereka juga mengenakan tarif yang melambung tinggi bagi negara-negara tersebut sehingga mereka harus membayar mahal obat-obatan bermerek yang menyebabkan lonjakan angka kematian dan penyebaran penyakit.

Ada banyak pecundang dalam sistem ini, dan pemenang atau yang merasakan dampak positif atau keuntungan hanyalah BANKIR dan para Pemimpin atau orang yang berpengaruh di negara target. Bahkan IMF dan Bank Dunia telah membuat perjanjian listrik, air, telepon, dan gas dijalankan dengan sistem yang mengkondisikan sebagai pinjaman untuk setiap negara berkembang. Nilainya diperkirakan setara dengan pendapatan perkapita negara di Dunia Ketiga.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Jika strategi "empat langkah" yang dilakukan World Bank dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Maka, jawabannya sangat sederhana, tidak banyak yang menyangka jika apa yang terjadi di Indonesia semisal penjualan aset negara (BUMN dan Aneka SDA) dari dulu hingga saat ini merupakan fenomena yang telah didisain dengan sangat rapi, dan hanya para stakeholder kunci (Presiden dan Mentrinya, DPR, MPR dll) mengetahui hal tersebut.

Friday, November 3, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian Akhir), Dari Samuel P. Huntington "Islam Adalah Musuh Yang Nyata"

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka.
Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”.
dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
QS Al-Baqarah, 120


Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku " Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia" menyebut: Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja. Dari 32-an konflik-konflik di dunia sekitar tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan mengapa konflik menghantam. 
Mengapa demikian? Inilah yang memang tengah dijalankan. Opini didirikan, asumsi-asumsi mulai ditebarkan bahwa skenario itu seakan-akan itu sebuah kebenaran. Dunia pun termangu dalam diam! Ujung semuanya, Huntington merekomendasi perlu adanya "serangan dini" terhadap ancaman kaum (militan) Islam. Doktrin negara yang intinya adalah: dengan pertimbangan pembelaan diri dan cukup melalui asumsi lalu kemudian suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain, istilah sederhananya, pukul dahulu sebelum dipukul. Ide tersebut begitu kental mewarnai politik luar negeri Pemerintah Amerika Serikat terutama era kepemimpinan George W. Bush.

Awal Juni tahun 2002, metode serangan dini resmi menjadi doktrin baru AS. Meskipun hal itu sempat menimbulkan kontroversi baik dari dalam maupun luar negeri, oleh karena ada situasi pembanding. Padahal Amerika Serikat sewaktu Perang Dingin melawan Uni Soviet (kini Rusia) menggunakan metode penangkisan dan penangkalan, mengapa menghadapi teroris, musuh baru yang masih samar, menggunakan doktrin serangan dini?

Amerika Serikat sebagai negara superpower tak perduli akan hal itu. Ia jalan terus dengan para sekutu kendati invasi militernya pada beberapa wilayah banyak disebut ilegal. Afghanistan dan Iraq dahulu merupakan “korban” implementasi pertama doktrin kontroversial, akibat invasi militer AS dan sekutunya tidak lagi bisa ditekel, tak mampu dijegal.

Berbagai opini menyebut, doktrin itu lahir akibat “phobia” Barat terhadap Islam. Phobia ialah ketakutan berlebih tanpa dasar, tanpa jelas alasan. Maka melalui isu beragam, AS pun menebar sentimen keagamaan, dan tragedi 11 September 2001 merupakan salah satu strategi guna meraih dukungan internasional dalam rangka mengobarkan ‘perang melawan teroris’. Itulah propaganda emosional. Tatkala sentimen bergeser (atau sengaja digeser) maknanya bahwa teroris identik dengan Islam (militan). Memang disitulah tersirat sebuah tujuan dan saat ini masih terjadi di beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam!

Dalam ulasannya, Huntington menyebut faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain: (1) tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kalangan kaum muda muslim; (2) kebangkitan Islam memberi keyakinan kaumnya akan tinggi dan keistimewaan nilai peradaban Islam dibanding dengan Barat; (3) di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan selalu turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim; (4) Porak-porandanya Uni Soviet, telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dengan Barat merasa sebagai ancaman; (5) meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Pada buku " Siapa kita? Tantangan terhadap Identitas Nasional Amerika", Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa sesungguhnya musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel kata ‘militan’ sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan arti sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Islam benar-benar menggantikan posisi Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Ini adalah efek domino dari jatuhnya ekonomi AS yang menyebabkan krisis global dimana-mana, membuka “mata dunia”, bahwa Kapitalisme yang mendewakan demokrasi liberal ternyata bukan akhir evolusi suatu ideologi sebagaimana asumsi Francis Fukuyama. Kemenangan Kapitalisme atas ideologi Komunis saat Perang Dingin, ternyata tidak membawanya pada puncak hegemoni. Nasibnya tidak berbeda dengan ideologi-ideologi lain, tersobek dan berserak seperti selendang kain. Tesis Fukuyama pun gugur tidak berguna lagi. Teorinya bisu dan mati. Dunia bertanya, peradaban dari ideologi mana lagi yang unggul lagi lestari?

Kemunculan Rusia dan China dalam kiprah politik global saat ini menarik perhatian dunia. Masyarakat global seperti melihat bangkitnya komunis via kedua negara adidaya tersebut. Apakah setelah bangkrutnya kapitalisme, banyak negara bakal berkiblat kepada (komunisme) Rusia dan China? Tapi rupa-rupanya banyak kelompok dan negara yang trauma. Kapok. Entah sebab apa.

Persoalannya ialah, peradaban mana yang bisa menjadi teladan bagi dunia baru, setelah melihat berbagai ideologi yang tumbuh dan berkembang di muka bumi bertumbangan satu demi satu?

Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “benih”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Benturan Antar Peradaban, Huntington.

" Sesungguhnya Islam itu bukan ideologi, Islam adalah agama langit. Jika ideologi ialah hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya, sedang Islam ialah tuntunan hidup manusia menurut aturan dan petunjuk-Nya"

Manakala kini berkembang banyak aliran dalam tubuh Islam dan tiap aliran mengklaim dirinya sebagai kelompok paling benar, itu bukanlah hal prinsip di internal Islam karena cuma masalah latar belakang, wacana dan pendidikan.

Butuh waktu guna mentata ulang kembali. Memang dampak yang ditimbulkan seakan-akan umat Muslim terkotak-kotak. Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memecah-belah Islam dari sisi internal, dilakukan oleh suatu negara, atau kaum maupun golongan tertentu yang menganggap Islam sebagai ancaman. Sebuah retorika menyeruak pada benak ini: Ingatkah terhadap strategi belah bambu dan taktik adu domba yang dijalankan pada banyak kalangan Islam dan dipraktekkan di negara-negara berkembang?

Adanya cap atau merek Islam radikal, liberal, modern, Islam fundamental, tradisional, abangan dan seterusnya, sejatinya adalah stigma buatan yang hendak membentur-benturkan sesama muslim tanpa umat Islam itu sendiri menyadarinya. Itulah hakiki yang terjadi di berbagai negara. Walaupun tata cara dan format adu domba terlihat tidak sama di setiap wilayah, akan tetapi hakikinya serupa. Hanya berbeda nama beda nuansa.

Inilah kesalahan terbesar pakar politik AS Huntington. Mengapa demikian, karena dari sisi terminologi saja, Barat adalah arah mata angin, dimana bila itu dihadapkan selayaknya dengan Timur, Utara atau Selatan, dan bukannya dengan Islam. Itulah yang terjadi. Asumsi awalnya salah, menghadirkan implementasi yang rancu dan salah kaprah. Begitulah jadinya. Dengan demikian, konsep Huntington tentang benturan peradaban seperti menepuk air di dulang, memercik ke muka “sang tuan”, oleh sebab sesungguhnya tidak ada benturan peradaban, kecuali benturan yang diciptakan sepihak, dan diada-adakan!

Dan sejatinya, tidak ada ideologi lestari di muka bumi karena semua bisa berubah menurut waktu. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Setiap ideologi mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing seperti yang dikatakan Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Sebagai contoh, ideologi X dianggap baik di negara A belum tentu cocok diterapkan pada negara B, demikian sebaliknya. Atau suatu doktrin Y cocok untuk era tempo doeloe tetapi menjadi basi pada masa kini, dan sebagainya. Oleh karena itu upaya pengglobalan nilai dan peradaban oleh suatu negara atau kaum tertentu di dunia adalah hal mustahil. Tak masuk akal. Demikianlah adanya.