Dalam satu masyarakat primitif, perjuangan antara agresi dan kerjasama ditentukan oleh alam sekitarnya. Apabila kelaparan mengancam masyarakat setiap harinya, seperti halnya penghuni Dunia Ketiga semisal suku-suku yang ada di Afrika, maka kebutuhan untuk mempertahankan hidup memaksa masyarakat untuk bekerjasama dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya. Akan tetapi pada masyarakat modern saat ini tekanan nyata dari alam sekitar ini tidak ada. Sekiranya manusia itu tidak lagi bahu-membahu melaksanakan tugas yang secara langsung berkenaan dengan usaha mempertahankan hidupnya, apabila separuh atau lebih dari penduduk bumi tidak pernah menggarap tanah; memasuki lobang-lobang tambang, menebang pohon yang nantinya digunakan untuk membangun rumah dengan tangan mereka, atau pun membuat sebuah pabrik yang limbahnya dibuang ke alam hingga ekosistem mengalami kerusakan karena tercemar, maka kelangsungan hidup antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan alam, merupakan suatu kenyataan hidup yang menakjubkan.
Sungguh sangat luar biasa, bahwa eksistensi masyarakat itu tergantung pada sehelai rambut. Masyarakat modern terancam oleh seribu macam bahaya. Kalau sekiranya para petani gagal menghasilkan panen yang cukup jumlahnya; kalau sekiranya para nelayan memutuskan untuk menjadi buruh pabrik; kalau sekiranya ahli kesehatan lebih memilih menjadi pengusaha dan para guru atau tenaga pengajar di sekolah lebih memilih menjadi manager disebuah perusahaan. Pendek kata, jikalau sekiranya salah satu daripada seribu tugas masyarakat yang saling berkaitan itu tidak dilaksanakan dengan baik. Maka, setiap hari masyarakat akan menghadapi kemungkinan kehancuran bukan karena disebabkan oleh alam, akan tetapi sebagai akibat bahwa sifat manusia ternyata tidak dapat diramal sebelumnya.
Selama berabad-abad manusia hanya mempnyai tiga cara untuk menghadapi kehancuran dalam hidup untuk menjalani kehidupn. Pertama, Ia akan berusaha mempertahankan kontinuitasnya dengan membentuk atau mengorganisir masyarakat menurut tradisi, dengan menurunkan berbagai macam tugas yang diperlukan dari satu generasi ke generasi berikutnya menurut ada istiadat dan kebiasaan. Semisal, seorang anak dalam sebuah keluarga akan mengikuti jejak ayahnya dan pola ini akan terus dipertahankan. Di Mesir kuno tempo doloe, “setiap orang terikat oleh suatu kaidah agama untuk menggantikan pekerjaan ayahnya yang jika sekiranya ia menolak dianggap sebagai pencemaran tempat yang tersuci” Adam Smith. Sama halnya dengan India tempo doeloe, di mana kedudukan-kedudukan tertentu yang secara tradisional ditentukan oleh kasta. Memang di banyak negara di mana industri tidak berkembang, seseorang mengikuti jejak orang tuanya dalam menutupi kebutuhan hidupnya atau mencari nafkah.
Kedua, masyarakat dihadapkan dengan kondisi dalam hidup untuk menjalani kehidupan dikontrol oleh pemerintah yang otoriter untuk menjaga agar tugas-tugas yang dikerjakan oleh masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut dijalankan. Piramida-piramida di Mesir kuno tidak dibangun karena terpikir oleh seorang kontraktor yang berani untuk membangunnya, begitupulah di Indonesia pada masa kolonial, dimana masyarakat atau rakyat Indonesia atas perintah dari pejabat pemerintahan setempat yang berwajah pribumi tapi dikontrol oleh VOC memaksakan rakyat Indonesia bekerja sebagai petani dan buruh bukan semata untuk kelangsungan hidup rakyat tersebut akan tetapi hasil dari pekerjaan yang dilakukan hanya dan untuk VOC (organisasi dagang Belanda). Baik Mesir maupun Indonesia pasca Kolonial adalah negara yang mencerminkan gaya kepemimpinan otoriter, mereka menjaga kelangsungan (kekuasaan) mereka dengan surat perintah seorang penguasa yang dibarengi dengan sebuah ancaman hukuman yang berasal dari penguasa tertinggi tersebut.
Berabad-abad lamanya manusia telah menyelesaikan masalah kelangsungan hidup dalam menjalani kehidupan di muka bumi dengan menggunakan salah satu dari cara-cara penyelesaian diatas. Dan selama masalah dalam menjalani hidup ditangani dengan cara tradisi atau perintah. Maka, meniscayakan tidak akan hadir atau tidak adanya kesempatan bertumbuhnya suatu bidang studi khusus salah satunya Ilmu Ekonomi. Walaupun masayarakat dari zaman sejarah telah menunjukkan suatu pola yang berkaitan dengan ekonomi, walaupun dari zaman dahulu menggunakan besi, perunggu, perak hingga emas sebagai mata uang, walaupun masyarakat tempo doeloe dalam aktifitasnya mendistribusikan barang-barang mereka dengan pola komunal yang sifatnya paling sederhana atau dengan cara yang bersifat ritual yang sangat pelit, selama mereka itu diatur oleh adat istiadat atau perintah, mereka (masyarakat) dalam sebuah wilayah atau kerajaan/negara tidak akan memerlukan ahli-ahli ekonomi.
Ketiga, ini adalah cara dimana suatu masyarakat ingin mempertahankan kontinuitasnya dengan memberikan setiap orang berbuat apa yang cocok untuk dirinya, asal ia mematuhi suatu peraturan pokok. Disinilah juga para ahli ekonomi hadir dan menawarkan cara yang disebut “sistem pasar” untuk menyelesaikan masalah dalam mempertahankan hidup. Setiap orang akan berbuat suatu yang menurut dia akan memberikan keuntungan keuangan yang terbaik. Dalam sistem pasar, daya tarik ialah keuntungan, bukan sebuah dorongan dari sebuah tradisi atau cambuk penguasa yang mendorong masing-masing orang melaksanakan tugasnya. Namun, jikalau dalam masyarakat itu sendiri hanya mengejar suatu keuntungan semata dalam menjalani hidup maka akan timbul pertentangan dalam masyarakat itu sendiri. Semisal, lahirnya golongan yang diuntungkan dan yang tidak diuntungkan atau dengan kata lain, lahirnya suatu kelompok baru yang bernama kelompok yang memiliki (kaya) dan tidak memiliki (miskin).
Nah, dari tiga cara dalam mempertahankan hidup dalam menjalani kehidupan, pertanyaan sederhana. Berada dimanakah kita saat ini?