Friday, November 3, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian Akhir), Dari Samuel P. Huntington "Islam Adalah Musuh Yang Nyata"

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka.
Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”.
dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
QS Al-Baqarah, 120


Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku " Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia" menyebut: Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja. Dari 32-an konflik-konflik di dunia sekitar tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan mengapa konflik menghantam. 
Mengapa demikian? Inilah yang memang tengah dijalankan. Opini didirikan, asumsi-asumsi mulai ditebarkan bahwa skenario itu seakan-akan itu sebuah kebenaran. Dunia pun termangu dalam diam! Ujung semuanya, Huntington merekomendasi perlu adanya "serangan dini" terhadap ancaman kaum (militan) Islam. Doktrin negara yang intinya adalah: dengan pertimbangan pembelaan diri dan cukup melalui asumsi lalu kemudian suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain, istilah sederhananya, pukul dahulu sebelum dipukul. Ide tersebut begitu kental mewarnai politik luar negeri Pemerintah Amerika Serikat terutama era kepemimpinan George W. Bush.

Awal Juni tahun 2002, metode serangan dini resmi menjadi doktrin baru AS. Meskipun hal itu sempat menimbulkan kontroversi baik dari dalam maupun luar negeri, oleh karena ada situasi pembanding. Padahal Amerika Serikat sewaktu Perang Dingin melawan Uni Soviet (kini Rusia) menggunakan metode penangkisan dan penangkalan, mengapa menghadapi teroris, musuh baru yang masih samar, menggunakan doktrin serangan dini?

Amerika Serikat sebagai negara superpower tak perduli akan hal itu. Ia jalan terus dengan para sekutu kendati invasi militernya pada beberapa wilayah banyak disebut ilegal. Afghanistan dan Iraq dahulu merupakan “korban” implementasi pertama doktrin kontroversial, akibat invasi militer AS dan sekutunya tidak lagi bisa ditekel, tak mampu dijegal.

Berbagai opini menyebut, doktrin itu lahir akibat “phobia” Barat terhadap Islam. Phobia ialah ketakutan berlebih tanpa dasar, tanpa jelas alasan. Maka melalui isu beragam, AS pun menebar sentimen keagamaan, dan tragedi 11 September 2001 merupakan salah satu strategi guna meraih dukungan internasional dalam rangka mengobarkan ‘perang melawan teroris’. Itulah propaganda emosional. Tatkala sentimen bergeser (atau sengaja digeser) maknanya bahwa teroris identik dengan Islam (militan). Memang disitulah tersirat sebuah tujuan dan saat ini masih terjadi di beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam!

Dalam ulasannya, Huntington menyebut faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain: (1) tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kalangan kaum muda muslim; (2) kebangkitan Islam memberi keyakinan kaumnya akan tinggi dan keistimewaan nilai peradaban Islam dibanding dengan Barat; (3) di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan selalu turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim; (4) Porak-porandanya Uni Soviet, telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dengan Barat merasa sebagai ancaman; (5) meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Pada buku " Siapa kita? Tantangan terhadap Identitas Nasional Amerika", Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa sesungguhnya musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel kata ‘militan’ sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan arti sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Islam benar-benar menggantikan posisi Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Ini adalah efek domino dari jatuhnya ekonomi AS yang menyebabkan krisis global dimana-mana, membuka “mata dunia”, bahwa Kapitalisme yang mendewakan demokrasi liberal ternyata bukan akhir evolusi suatu ideologi sebagaimana asumsi Francis Fukuyama. Kemenangan Kapitalisme atas ideologi Komunis saat Perang Dingin, ternyata tidak membawanya pada puncak hegemoni. Nasibnya tidak berbeda dengan ideologi-ideologi lain, tersobek dan berserak seperti selendang kain. Tesis Fukuyama pun gugur tidak berguna lagi. Teorinya bisu dan mati. Dunia bertanya, peradaban dari ideologi mana lagi yang unggul lagi lestari?

Kemunculan Rusia dan China dalam kiprah politik global saat ini menarik perhatian dunia. Masyarakat global seperti melihat bangkitnya komunis via kedua negara adidaya tersebut. Apakah setelah bangkrutnya kapitalisme, banyak negara bakal berkiblat kepada (komunisme) Rusia dan China? Tapi rupa-rupanya banyak kelompok dan negara yang trauma. Kapok. Entah sebab apa.

Persoalannya ialah, peradaban mana yang bisa menjadi teladan bagi dunia baru, setelah melihat berbagai ideologi yang tumbuh dan berkembang di muka bumi bertumbangan satu demi satu?

Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “benih”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Benturan Antar Peradaban, Huntington.

" Sesungguhnya Islam itu bukan ideologi, Islam adalah agama langit. Jika ideologi ialah hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya, sedang Islam ialah tuntunan hidup manusia menurut aturan dan petunjuk-Nya"

Manakala kini berkembang banyak aliran dalam tubuh Islam dan tiap aliran mengklaim dirinya sebagai kelompok paling benar, itu bukanlah hal prinsip di internal Islam karena cuma masalah latar belakang, wacana dan pendidikan.

Butuh waktu guna mentata ulang kembali. Memang dampak yang ditimbulkan seakan-akan umat Muslim terkotak-kotak. Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memecah-belah Islam dari sisi internal, dilakukan oleh suatu negara, atau kaum maupun golongan tertentu yang menganggap Islam sebagai ancaman. Sebuah retorika menyeruak pada benak ini: Ingatkah terhadap strategi belah bambu dan taktik adu domba yang dijalankan pada banyak kalangan Islam dan dipraktekkan di negara-negara berkembang?

Adanya cap atau merek Islam radikal, liberal, modern, Islam fundamental, tradisional, abangan dan seterusnya, sejatinya adalah stigma buatan yang hendak membentur-benturkan sesama muslim tanpa umat Islam itu sendiri menyadarinya. Itulah hakiki yang terjadi di berbagai negara. Walaupun tata cara dan format adu domba terlihat tidak sama di setiap wilayah, akan tetapi hakikinya serupa. Hanya berbeda nama beda nuansa.

Inilah kesalahan terbesar pakar politik AS Huntington. Mengapa demikian, karena dari sisi terminologi saja, Barat adalah arah mata angin, dimana bila itu dihadapkan selayaknya dengan Timur, Utara atau Selatan, dan bukannya dengan Islam. Itulah yang terjadi. Asumsi awalnya salah, menghadirkan implementasi yang rancu dan salah kaprah. Begitulah jadinya. Dengan demikian, konsep Huntington tentang benturan peradaban seperti menepuk air di dulang, memercik ke muka “sang tuan”, oleh sebab sesungguhnya tidak ada benturan peradaban, kecuali benturan yang diciptakan sepihak, dan diada-adakan!

Dan sejatinya, tidak ada ideologi lestari di muka bumi karena semua bisa berubah menurut waktu. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Setiap ideologi mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing seperti yang dikatakan Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Sebagai contoh, ideologi X dianggap baik di negara A belum tentu cocok diterapkan pada negara B, demikian sebaliknya. Atau suatu doktrin Y cocok untuk era tempo doeloe tetapi menjadi basi pada masa kini, dan sebagainya. Oleh karena itu upaya pengglobalan nilai dan peradaban oleh suatu negara atau kaum tertentu di dunia adalah hal mustahil. Tak masuk akal. Demikianlah adanya.

No comments:

Post a Comment