Wednesday, December 27, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian III); Bahaya Laten Pembentukan Israel Raya




Di dunia Maya (sosmed) hingga Sampai di dunia nyata (ruang publik) seperti warung kopi, masih menjadi pembicaraan hangat semua kalangan atas apa hal yang tersirat dari langkah Presiden Trump yang memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem?

kebijakan Donald Trump terkait polemik Jerusalem harus dibaca dari rencana besar pembentukan “Israel Raya” yang merupakan titik tolak faksi Zionis yang kuat di dalam pemerintahan Netanyahu saat ini, partai Likud, dan juga di dalam badan militer dan intelijen Israel.

Maka bukan tanpa alasan kalau Trump secara sepihak menegaskan dukungannya terhadap permukiman ilegal Israel (termasuk penentangannya terhadap Resolusi 2334 oleh Dewan Keamanan PBB, yang berkaitan dengan ilegalitas permukiman Israel di Tepi Barat).

Selain itu, dengan memindahkan Kedutaan Besar A.S. ke Yerusalem dan mengizinkan perluasan permukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan dan sekitarnya, presiden AS telah memberikan dukungan de facto terhadap proyek “Israel Raya”.

Ada kemungkinan desain ini tidak sepenuhnya merupakan Proyek Zionis untuk Timur Tengah, ini adalah bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dimaksudkan untuk memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi di seluruh wilayah.

“wilayah Negara Yahudi membentang, Dari Sungai Mesir sampai sungai Efrat. Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Mesir sampai ke Efrat, itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon.” Theodore Herzl, Pendiri Zionisme.

Jika dilihat dalam konteks saat ini, Rencana Zionis untuk Timur Tengah berkaitan erat dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.

Proyek “Israel Raya” bertujuan untuk melemahkan dan akhirnya membuat negara-negara Arab tetangga menjadi bagian dari proyek ekspansionis AS-Israel, dengan dukungan NATO dan Arab Saudi. Dalam kaitan ini, pendekatan yang dilakukan oleh Saudi-Israel berasal dari sudut pandang Netanyahu sebagai sarana untuk memperluas wilayah pengaruh Israel di Timur Tengah, termasuk juga dalam menghadapi Iran. Tak perlu diragukan lagi, proyek “Israel Raya” konsisten dengan desain kekaisaran Amerika.

“Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba.

Sejumlah Zionis menginginkan lebih atas tanah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.”

Proyek Zionis mendukung gerakan permukiman Yahudi. Secara lebih luas, ini melibatkan sebuah kebijakan untuk mengecualikan orang-orang Palestina dari negerinya hingga mengarah pada aneksasi terakhir, yaitu Tepi Barat dan Gaza ke Negara Israel.

Israel Raya akan menciptakan sejumlah negara proxy di sejumlah negara seperti Lebanon, Yordania, Suriah, Sinai, serta bagian Irak dan Arab Saudi.

Ahli strategi Israel memandang Irak sebagai tantangan strategis terbesar mereka dari negara Arab. Itulah sebabnya mengapa Irak dijadikan pusat untuk balkanisasi Timur Tengah dan Dunia Arab. Di Irak, ahli strategi Israel telah meminta pembagian Irak ke negara Kurdi dan dua negara Arab, satu untuk Muslim Syiah dan yang lainnya untuk Muslim Sunni. Langkah pertama untuk membangun ini adalah perang antara Irak dan Iran, yang memang sudah dalam skenario.

Pembentukan “Israel Raya” mensyaratkan terputusnya negara-negara Arab yang ada menjadi negara-negara kecil.

“Rencana tersebut beroperasi pada dua premis penting. Untuk bertahan hidup, Israel harus: 1) menjadi kekuatan regional imperial, dan 2) harus mempengaruhi pembagian seluruh wilayah menjadi negara-negara kecil dengan memcah belah semua negara Arab yang ada. 

Kemungkinan kecil disini kalau tergantung pada komposisi etnis atau sektarian masing-masing negara. Akibatnya, harapan Zionis adalah bahwa negara-negara berbasis sektarian menjadi satelit Israel dan, ironisnya, menjadi sumber legitimasi moralnya. Ini bukan ide baru, dan juga tidak muncul untuk pertama kalinya dalam pemikiran strategis Zionis. Memang, memecah-belah semua negara Arab menjadi unit-unit yang lebih kecil telah menjadi tema yang berulang.”

Dilihat dalam konteks ini, perang Suriah dan Irak merupakan bagian dari proses ekspansi teritorial Israel.

Dalam hal ini, yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kekalahan teroris yang disponsori AS (ISIS, Al Nusra) oleh Pasukan Suriah dengan dukungan Rusia, Iran dan Hizbullah merupakan kemunduran yang signifikan bagi Israel.

Tuesday, December 26, 2017

Perilaku "Gila" Para Elit Politik

" Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan " Bertrand Russel, Kekuasaan; Sebuah analisis sosial baru.

Menjelang pilkada serentak jilid III saat ini, mayoritas rakyat sudah mengetahui bahkan merasakan bahwa kegaduhan politik tidak lagi terkait dengan kepentingan rakyat, tetapi kegaduhan antarelit politik sendiri yang sifatnya hanya memikirkan diri dan kepentingan kelompoknya saja. 

Inilah atraksi politik. Ketika timbul ketidakpercayaan publik terhadap partai politik (parpol), dan/atau para elitnya, niscaya bakal mengimbas kepada pemerintah itu sendiri.

Implikasi politis itu bersifat pararel atau berbanding lurus. Artinya, melemahnya (peran) parpol terhadap rakyat berbanding implikasinya kepada pemerintah, khususnya dalam rangka meraih kepercayaan publik.

Keamanan dan kesejahteraan rakyat, keselamatan bangsa, keutuhan wilayah dan/atau kedaulatan negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan nasional sebagai cita dan tujuan nasional itu sendiri. Secara spesifik, ia menyangkut kedaulatan dan/atau ketahananan bidang pangan serta energi sebuah bangsa (Indonesia). Dimana hukumnya bagi segenap warga bangsa mutlak ‘satu suara’ jika menyangkut hal itu. Tak boleh beragam tafsir.

Pertanyaannya, jikalau kini rakyat disuguhi dengan kegaduhan yang dilakukan oleh para elit partai politik, “Adakah kegaduhan politik yang terjadi, berkaitan dengan rakyat atau kepentingan nasional"?

Ya, lagi-lagi perilaku gila para pelaku atau elit-elit itu sendiri yang selalu saling menebar statement namun ‘tidak nyambung’. Contohnya, ada arus dan angin besar yang harusnya diantisipasi malah dianggap sepoi-poi. Parahnya lagi, kesusahan rakyat justru hendak dieksploitasi dan/atau dipertontonkan ke publik global, dan lainnya.

Friday, December 22, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian II); 7 Hubungan Mesra Indonesia-Israel



Polemik pasca diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh presiden Amerika Serikat, Donal Trump menuai kritikan tajam oleh negara-negara Islam salah satunya Indonesia. Walaupun beberapa saat yang lalu, dalam sidang majelis umum PBB yang dihadiri 128 negara, AS dan Israel kalah telak atas Pengklaiman Yerusalem sebagai Ibukota Israel melalui voting.

Di Indonesia sendiri, yang mayoritas penduduknya beragama muslim tidak tinggal diam atas Pengklaiman sepihak yang dilakukan oleh Donald Trump. Sejumlah aksi penolakan dilakukan oleh penduduk Indonesia, dari pembakaran bendera Amerika-Israel sampai pemboikotan produk-produk dari kedua negara tersebut.

Jika dikaji lebih dalam, ada sedikit anekdot antara Isreal dan Indonesia sendiri. Hubungan mesra antara Indonesia dan Israel dari orde lama hingga era reformasi terus berlanjut.

Berikut 7 (tujuh) informasi penting yang menggambarkan latar belakang hubungan Israel- Indonesia yang perlu diketahui.

1. Tahun 1993 PM Israel Yitzhak Rabin bertemu Presiden Soeharto dengan difasilitasi Jendral TNI Benny Murdani.

2. Tahun 1994 Ketua Umum PB NU Abdulrrahman Wahid mengunjungi Israel.

3. Tahun 2000 Ditandatangani Kerjasama asuransi kredit ekspor antara PT Auransi Jassindo dengan Assure Limited Of Israel untuk memberi asuransi kredit ekspor baik kepada perusahaan Israel maupun Indonesia, di antaranya Bakrie Group

4. Perdagangan antara Indonesia-Israel saat ini bernilai sekitar USD 400-500 juta per tahun. Indonesia mengekspor komoditas dan mengimpor barang2 teknologi tinggi dari Isarel.

5. Tahun 2002 didirikan Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC) dan sudah memiliki 4,450 anggota serta telah membentuk business lobby. Pembentukan IIPAC dibantu seorang Indonesia keturunan Yahudi, Benyamin Ketang yang belajar di Israel dengan beasiswa dari Presiden Abdurahman Wahid, Benyamin pada saat itu adalah warga Nahdatul Ulama (NU) dan adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesoia (PMII).

6. Kunjungan Menteri Ekonomi Israel Naftalli Bennett ke Konperensi World Trade Organization (WTO) di BalitTahun 2013 dan telah membuat kesepakatan perdagangan dengan pejabat-pejabat Indonesia.

7. Kunjungan rahasia (secret visit) para pejabat Indonesia ke Knesset (Parlemen Israel) di tahun 2014. 

Itulah 7 (tujuh) informasi hubungan mesra antara Indonesia dan Isreal. Ada sedikit pertanyaan yang hadir saat ini, mengapa presiden Jokowi jika memang tidak terima dan seolah marah atas tindakan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sampai detik ini hanya sekedar mengecam kebijakan Amerika terkhusus Israel? Sedang, produk-produk dari Ameriak-Israel menyebar bagaikan rumput liar di bumi Pertiwi ini. . .

Tuesday, December 19, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian I); Manuver Awal Donald Trump

Negara-negara yang bergabung di PBB sebagai Dewan Kehormatan

Gaduh di alam maya juga di dunia nyata. Dari media sosial hingga ke warung kopi. Kegaduhan itu berasal atas klaim Donald Trump terkait Jerusalem beberapa hari yang lalu. Ini mirip kasus Ahok dulu yang menista Al Maidah 51 di Jakarta, langkah Trump berpola sama dengan kasus Ahok cuma ia berskala global, yaitu menyentuh ‘ruang’ yang sangat disakralkan oleh umat Islam: “Sentimen keagamaan”. Akan tetapi kita tak boleh larut dalam bahasan sentimen dimaksud. Kenapa? Klaim itu cuma isu atau pemicu. Ibarat seseorang yang ingin memasuki rumah seseorang tapi hanya sebatas mengetuk pintu saja.

Terkait langkah Trump, ada dua asumsi, pertanyaannya, “Itu isu sebagai pola atau isu sebagai metode?” Jika sebagai metode maka sifatnya mengetes. Meski memancing reaksi publik, sekurang-kurangnya ia bisa mapping kekuatan baru. Mengetahui, Siapa lawan, dimana kawan atau mana abu-abu.

Kelompok Trump mungkin membaca, ada arus kencang di dunia Islam. Mereka ingin melihat, arus ini riil atau cuma framing media. Mereka menyelam dalam pusaran kebangkitan. Artinya, jika akhirnya Trump membatalkan klaim atas Jerusalem, boleh ditebak arus kebangkitan itu sungguh nyata lagi luar biasa. Bisa jadi, klaim itu dicabut kembali, ataupun isu Jerusalem terus dilanjutkan namun dibarengi upaya-upaya pecah belah agar arus melemah. Ada keuntungan dan kelemahan memang, di satu sisi, ia mengantongi pemetaan blok baru dan sekutu baru, di sisi lain meretakkan bagunan hegemoni Paman Sam selaku “polisi dunia” apabila isu dicabut.

Masih dalam bahasan isu sebagai metode, ada hal di luar prediksi. Ya. Bila blunder Ahok menimbukan arus kebangkitan kaum muslim di Indonesia, bisa jadi klaim Trump atas Jerusalam justru memunculkan gelombang kebangkitan Islam berskala global?

Sekarang kita bahas isu sebagai pola. Sebagai pola, isu sifatnya cuma awalan saja. Pintu pembuka. Setelah itu akan diluncurkan tema atau agenda, dan terakhir ditancapkan skema. 

Dalam isu sebagai pola, agenda berikutnya adalah langkah pasti. Artinya, entah isu yang ditebar menimbulkan protes keras atau penolakan disana-sini. Tak masalah. Publik tidak lagi disuguhi berita tetapi telah dicekoki agenda. Seperti peristiwa 9-11/WTC contohnya atau isu senjata pemusnah massal di Irak dulu. Disitu tampak jelas pagelaran “isu sebagai pola.” Kenapa? Sebab langkahnya pasti meski menuai protes disana-sini. Apabila (isu) 9-11 agendanya menyerbu Afghanistan secara militer, sedang isu senjata pemusnah massal agendanya menggempur Irak. Skema keduanya, ternyata sama yakni kavling-kavling pada wilayah ekonomi (ladang-ladang minyak dan gas) di Irak dan Afghanistan. Itulah isu sebagai pola dimana isu – tema/agenda – skema (ITS) berjalan pasti.

Pertanyaannya kini, “Apakah klaim Trump atas Jerusalem itu dianggap isu sebagai metode atau isu sebagai pola yang memiliki hidden agenda?”. . .