Di dunia Maya (sosmed) hingga Sampai di dunia nyata (ruang publik) seperti warung kopi, masih menjadi pembicaraan hangat semua kalangan atas apa hal yang tersirat dari langkah Presiden Trump yang memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem?
kebijakan Donald Trump terkait polemik Jerusalem harus dibaca dari rencana besar pembentukan “Israel Raya” yang merupakan titik tolak faksi Zionis yang kuat di dalam pemerintahan Netanyahu saat ini, partai Likud, dan juga di dalam badan militer dan intelijen Israel.
Maka bukan tanpa alasan kalau Trump secara sepihak menegaskan dukungannya terhadap permukiman ilegal Israel (termasuk penentangannya terhadap Resolusi 2334 oleh Dewan Keamanan PBB, yang berkaitan dengan ilegalitas permukiman Israel di Tepi Barat).
Selain itu, dengan memindahkan Kedutaan Besar A.S. ke Yerusalem dan mengizinkan perluasan permukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan dan sekitarnya, presiden AS telah memberikan dukungan de facto terhadap proyek “Israel Raya”.
Ada kemungkinan desain ini tidak sepenuhnya merupakan Proyek Zionis untuk Timur Tengah, ini adalah bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dimaksudkan untuk memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi di seluruh wilayah.
“wilayah Negara Yahudi membentang, Dari Sungai Mesir sampai sungai Efrat. Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Mesir sampai ke Efrat, itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon.” Theodore Herzl, Pendiri Zionisme.
Jika dilihat dalam konteks saat ini, Rencana Zionis untuk Timur Tengah berkaitan erat dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.
Proyek “Israel Raya” bertujuan untuk melemahkan dan akhirnya membuat negara-negara Arab tetangga menjadi bagian dari proyek ekspansionis AS-Israel, dengan dukungan NATO dan Arab Saudi. Dalam kaitan ini, pendekatan yang dilakukan oleh Saudi-Israel berasal dari sudut pandang Netanyahu sebagai sarana untuk memperluas wilayah pengaruh Israel di Timur Tengah, termasuk juga dalam menghadapi Iran. Tak perlu diragukan lagi, proyek “Israel Raya” konsisten dengan desain kekaisaran Amerika.
“Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba.
Sejumlah Zionis menginginkan lebih atas tanah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.”
Proyek Zionis mendukung gerakan permukiman Yahudi. Secara lebih luas, ini melibatkan sebuah kebijakan untuk mengecualikan orang-orang Palestina dari negerinya hingga mengarah pada aneksasi terakhir, yaitu Tepi Barat dan Gaza ke Negara Israel.
Israel Raya akan menciptakan sejumlah negara proxy di sejumlah negara seperti Lebanon, Yordania, Suriah, Sinai, serta bagian Irak dan Arab Saudi.
Ahli strategi Israel memandang Irak sebagai tantangan strategis terbesar mereka dari negara Arab. Itulah sebabnya mengapa Irak dijadikan pusat untuk balkanisasi Timur Tengah dan Dunia Arab. Di Irak, ahli strategi Israel telah meminta pembagian Irak ke negara Kurdi dan dua negara Arab, satu untuk Muslim Syiah dan yang lainnya untuk Muslim Sunni. Langkah pertama untuk membangun ini adalah perang antara Irak dan Iran, yang memang sudah dalam skenario.
Pembentukan “Israel Raya” mensyaratkan terputusnya negara-negara Arab yang ada menjadi negara-negara kecil.
“Rencana tersebut beroperasi pada dua premis penting. Untuk bertahan hidup, Israel harus: 1) menjadi kekuatan regional imperial, dan 2) harus mempengaruhi pembagian seluruh wilayah menjadi negara-negara kecil dengan memcah belah semua negara Arab yang ada.
Kemungkinan kecil disini kalau tergantung pada komposisi etnis atau sektarian masing-masing negara. Akibatnya, harapan Zionis adalah bahwa negara-negara berbasis sektarian menjadi satelit Israel dan, ironisnya, menjadi sumber legitimasi moralnya. Ini bukan ide baru, dan juga tidak muncul untuk pertama kalinya dalam pemikiran strategis Zionis. Memang, memecah-belah semua negara Arab menjadi unit-unit yang lebih kecil telah menjadi tema yang berulang.”
Dilihat dalam konteks ini, perang Suriah dan Irak merupakan bagian dari proses ekspansi teritorial Israel.
Dalam hal ini, yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kekalahan teroris yang disponsori AS (ISIS, Al Nusra) oleh Pasukan Suriah dengan dukungan Rusia, Iran dan Hizbullah merupakan kemunduran yang signifikan bagi Israel.