Indonesia di Asia-Pasifik, Sebuah Pendahuluan
Kita memang belum tentu bersepakat bahwa persaingan global Amerika Serikat (AS) versus Cina di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, akan mengarah pada konflik bersenjata sebagaimana diprediksi oleh Dr Samuel Huntington pada dekade 1990-an. Namun ada satu tren global yang saat ini tak terbantahkan: Persaingan global antar negara-negara adidaya, yaitu antara AS versus Cina-Rusia, telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik. Artinya, Asia Pasifik akan menjadi “Medan Perang” baru berbaga kepentingan negara-negara adidaya. Sehingga Indonesia, otomatis juga akan menjadi “Sasaran Arena Pertarungan” berbagai negara-negara adidaya.
Karena itu, sudah seharusnya para “Pemangku Kepentingan” Kebijakan Luar Negeri kita mulai mempertimbangkan kembali nilai strategis Indonesia secara geopolitik, seraya menjadikannya sebagai landasan penyusunan kebijakan-kebijakan strategis terkait politik luar negeri dan perekonomian nasional. Sehingga bisa memainkan peran aktif dan aktor yang sadar geopolitik, dalam mengantisipasi terjadinya pergeseran konsentrasi pertarungan global dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah ke Asia Pasifik.
Andaikan kita menyimak dan menyelami pandangan dan analisis para founding fathers kita, Bung Karno dan Dr Sam Ratulangie, tren global yang saat ini tengah berlangsung, semestinya tidak mengagetkan kita lagi. Pada 1930-an, Bung Karno sudah mengingatkan betapa strategisnya kawasan Asia Pasifik di kelak kemudian hari:
“Bahwa Asia-Pasifik akan jadi pusat-nya dunia, perang lautan teduh adalah babak pembuka Kemerdekaan Asia Raya. Kelak Eropa hanya jadi benua tua yang sakit-sakitan sementara Asia Pasifik akan tumbuh bak gadis molek yang menghantui setiap pikiran ‘lelaki.’
Malalui sekelumit ungkapan ini, jelaslah Sukarno sudah meletakkan pandangan geopolitiknya yang amat menjangkau masa depan. Terbukti sekarang Asia Pasifik jadi rebutan antara Amerika Serikat dan Cina, dan perang beneran kemungkinan akan meletus karena Cina sudah memperkuat armadanya di laut Nanyang (Laut Selatan Cina) sementara Amerika Serikat sudah membuka armada siap tempur di Darwin Australia.
Dr Sam Ratulangie, pada 1936 semakin memperkuat prediksi Bung Karno, melalui buku karyanya bertajuk: Indonesia di Pasifik. Analisa Masalah-Masalah Pokok Asia Pasifik (1982). Melalui buku yang beliau tulis ketika berada dalam tahanan pemerintahan kolonial Belanda di Sukamiskin, Bandung, memberi gambaran yang lebih rinci betapa strategisnya kawasan Asia Pasifik di masa depan, sekaligus peran dan kedudukan Indonesia di tengah pertarungan antar berbagai kepentingan strategis negara-negara adidaya di kawasan ini.
Sam Ratulangie menulis antara lain:
“Pada saat ini diketahui oleh hampir setiap orang, bahwa di Pasifik telah terbentuk sebuah kawasan politik tersendiri. Kawasan itu mengesampingkan, malah melebihi arti dunia lama Samudra Atlantik. …”
Bayangkan. Pada 1936 Ratulangie sudah bisa memprediksi bahwa pergeseran konsentrasi kekuatan di Asia Pasifik sudah terjadi sejak Perang Dunia I, ketika PD I telah mengakibatkan perpindahan modal secara hebat. Amerika dan Jepang bukan lagi negara yang untuk keperluan uang di bidang pemerintahan maupun swasta harus mendatangi pasar uang Eropa.
Selama dan karena PD I, keduanya telah menjadi negara kreditur berkat perkembangan industrinya. Inilah (sekarang) Kawasan Pasifik. Landasan kawasan ini adalah New York – Tokyo yang dihubungkan ke Nanking dan Kanton, dan meliputi seluruh Lautan Teduh yang sama sekali tak teduh-tenang lagi. Tetapi lautan ini senantiasa membuncah gemuruh karena datang dan perginya kapal-kapal niaga semua bangsa (negara) maritim, dan latihan perang armada AL Amerika, Inggris, Jepang, dan Perancis yang simpang-siur mengitari sudut barat-daya Pasifik.
Sam Ratulangie membagi kekuasaan di Asia Pasifik ke dalam empat perserangkaian: barat, timur, utara, dan selatan yang memiliki kepentingan-kepentingan di dunia.
Dari selatan berdesakan tiga kepentingan masuk ke Pasifik: kepentingan Inggris, Perancis, dan Belanda. Gerbang masuk secara geografis adalah Indonesia, secara nonfisik adalah sistem kolonial. Perserangkaian Timur terbentuk oleh kepentingan Amerika. Kepentingan modal Amerika ditanam di Asia Timur.
Di pihak lain, penetrasi Asia—oleh orang-orang Jepang dan Tiongkok—menjadi masalah yang penting bagi Amerika Utara dan Selatan. Perserangkaian Barat mencakup Jepang, Tiongkok, Siam, Mancukuo, dan kelak Filipina; di mana Jepang menjadi pemegang peranan. Perserangkaian ini sekaligus merupakan obyek dan subyek, terlibat secara aktif dan pasif dalam masalah Pasifik. Berpaling ke perserangkaian sebelah utara, Tsar Rusia menghendaki sebuah pelabuhan yang bebas es di Lautan Teduh dan mendesak ke selatan.
Pasifik telah menciptakan sebuah kawasan ekonomi-politik tersendiri, dengan masalahnya sendiri, yang basis dasarnya adalah Amerika dan Jepang. Bagi Asia Pasifik secara keseluruhan dapatlah disusun bagan bahwa utara bersifat industri dan secara internasional aktif, selatan bersifat pertanian dan secara internasional pasif.
Sisi menarik dari Buku Ratulangie, beliau berpandangan bahwa Indonesia bagi Pasifik dan bagi ekonomi dunia pada umumnya mengandung tiga hal yang bersifat pasif:
Pertama, sebagai negeri konsumen.
Kedua, negeri sumber bahan mentah.
Ketiga, sebagai negeri tempat penanaman modal.
Selain itu Indonesia punya ciri khas:
(a) secara geografis ekonomi karena letaknya di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi yang berarti bagi ekonomi dunia, Indonesia menduduki suatu posisi penentu di dalam lalu lintas ekonomi dunia;
(b) secara geo-ekonomi karena tanahnya yang mengandung kekayaan bahan-bahan mentah mineral serta permukaan tanahnya yang dapat menghasilkan bahan-bahan mentah pertanian untuk ekonomi dunia;
(c) secara ekonomi sosial oleh karena penduduknya yang giat bekerja sekalipun dengan suatu tingkat hidup yang rendah; massa yang enam puluh juta jiwa merupakan kelompok konsumen hasil industri yang setiap tahunnya beratus-ratus juta gulden;
(d) secara iklim yakni suatu iklim tropis yang lunak dengan musim yang teratur;
(e) secara keuangan dengan tiadanya modal nasional dalam negeri serta suatu kehampaan industri. Semua itu menarik perhatian dan kegiatan modal luar negeri. Akan tetapi di atas segala-galanya, negeri dan rakyatnya merupakan unsur pasif di dalam perhatian dan kegiatan internasional.
Tersirat dari analisis Dr Ratulangie, betapa pentingnya Indonesia untuk memanfaatkan kondisi obyektif dalam konstalasi pertarungan global di kawasan ini, dengan terlebih dahulu mengenali agenda-agenda strategis kekuatan-kekuatan global yang bermain di Asia Pasifik.
Melalui kesempatan kajian kali ini, mari bersama-sama kita bedah Strategis Global AS dan Cina di abad 21 ini.
Membedah Agenda Strategis AS Lewat Council of Foregin Relations (CFR) dan Rand Corporation
Mari kita telusur kembali dokumen-dokumen lama terkait dengan beberapa rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri AS sejak 2002. Dari penelusuran Tim Riset Global Future Institute, Asia Tenggara nampaknya jadi fokus utama kajian-kajian dan rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri di Washignton.
Sebuah laporan utama yang dikeluarkan CFR pada Mei 2001, satu setengah tahun sebelum peristiwa 12 Oktober 2002 Bom Bali menulis:
“Waktunya tepat sekali bagi pemerintahan anda untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita (This is a timely moment for your administration to focus on a region that too often in the past has fallen off our country radar screens, always to our peril).
Laporan CFR ini ditujukan pada Presiden George W Bush sebagai bahan-bahan penyusunan arah kebijakan strategis Gedung Putih terkait Asia Tenggara. Rekomendasi Ini tentu saja punya implikasi yang cukup serius mengingat CFR dalam menyusun laporan dan rekomendasi kebijakan luar negeri selalu melibatkan keikutsertaan kelompok akademis dari berbagai universitas terkemuka, Eksekutif Korporasi, kalangan sektor perbankan, profesional seperti komunitas pengacara, dan bahkan dari kalangan pelaku media massa baik cetak maupun elektronik. Praktis, melalui CFR inilah, seluruh aspirasi parastakeholders atau Pemangku Kepentingan kebijakan luar negeri AS, duduk dalam satu meja merumuskan arah kebijakan luar negeri AS.
Rekomendasi CFR yang dirilis pada Mei 2001 tersebut, bahkan masih relevan hingga saat ini. Kala persaingan global antara AS dan Cina semakin memanas di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Dalam rekomendasinya, CFR menekankan, bahwa untuk melawan pengaruh Cina yang makin membesar di kawasan Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan bernilai sangat strategis, maka Amerika harus mengambil langkah-langkah yang lebih jelas dan lebih tegas. Dari laporan CFR ini jelas bahwa Laut Cina Selatan secara eksplisit disebut-sebut.
Karena itu, lebih lanjut dokumen CFR tersebut mengemukakan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara:
“Bahkan dengan mengabaikan ingatan akan terjadinya tragedi perang Vietnam, sulit untuk menerima ada satu kawasan seluas itu, dengan penduduk hampir 525 juta jiwa dengan GNP 700 miliar dolar setahun, yang merupakan mitra dagang kelima kita, sampai bisa terlupakan dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini tidak boleh sampai terjadi, khususnya terhadap suatu bagian dunia, dimana Amerika telah pernah melibatkan diri dalam tiga perang besar dalam tempo enam dasawarsa, dan dimana, krisis keuangan 1997-1998 yang terjadi disana, telah mengancam mendestabilisasi sistem keuangan seluruh dunia.“
Lalu adakah sorotan khusus CFR terhadap Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara? Simak rekomendasi CFR selanjutnya:
“Yang perlu diperhatikan secara khusus adalah cadangan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi di Indonesia dan Brunei. Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC yang mengekspor 20% dari produk LNG dunia, sedangkan cadangan yang dimilikinya belum sepenuhnya diketahui. Ladang minyak dan gas bumi terus ditemukan di sana, di Malaysia, di Vietnam, dan di Filipina.”
Jelaslah sudah. Meskipun pada saat laporan CFR ini ditulis Indonesia belum keluar dari keanggotaannya di organisasi pengekspor minyak OPEC, namun sisi strategis yang digarisbawahi Amerika adalah betapa Indonesia dan negara-negara di kawasan ASEAN, mempunyai potensi kandungan minyak yang lebih besar daripada yang dibayangkan. Kosa kata yang dipalkai “Belum sepenuhnya diketahui” mengandung makna bahwa cadangan minyak Indonesia memang masih cukup besar. Maka tak heran, jika parra pakar perminyakan kita seringkali menegaskan perlunya kita mendapat informasi yang akurat berapa lifting minyak kita yang sesungguhnya. Karena dengan dikuasainya 70 persen blok migas kita oleh korporasi-korpirasi asing (khususnya The Seven Sisters), maka kita sesungguhnya tidak punya akses informasi untuk mengetahui seberapa besar cadangan minyak dan gas kita saat ini.
Sekadar ilustrasi. Kenyataan bahwa di Sampang Madura, Jawa Timur, terungkap mampu menghasilkan 14 ribu barel per hari minyak bumi, yang berarti mampu menghasilkan uang minimal senilai 1,4 juta dolar Amerika Serikat per harinya, jelas Indonesia pastilah dipandang Washington punya nilai strategis secara geopolitik. Sehingga akan berusaha untuk merebut pengaruh dan kuasa wilayah tersebut melalui berbagai sarana dan modus operandi.
Maka bisa dipahami jika laporan CFR ini menekankan arti pentingnya kawasan Asia Tenggara berkenaan dengan sumber daya energi minyak dan gas bumi, mengingat selama ini sektor strategis ini merupakan pendorong utama dalam pengembangan strategi kepentingan nasional AS.
Dokumen ini menunjuk arti strategis kawasan ini sebagai sebuah tempat yang memiliki arti geopolitik penting pada persimpangan alur laut paling kritis di dunia. Begitu istilah yang digunakan CFR. Karena lebih dari 1,3 triliun dolar AS barang dagangan diangkut melalui Selat Malaka dan Selat Lombok. Data ini menggambarkan bahwa nyaris separoh dari nilai perdagangan dunia-termasuk minyak yang krusial dari Teluk Persia ke Jepang, Korea Selatan, dan Cina.
Karena itu CFR mengingatkan:
“Akibatnya, setiap gangguan atau pengalihan terhadap alur pasokan minyak tersebut akan mengakibatkan pengaruh yang berdampak menghancurkan ekonomi Asia Timur, dan pada perkembangannya dampak sekunder yang tidak terbayangkan terhadap ekonomi Amerika juga.”
Pada tataran ini kelihatan jelas penyakit paranoidnya para elit politik di Washington.
Kecemasan yang akhirnya dirumuskan menjadi peringatan melalui rekomendasi CFR, maka kemudian dokumen ini merumuskan ini sebagai masalah dan ancaman nasional Amerika di masa depan.
Sehingga dokumen CFR ini merekomendasikan perlunya dan bahkan keharusan untuk mencegah intervensi oleh sebuah kekuatan rival lain, melalui saran yang disampaikan kepada penasehat keamanan nasional (National Security Council). Kekuatan rival yang dimaksud dalam dokumen ini tak pelak lagi adalah Cina dan Rusia.
Karena itu dalam rekomendasinya, CFR menekankan untuk menguasai kawasan ini, sehingga kontrol atas alur laut yang mempunyai nilai kunci, atau choke points, di seluruh Asia Tenggara akan menempatkan Washington pada posisi yang mampu menekan Cina.
“Dengan memperkuat kehadiran militer di kawasan ini, Amerika Serikat akan mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau yang dipersengketakan seperti Spraley dan Paracel.”
Paragraf ini lagi lagi menjelaskan secara terang benderang bahwa fokus utama dan sasaran strategis Washington adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi yang diprediksi punya kandungan yang cukup besar di wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan.
Sisi menarik dari modus operandi kehadiran militer AS yang luput dari amatan dan liputan media massa adalah, terumuskan dalam dokumen CFR ini:
“Amerika Serikat harus memelihara kehadiran kekuatan militer yang handal melalui suatu program latihan bersama sekawasan yang didukung oleh infra struktur yang efektif.”
Karena itu sudah sewajarnya Indonesia mewaspadai segala macam bentuk kegiatan seperti latihan militer bersama dan forum gabungan lintas negara yang biasanya sepenuhnya berada dalam supervisePentagon. Baik pelatihan militer antar angkatan maupun antar negara. Maupun program pelatihan dalam bentuk pertukaran tingkat perorangan perwira maupun kelompok kecil.
Namun, CFR bukan satu-satunya rujukan atau narasumber bagi para pelaku kebijakan luar negeri AS dalam perumusan arah kebijakan strategisnya.
Membedah Dokumen Rand Corporation Tahun 2000
Pada 2000, sebuah think–thank yang dibiayai Pentagon, Rand Corporation, dalam sebuah studinya bertajuk The Role of the Southeast Asia in the US Strategy toward China, secara terang-terangan meminta perhatian akan bahaya yang dihadapi oleh Cina terhadap kehadiran Amerika di Asia Tenggara. Dan menyarankan untuk mengembangkan suatu strategi yang mereka sebut hedging strategy (Strategi Memagari). Sebuah istilah baru untuk menggantikan konsepsi lama containment strategy (Strategy Pembendungan) yang digunakan di era Perang Dingin. Istilah hedging strategy ini digunakan Rand Corporation untuk membenarkan alasan AS perlunya menghadirkan dan memperkuat kehadiran dan akses militer AS atas berbagai fasilitas yang diperlukan guna membendung pengaruh Cina.
Strategi AS untuk membendung Cina di Asia Tenggara nampaknya memang tidak main main. Laporan Rand Corporation secara tegas dan lugas menekankan:
“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”
Meskipun Laporan Rand Corporation ini dirilis pada 2000 semasa pemerintahan Bush, namun pemerintahan Obama bisa dipastikan tetap akan merujuk pada rekomendasi Rand Corporation tersebut. Karena untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, akan sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran dan pengaruh Amerika di kawasan itu, serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut yang ada di kawasan itu.
Di sinilah posisi krusial Indonesia dan ASEAN ke depan menjadi tak terhindarkan lagi. Karena seperti tertulis dalam Laporan Rand Corporation, Amerika perlu membina hubungan yang kuat dengan negara-negara ASEAN. Secara khusus Rand Corporation menyebut Singapore, Filipina dan secara khusus pada Vietnam, ditengarai memiliki posisi strategis untuk mengepung Cina. Khususnya Singapore dinilai berlokasi sangat ideal untuk menguasai choke points(titik titik kunci) seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Sehingga bisa membantu untuk membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.
Karena itu tidak heran jika Rand Corporation dalam dokumennya menyarankan untuk mengembangkan program bantuan yang bersemangat terhadap para sekutu di kawasan Asia Tenggara, khususnya Filipina.
Aspek paling krusial dari rekomendasi Rand Corporation adalah, menyarankan pemulihan hubungan militer-militer dengan Indonesia secara penuh dan memulihkan pengalihan perlengkapan militer dan suku cadang dalam rangka mencegah ambruknya kemampuan pertahanan Indonesia. Namun istilah tersebut hanya sekadar digunakan untuk dalih pengembangan program bantuan yang bersemangat atau a robust security assistance program to allies in the region.
Membaca Modus Perang Asimetris Tiongkok di Indonesia
Sebelum beranjak lebih jauh ihwal topik ini, ada baiknya secara ringkas saya gambarkan dulu apa itu perang Asimetris. Berdasarkan kajian dan diskusi intensif di Global Future Institute, Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer.
Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tidak hanya satu atau dua aspek, tetapi bisa beragam aspek. Ia dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda.
Sasaran perang asimetris ini ada tiga: (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan] danenergy security [jaminan pasokan dan ketahanan energi] sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”.
Ketika persaingan global AS dan Tiongkok semakin menajam di kawasan Asia Pasifik yang berdampak langsung pada Indonesia, peta kekuatan kedua adidaya wajib kita identifikasi dengan seakurat mungkin.
Terkait AS, tadi sudah penulis uraikan panjang lebar. Lantas bagaimana membaca Perang Asimetrik Cina dan mengapa Tiongkok lebih mengutamakan Perang Asimetrik dalam menguasai negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia?
Sebelum bicara tentang modus perang nirmiliter yang dikembangkan Cina, sebaiknya membahas secara sekilas dulu perihal kekuatan militernya. Meski kemajuan militer terutama angkatan lautnya cukup signifikan, akan tetapi Cina sebenarnya menghadapi kendala struktural terkait geostrategi militer, kenapa? Sistem pertahanan Cina itu sangat tergantung pada laut lepas, termasuk dalam hal ini pengamanan jalur “energy security”-nya.
Masalah krusial yang dihadapi Cina dalam pertarungan global dengan AS di kawasan ini adalah, Konfigurasi perairannya baik di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar. Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura.
Keprihatinan besar Beijing hingga kini adalah rencana blokade oleh AS di Laut Cina yang niscaya akan berdampak langsung terhadap perekonomian secara menyeluruh apabila hal itu terjadi.
Barangkali inilah shock and awe (gertak menakut-nakuti) yang dijalankan AS dalam rangka “melemahkan mental” Cina. Belum lagi masalah munculnya ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina, dan lainnya. Makanya, ketika ia beraksi membangun pangkalan militer di Spratly —pulau konflik— berdalih reklamasi mengembangkan sektor sipil, AS pun bereaksi atas rencana tersebut lalu melakukan patroli udara di sekitaran langit Spratly. Inilah sekilas mapping kekuatan militer Cina dihadapkan dengan potensi serta prakiraan ancaman kedepan.
Maka itu, mengimbangi pengaruh AS yang begitu kuat secara militer di Asia Pasifik, Cina lebih menekankan pola perang nirmiliter dalam menguasai wilayah-wilayah yang bernilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan tentunya Indonesia. Dan untuk itu, kekuatan ekonomi Tiongkok merupakan landasan utama kekuatannya untuk bermain di kawasan ini.
Kedigdayaan Tiongkok di bidang ekonomi dibandingkan AS semakin terlihat ketika perusahaan Tiongkok menjadi operator strategis Pelabuhan Gwadar yang terletak di dekat Selat Hormuz dan merupakan pelabuhan paling sibuk untuk jalur pelayaran minyak, sejak Februari 2013.
Tiongkok menanamkan investasi sebesar USD 250 juta untuk mengambil alih operasional perusahaan dalam rangka meraih keuntungan yaitu mengurangi biaya pengiriman barang dari Tiongkok ke Timteng dan Afrika. Namun, langkah itu juga dapat diartikan memberikan warning kepada AS bahwa geopolitik utama Tiongkok telah dialihkan ke kawasan Asia Pasifik.
Pada saat bersamaan, AS meningkatkan kekuatan militernya di Singapura dan Filipina. Di New York, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Lin Yifu mengatakan, perekonomian Tiongkok mampu tumbuh 8% per tahun selama 20 tahun ke depan, meski dengan embel-embel Tiongkok harus melakukan reformasi. Begitupun, kekuatan ekonomi Tiongkok dengan jelas tergambar.
Harian berbahasa Mandarin, Yinni Xingzhou Ribao melaporkan, periode Januari s/d November 2012, investasi langsung Tiongkok ke luar negeri (merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai USD 62,5 miliar (naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar USD 102,4 miliar (naik 18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar USD 128,8 miliar (naik 12,9%). Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Tiongkok akan mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina akan menjadi negara hegemonik baru.
Barang tentu, meski hanya sekadar prediksi, mengundang kekhawatiran besar di Washington. Sehingga kekhawatiran tersebut mendorong Paman Sam untuk meningkatkan skala kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik. Tujuannya, untuk meminimalisir situasi yang tak terduga.
Perang Asimteris ala Tiongkok Lebih Unggul Dibanding AS
Lantas bagaimana pemerintahan Jokowi-JK memandang persaingan global AS versus Tiongkok saat ini? Pada tataran ini pemerintah harus pandai-pandai membaca tren global saat ini. Saat ini, para pemangku kebijakan strategis politik luar negeri kita harusnya sudah membaca adanya kemunduran hegemoni AS yang ditandai terjadinya stagnasi ekonomi sejak tahun 2008.
Stagnasi ekonomi ini membuat semakin besarnya defisit anggaran dan perdagangan AS yang melemahkan posisi mata uang dollar sebagai mata uang internasional dibandingkan yuan. Kemunduran hegemoni AS ini juga diikuti dengan terjadinya kompetesi strategis antara AS dan Tiongkok, terutama di sektor keamanan energi. Manuver Tiongkok mencari minyak dan gas dari Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara kemudian bersinggungan dengan kepentingan liberalisasi ekonomi dan politik AS di wilayah ini.
Salah satu kunci Tiongkok lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi Jinping (Presiden Tiongkok ) dan Li Keqiang (PM Tiongkok), maka Tiongkok -Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Tiongkok tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Tiongkok perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Tiongkok dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism.
Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.
Inilah salah satu faktor mengapa dalam Perang Asimetris (upaya menaklukkan suatu negara melalui sarana-sarana non militer), Tiongkok lebih unggul daripada AS.
Mewaspadai Siasat Baru Cina di era Jokowi-JK
Hasil akhir Konferensi Asia-Afrika sebagai produks konsensus berupa tiga dokumen: Bandung Messsage, Kemitraan baru Asia-Afrika dan soal Kemerdekaan Palestina, memang membuka berbagai kemungkinan baru ke depan. Apalagi Pidato Presiden pada pembukaan KTT Asia-Afrika Jokowi menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidakadilan internasional khususnya di bidang ekonomi. Serta serangan frontalnya terhadap tiga lembaga ekonomi internasional (World Bank, International Monetary Fund dan Asian Devolopment Bank).
Namun pertemuan antara Jokowi dan dan Presiden Republik Rakyat Cina (RRC) Xi Jinping, di sela-sela acara Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA) ke-60, di Jakarta Convention Center, Jakarta pada Rabu (22/4) lalu, sungguh mengundang kekhawatiran. Yang bisa- bisa, mementahkan kembali kerangka pemikiran Pidato Presiden Jokowi yang jika menelisik substansi dan isinya, harus diakui masih dijiwai oleh Dasa Sila Bandung 1955.
Betapa tidak. Dalam pertemuan itu, Jokowi ingin memastikan RRC dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, yang meliputi pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (airport), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta sepanjang 8.700 km, dan pembangunan pembangkit listrik (powerplan) berkapasitas 35 ribumegawatt.
Memang kesepakatan RI-Cina ini terkait bantuan pembangunan infrastruktur, namun dalam skema Cina dalam penguasaan geopolitik jalur sutra, yang mana Indonesia termasuk mata-rantai penting yang menjadi sasaran strategis Cina, perlu disadari bahwa kolonialisme model baru sering muncul dalam wujud investasi asing untuk penaklukan suatu negara.
Inilah yang disebut serangan asimetris terhadao suatu bangsa namun sialnya bangsa yang diserang kerap tidak menyadarinya. Investaai dalam bentuk insfrastuktur pelabuhan justru sangat berbahaya bagi kondisi geopolitik suatu bangsa,karena akan terkait dengan sistem pengamanan maritim pelabuhan. Begitu investor asing, dalam hal ini Cina berhasil menguasai sistem dan mekanisme untuk mengatur pengamanan maritim Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), maka bencana geopolitik tak terhindarkan lagi.
Ya, bencana geopolitik di Indonesia secara massif dan sistematis. Efek jangka pendeknya, Cina akan mendatangkan ribuan tenaga kerjanya sendiri dan sudah dapat ditebak akan berbondong-bondong migrasi secara massal dari Cina, tetapi atas nama atau dengan cover investasi asing. Buktinya mana? Cina telah melakukan hal serupa di Afrika. Ia sangat berpengalaman soal migrasi besar-besaran tersebut.
Sedangkan dampak jangka menengahnya? Apa boleh buat, negeri ini niscaya dibanjiri berbagai produk konsumen dan sejenisnya dari Cina dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan (hidup) para pekerja tersebut. Ya, impor tak terbendung. Impor pun semakin meluas, dan sudah barang tentu —- impor menggerus devisa negara.
Lantas, dampak jangka panjangnya seperti apa? Di sinilah agenda tersembunyi Cina bisa terbaca. Cina akan memperoleh hak mengelola pelabuhan-pelabuhan yang dibangunnya minimum 30-an tahun atau bahkan lebih. Artinya, bahwa sistem pengelolaan baik di pelabuhan laut maupun (bandara) udara akan dikendalikan oleh Cina. Silahkan bayangkan sendiri, apabila simpul-simpul strategis sebuah bangsa terkait transportasi untuk distribusi barang dan jasa dalam kendali asing. Bisa-bisai bangsa ini kelak bakal menjadi tamu di negeri sendiri, atau lebih tragisnya lagi, juga akan menjadi penonton atas geliat asing mengeksploitasi segala sumberdaya di Bumi nusantara ini.
Bicara soal penguasaan pelabuhan, inilah yang dilakukan Belanda (baca: VOC) ketika menanam benih-benih kolonialisme di Indonesia. Penjajahan Belanda di bumi nusantara khususnya di tanah Jawa, bermula ketika kapal-kapal dagang kompeni Belanda VOC yang bersenjatakan meriam, berikut kapal frigat pengawalnya, hilir-mudik dari dan ke berbagai wilayah nusantara, mencari pos-pos persinggahan untuk mengisi logistik dan persediaan air tawar, serta tentu saja kebutuhan akan dok untuk perbaikan kapalnya.
Namun di sinilah benih-benih kolonialisme ditanam oleh Belanda. Meski lambat namun pasti, pos persinggahan tersebut berkembang jadi benteng dan bandar kota, yang pada perkembangannya dimulailah sistem sewa pinjam, kemudian berlanjut menjadi penguasa koloni.
Strategi Cina dalam menanam dan menebar benih kolonialisme gaya baru terhadap Indonesia, jelas patut diwaspadai mengingat Cina emang jagonya perang asimetris, dengan menggunakan sarana sarana non militer untuk penaklukkan sebuah bangsa. Dan mereka punya ahlinya Perang Asimetris, Sun Tzu.
Ada sebuah panduan dari Sun Tzu yang pastinya dihayati betul oleh Presiden Cina Xi Jinping. Berkata Sun Tzu: Mendapatkan seratus kemenangan dari seratus pertempuran bukanlah puncak kecakapan. Menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah sebenarnya puncak kecakapan.
Inilah sisi rawan dari kesepakatan RI-Cina di sela-sela KTT Asia-Afrika di Jakarta beberapa waktu lalu. Kesadaran geopolitik pemerintahan Jokowi-JK harus mendasari kerjasama strategis dengan negara asing, tak terkecuali dengan Cina. Apalagi, Geo posisi silang Indonesia yang meniscayakan 50 persen perdagangan dunia melalui perairan Indonesia,itulah yang sedang diperebutkan oleh para adidaya, khususnya antara Amerika Serikat versus Cina. Dan sepertinya, saat ini pemerintahan Jokowi cenderung berpaling ke Cina. Pertanyaan kunci adalah, apa pertimbangan strategis yang mendasari keputusan untuk bekerjasama dengan Cina?
Maka, melalui kerjasama bilateral RI-Cina inilah, pidato Jokowi di depan peserta KTT Asia-Afrika yang menegaskan perlunya kerjasama antar negara Asia-Afrika atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan akan diuji oleh sejarah.
Jika pada prakteknya keputusan yang mendasari Jokowi untuk berpaling ke Cina semata-mata atas dasar pertimbangan keuntungan ekonomi, maka Indonesia berpotensi untuk tergadai melalui skema investasi asing yang dilancarkan Cina.
Dan Cina, memang sudah menyiapkan anggaran tak terbatas untuk melancarkan skema kolonialisme berkedok investasi asing ke pelbagai negara, termasuk Indonesia. Betapa tidak. Cina saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri (Geoff Hiscock, Earth Wars).
Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Masalahnya adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK cukup memahami konstalasi global sehingga memahami betul nilai strategis Cina di abad 21 ini, dan bagaimana membangun kerjasama strategis yang setara dan saling menguntungkan?
Bagi Cina, penguasaan pelabuhan agaknya memang amat penting dalam perhitungan geopolitik dan geostrategi mereka. Sedemikian rupa pentingny, sehingga negri tirai bambu itu begitu terobsesi untuk menguasai wilayah-wilayah yang punya akses ke pelabuhan di beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Rupanya, selain pertimbangan strategis untuk mengimbangi pengaruh militer AS di kawasan Asia Pasifik saat ini, Cina pun punya trauma sejarah dengan Inggris di masa lalu, sehingga menguasai pelabuhan identik dengan penguasaan kedaulatan wilayahnya.
Hal ini bisa ditelusur kembali melalui cerita seputar meletusnya Perang Candu pertama antara Inggris dan Cina pada 1839-1842. Semua itu bermula ketika komisioner perdagangan luar negeri kekaisaran Cina Lin Zexu memutuskan untuk mengakhiri perdagangan dengan diplomasi dan kemudian secara paksa, menyita dan menghancurkan 20 ribu peti opium yang ditemukan di gudang-gudang pedagang asing di Guangzhou pada Juni 1839.
Tindakan otoritas politik kekaisran Cina itu mengundang kemarahan Inggris, sehingga meletuslah Perang Candu pertama. Akibatnya, pasukan Inggris kemudian menduduki Shanghai dan mengepung Guangzhou dan pelabuhan Cina lainnya.
Berdasarkan ketentuan penyerahan Cina, lima pelabuhan dibuka untuk perdagangan internasional dan pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Perang Candu kedua (1856-1860), Cina kembali menderita kekalahan, sehingga Inggris mendapat tanah tambahan di Semenanjung Kowloon ke koloni Inggris di Hongkong.
Sedemikian pentingnya pelabuhan bagi Cina, tergambar melalui fakta bahwa enam dari sepuluh pelabuhan container tersibuk di dunia ada di Cina, yang dipimpin oleh Shanghai dengan 29,1 juta TEU(satuan unit setara 20 kaki) pada 2010; Shenzhen dan Guangzhou bersama-sama menangani 45 juta setahun. Hongkong yang berdekatan menangani 23 juta TEU. Bahkan Singapore yang pernah memimpin perekonomian dunia(28 juta pada 2010) sekarang berada di peringkat kedua dalam alur distribusi dan keluaran container tetapi tetap merupakan pelabuhan tersibuk di dunia dalam total tonase pengiriman.
Bahkan Jepang pun sudah tergeser oleh Cina. Pada 1989, pelabuhan Kobe Jepang berada di peringkat kelima pelabuhan container top dunia dan Yokohama dan Tokyo berada di top 20. Pada 2010, tidak ada satupun pelabuhan Jepang di antara top 20.
Maka tak heran jika Cina memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Cina lainnya agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin String of Pearly Cina yang gagasan dasarnya adalah sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah yang melewati Laut Cina Selatan.
Maka, Laut Cina Selatan menjadi penting dan vital bagi Cina, utamanya sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, khususnya untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, yang membentang 800 km(500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang mengarah ke Laut Cina Selatan.
Cina seperti halnya juga dengan Amerika, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
Dengan demikian, di tengah perekonomian Cina yang semakin digdaya saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina. Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan.
Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia danMaritime Silk Road Point (MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sehingga sebagai imbalannya, Cina sebagai investor pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan Cina?
Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat kenyataan bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka rencana Cina untuk membangun kerjasama ekonomi dengan Indonesia dengan menanam investasi di Bitung, Sulawesi Utara, kiranya patut diwaspadai. Seusai pertemuan antara Menko Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Cina H.E. liu Jianchao, Cina akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan bukan itu saja. Cina ingin masuk dalam satu kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia.
Dan sasaran Cina untuk diintegrasikan melalui skema KEK adalah Bitung, Sulawesi Utara. Di Bitung, salah satu kota di Sulawesi Utara, Cina akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Cina, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Cina dibalik skema KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Cina membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Cina membangun pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk mengamankan “energy security” (ketahanan energi)-nya;
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Cina membangun KEK di Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur;
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI III, dimana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan “welcome”-nya Timor Leste terhadap militer Cina, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao. Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui ALKI III-A;
Kelima, inilah kontra-strategi Cina dalam rangka membendung gerak laju Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Philipina, dll maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Menado. Itulah jawaban (sementara), “Kenapa Cina memilih Bitung?”
Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam proxy war antara Cina versus AS. Keduanya hendak-saling berebut pengaruh sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, Cina via “Pendekatan Panda”, sedang Paman Sam —seperti biasa—melalui penyebaran (pangkalan) militernya.
Pertanyaannya kini, “Bagaimana nasib geopolitik Indonesia nantinya?”
Mengurai Pakem Perang Asimetris ala Tiongkok
Memang belum ada rujukan yang pasti. Namun jika dilacak dari model kebijakan politik terbaru yang dikembangkan ketika hendak memasuk abad ke 21. Betapa Tiongkok sejak reformasi, menurut Prof. Wang Gung Wu dalam seminar di CSIS, 16 November 1997, mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan eloborasi ideologi sosialis/komunis dan kapitalis. Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq Partai Komunis Tiongkok.
Poin penting di sini, titik berat konsep ini adalah swasta pada satu sisi, sedang peran negara diperkecil di sisi lain. Artinya, para pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha-usaha di luar negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itu titik poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan oleh Tiongkok di berbagai belahan dunia.
Ciri lain Tiongkok dalam menerapkan reformasi politiknya, jika kedalam ia gunakan ‘pendekatan naga’ terhadap rakyatnya. Sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Kasus di lapangan Tianamen merupakan bukti nyata, betapa Negeri Tirai Bambu tidak terpengaruh oleh angin syurga demokrasi, HAM, freedom, dll yang digemborkan oleh Barat. Termasuk dalam hal ini adalah hukuman (tembak) mati bagi para koruptor, dan lain-lain.
Lalu ketika Tiongkok melangkahkan kaki keluar, tata cara pun diubah, ia menerapkan ‘pendekatan panda’ (simpatik). Sangat bertolak belakang dengan kebijakan internalnya. Menebar investasi misalnya, ataupun “bantuan dan hibah” dalam wujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur, dll sudah barang tentu dengan persyaratan “tersirat”-nya yang mengikat.
Turnkey Project Management
Ini merupakan sebuah model investasi asing yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Tiongkok kepada negara peminta dengan “sistem satu paket,” artinya mulai dari top manajemen, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya di-dropping dari Tiongkok . Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua. Timor Leste pun tampaknya demikian, betapa bangunan fisik beberapa kantor kementerian bermotif ala Tiongkok yang katanya hibah dari pemerintahan Negeri Tirai Bambu. Makanya Xanana Gusmao ketika menjabat Perdana Menteri sangat welcome terhadap militer Tiongkok.
Beberapa investasi Tiongkok di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Bukan barang baru memang, karena sejak dulu sudah berjalan. Penelusuran penulis, Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp dan paper juga menerapkanTurnkey Project. Atau pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Tiongkok. Demikian juga sewaktu pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh para pekerja Tiongkok, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan lain-lain.
Maka boleh ditebak, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina niscaya menerapkan Turnkey Project Management pula. Artinya bakal ada migrasi besar-besaran warga Tiongkok ke Nikaragua dan Thailand guna mengerjakan proyek spektakuler tersebut sebagaimana yang akan terjadi di Medan, dimana Tiongkok membawa sekitar 50.000 orang tenaga (warga) kerjanya.
Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Tiongkok pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an kilometer jalur kereta api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral Tiongkok – Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada dekade 2020-an nanti?
Menurut Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), Hatta Taliwang, rencana tersebut berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga Tiongkok dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukan sedikit.
Dikhawatirkan hal ini merupakan strategi Tiongkok untuk menguasai Indonesia secara non militer. Secara perlahan ia memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Tiongkok. Hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi adalah orang-orang Tiongkok.
Kesimpulan Umum
Dengan bergesernya pertarungan global antara AS versus Tiongkok di Asia Pasifik, maka perlu disadari bahwa baik AS maupun Tiongkok sama-sama mempunyai kebijakan strategis dan doktrin pertahanan-keamanan dalam rangka menguasai wilayah strategis di Jalur Sutra, khususnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. AS mempunyai doktrin yang disebut the US Commission on Ocean Policy, sedangkan Cina mempunyai the String of Pearl sebagai rencana strategis untuk menguasai Jalur Sutra.
Menyadari realitas politik global kedua negara adidaya tersebut, maka dalam membangun persekutuan strategis dengan negara-negara adidaya, Indonesia harus bertumpu pada politik luar negeri berbasis geopolitik, selain menjabarkan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif secara kreatif dan imajinatif, sesuai perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapi saat ini.
Intinya, Indonesia harus mewaspadai dan membaca secara jeli tujuan strategis AS maupun Cina di Indoenesia, sehingga mampu memainkan peran aktif sebagai salah satu aktor yang sadar geopolitik sehingga mempunyai daya tawar yang tinggi di mata negara adidaya: Baik AS, Uni Eropa, Cina, maupun Rusia. Sehingga aliansi strategis yang terjalin benar-benar bertumpu pada kesetaraan dan saling menguntiungkan keduabelah pihak.
Betapapun juga, perlu disadari bahwa posisi Indonesia secara geopolitik memang strategis. Betapa tidak.
Pertama, bahwa dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia diletakkan: (1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) diposisikan sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut. Ketiga hal di atas adalah analisa Bung Karno tempo doeloe dan kini ternyata menjadi nyata adanya.
Kedua, faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia merupakan kawasan yang mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik pelayaran lintas negara bahkan benua, kenapa? Bahwa 80% perdagangan dunia melalui Indonesia dimana 50% adalah tanker-tanker minyak dunia.
Maka Indonesia sekarang, sebenarnya adalah proxy war (lapangan tempur) bagi para adidaya baik Barat maupun Timur tetapi dilakukan secara asimetris (non militer) dalam rangka memperebutkan hal-hal yang telah diurai di atas tadi.
Maka dari itu, seyogyanya sejak dari sekarang dan kedepan, segenap komponen bangsa ini secara bertahap wajib diajarkan tentang geopolitik (geostrategi, geoekonomi), terutama pemahaman tentang perang non militer (asymmetric warfare) beserta varian terbarunya seperti hybrid war, proxy war, dsb — agar anak-anak bangsa ini memahami secara mendalam serta utamanya tidak terseret oleh “skema kolonialisme” yang digelar oleh siapapun adidaya di Bumi Pertiwi.