Pergeseran kekuasaan setiap rezim berdampak pada munculnya komunitas baru, kata tofller disebut dengan negara tak berbendera dimana koalisi antara borjuasi internasional, birokrasi, militer dan kaum intelektual serta aliansi borjuasi lokal.
Dinamika ini berkembang saat pengaruh industrialisme menjadi kontraksi sosial bagi setiap pilihan manusia sehingha melahirkan aliansi suci para institusi non pemerintahan yang mengatasnamakan rakyat padahal mereka telah mempolitisasi demokrasi atas nama rakyat.
Namun sesungguhnya merupakan desigent yang sengaja dibuat agar terjadi kompotisi antara yang berpunya dan kaum yg tak berpunya, anehnya sebagai kader yg terlahir dari realitas yang tak berpunya, saat kita melakukan gerak urbanisasi dengan memilih institusi ini kita lupah akan ruh dan kausalitas kita terhadap institusi ini, wajar jika rumah tempat kita berasalpun hari ini digiring menjadi masaalah kapital dan pembagian ganimah bukan pada aspek koherensi ruang dan waktu dimana institusi yg mampu menyatukan karakter dasar keislaman,kemahasiswaan,dan keindonesiaan kini seolah terkapar dalam ruang yang alibi tentang gono-gini warisan.
Meskinya ada gerak substansial dalam bentuk otokritik terhadap fenomena ini agar kita tidak terjebak dalam wacana gono-gini yg tidak konstruktif karena idealnya HMI merupakan institusi yg mengajarkan kita berdiskusi Islam menurut hamka,nasir,tan,agus salim,dll. serta bangsa menurut para tokoh baur ; spengler dan rennan.
Namun lewat institusi inilah kita bicara islam dan corak keindonesiaan namun akankah cita2 ini bisa tercapai kalau sesungguhnya kita terpola oleh realitas dan fakta yang Terbentur oleh ruang kompetisi demokrasi gelombang ke 3 ala schumpether sehingga kompetisi antara orang berpunya dan tidak merupakan dari bagian yang sering dijadikan ruang politik dan demokrasi.
Bangunan dasar liberalisme dimana konstruksi individualisme,naturalisme,dan rasionalisme merupakan krangka dasar untuk menjadikan demokrasi gelombamg ke 3 sebagai idiologisasi dimana pembangunan fisik,pasar moderen,dan peredaraan uang yang tidak terkontrol merupakan metode untuk mememlihara laju demokrasi liberal sehingga semua dari kita terjebak pada dosa pasca kolonial snobisme,suka berdebat,malas berfikir,dll merupakan konstruksi yg dibangun oleh efek pembangunan agar trus terjadi ketergantungan antara mereka yg berpunya dan tak berpunya atau status quo vs kaum muda.
Wajar jika kita hampir mengalami fuchureShock manakala terjadi pergeseran kekuasaan dimana kaum tua sulut memberikan dukungan terhadap pola gerak kaum tua dan wajar jika yg berpunya trus menjadikan mereka yg mudah sebagai sapi perah untuk memprtahankan status quonya, sehingga kebanyakan terjebak dalam fenomena isu dan informasi yg tak jelas orientasinya.
Pertanyaan sederhana adakah dari kita yg masih mengingat tentang peran dan kedudukan institusi Nonpemerintahan dalam suatu negara yg berdaulat.?
Dinamika ini berkembang saat pengaruh industrialisme menjadi kontraksi sosial bagi setiap pilihan manusia sehingha melahirkan aliansi suci para institusi non pemerintahan yang mengatasnamakan rakyat padahal mereka telah mempolitisasi demokrasi atas nama rakyat.
Namun sesungguhnya merupakan desigent yang sengaja dibuat agar terjadi kompotisi antara yang berpunya dan kaum yg tak berpunya, anehnya sebagai kader yg terlahir dari realitas yang tak berpunya, saat kita melakukan gerak urbanisasi dengan memilih institusi ini kita lupah akan ruh dan kausalitas kita terhadap institusi ini, wajar jika rumah tempat kita berasalpun hari ini digiring menjadi masaalah kapital dan pembagian ganimah bukan pada aspek koherensi ruang dan waktu dimana institusi yg mampu menyatukan karakter dasar keislaman,kemahasiswaan,dan keindonesiaan kini seolah terkapar dalam ruang yang alibi tentang gono-gini warisan.
Meskinya ada gerak substansial dalam bentuk otokritik terhadap fenomena ini agar kita tidak terjebak dalam wacana gono-gini yg tidak konstruktif karena idealnya HMI merupakan institusi yg mengajarkan kita berdiskusi Islam menurut hamka,nasir,tan,agus salim,dll. serta bangsa menurut para tokoh baur ; spengler dan rennan.
Namun lewat institusi inilah kita bicara islam dan corak keindonesiaan namun akankah cita2 ini bisa tercapai kalau sesungguhnya kita terpola oleh realitas dan fakta yang Terbentur oleh ruang kompetisi demokrasi gelombang ke 3 ala schumpether sehingga kompetisi antara orang berpunya dan tidak merupakan dari bagian yang sering dijadikan ruang politik dan demokrasi.
Bangunan dasar liberalisme dimana konstruksi individualisme,naturalisme,dan rasionalisme merupakan krangka dasar untuk menjadikan demokrasi gelombamg ke 3 sebagai idiologisasi dimana pembangunan fisik,pasar moderen,dan peredaraan uang yang tidak terkontrol merupakan metode untuk mememlihara laju demokrasi liberal sehingga semua dari kita terjebak pada dosa pasca kolonial snobisme,suka berdebat,malas berfikir,dll merupakan konstruksi yg dibangun oleh efek pembangunan agar trus terjadi ketergantungan antara mereka yg berpunya dan tak berpunya atau status quo vs kaum muda.
Wajar jika kita hampir mengalami fuchureShock manakala terjadi pergeseran kekuasaan dimana kaum tua sulut memberikan dukungan terhadap pola gerak kaum tua dan wajar jika yg berpunya trus menjadikan mereka yg mudah sebagai sapi perah untuk memprtahankan status quonya, sehingga kebanyakan terjebak dalam fenomena isu dan informasi yg tak jelas orientasinya.
Pertanyaan sederhana adakah dari kita yg masih mengingat tentang peran dan kedudukan institusi Nonpemerintahan dalam suatu negara yg berdaulat.?
No comments:
Post a Comment