Sunday, June 19, 2016

Renungan Setelah Sahur: Antara Citra, Persepsi, Iblis dan (Teori) Kehancuran


Seringkali kehancuran seseorang, kaum, golongan atau bahkan keruntuhan sebuah negara sekalipun disebabkan faktor "salah persepsi". Artinya, ketika kamu, kalian, mereka, elit penguasa, atau bangsa X misalnya, pada saat bertindak, memilih sesuatu, bersikap, atau memutuskan kebijakan, dll hanya berdasarkan persepsi, maka inilah titik awal kehancuran sebuah organisme. Apakah persepsi? Singkatnya, “melihat dan menilai sesuatu menurut ukuran DIRI”.

Dalam hal ini, “diri” yang begitu dominan mempengaruhi persepsi dapat berupa kepentingan dan itu adalah bagian dalam dunia politik. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali "KEPENTINGAN". Tetapi pada dimensi non politik, “diri” tersebut bisa berujud dogma, opini, teori, hasil survey, ilmu pengetahuan, dll. Sedang menurut subjektifitasku elemen yang mutlak dominan mempengaruhi “diri” persepsi (orang) sebuah organisme terhadap sesuatu hal, seharusnya wawasan. Wawasan yang luas. Kenapa wawasan luas, sebab ia merupakan kondisi netral daripada hal-hal lain, bahkan tatarannya mungkin telah di atas dogma, teori, opini dan lain-lain. Itulah sekilas tentang “diri” dalam persepsi di berbagai penafsiran.

Maka menjadi keniscayaan tatkala persepsi itu selalu berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, mengingat dari sisi dalam (internal) ia akan dibarengi apriori, nilai-nilai yang dianut, pendidikan, pengalaman, latar belakang (masa lalu), dan lain-lain, sedangkan pengaruh kuat sisi eksternal yang mampu menggiring persepsi orang atau organisme ialah pencitraan. Tak bisa tidak. Inilah yang kini terjadi di hampir setiap gerak serta gaduh (politik) kehidupan.

Meminjam perkataan Baudrillard bahwa hari ini kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan, citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Baudrillard menyebutnya hyper reality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup kita sangat dipengaruhi oleh realitas semu ini, yang kata Milan Kundera, diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, atau desainer yang yang merancang semu bentuk, mulai dari mobil hingga alat olahraga. Contoh gampangnya, saat saya membeli baju bermerek A tiba-tiba saya merasa hebat. Padahal, apakah kehebatan ditentukan oleh merek baju? Tapi ketika citra telah mengepung saya, saya percaya dan yakin bahwa merek A membuat saya lebih hebat daripada memakai baju obralan. Inilah fase simulakra: citra yang membentuk realitas, bahkan citra menjadi realitas itu sendiri.

Ketika penduduk dunia sedemikian terasuki oleh citra dan tak sanggup lagi membedakan mana citra, mana realitas, tak heran bila pencitraan pun menjadi industri tersendiri. Bahkan kemudian demokrasi pun menjadi ajang pencitraan. Perusahaan-perusahaan konsultan politik mendesain citra para politisi agar sesuai dengan selera publik, dan pada saat yang sama, publik yang sudah hidup di alam simulakra cenderung memberikan suaranya kepada citra si kandidat, bukannya realitas si kandidat.

Agaknya Joshep Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler dahulu, lebih vulgar lagi dalam merumus bagaimana cara membentuk citra. Ia mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”. Kemudian tentang kebohongan ini, Goebbels mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.

Pertanyannya adalah, adakah perbedaan antara citra, iklan dan propaganda? Jawabannya singkat, serupa tapi tak sama. Iklan berperan pada ruang marketing, citra bercokol di koridor politik, propaganda berada di dunia intelijen. Intinya tak berbeda, yakni membentuk opini, mempengaruhi pendapat publik melalui menyampaikan informasi secara "obyektif" dan menyuguhkan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya, melalui peran media massa atau media lainnya.

Ketiganya, baik itu iklan, citra dan propaganda adalah upaya-upaya sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi sikap perilaku baik secara langsung maupun tak langsung agar publik memberikan respon sesuai kehendak pelaku. Mungkin ada pendapat lain?

Pada gilirannya, demokrasi pun dianggap sebagai bentuk aktivitas pencitraan, bukan lagi kegiatan adiluhung bangsa guna mencari negarawan terbaik memimpin negeri. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan bisa diraih melalui suara terbanyak. Maka untuk berkuasa, yang harus dilakukan ialah membentuk citra tertentu yang disukai publik. Tak ada gunanya ideologi. Pencitraan justru lebih kuat dari realitas dan lebih berkuasa daripada ideologi, kata Milan Kundera.

Merujuk hal di atas, sekarang mari membahas sosok Iblis sebagai salah satu variabel dalam judul catatan ini. Kenapa Iblis? Inilah permisalan paling tua tentang kesalahan persepsi sang makluk sehingga berakibat fatal manakala keliru bersikap serta memutuskan tindakan. Ya. Sebelum Adam ada, nyata dan berada, Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan dibanding makhluk-makhluk lain seperti Jin, Malaikat, dll dan ia mampu berbicara langsung denganNya. Ini merupakan kisah nyata di alam sana, bukan sekedar dongeng semata.

Bencana bagi Iblis diawali ketika ia menolak perintah Tuhan agar bersujud (menghormat) kepada Adam. Ia merasa hebat, tidak mau menghormat, karena Iblis dicipta dari api, sedang Adam berasal dari tanah. Tampaknya gelombang persepsi mengepung Iblis, selain merasa paling hebat, juga kelak jika masuk neraka pun, ia akan menjadi raja oleh sebab dalam persepsinya, neraka adalah api yang menyala-nyala. Bukankah Iblis itu berasal dari api? Bukankah aku akan menjadi raja di tengah lautan api? Itu (mungkin) persepsi sang Iblis.

Tapi disinilah blunder Iblis bermula. Ia membuat keputusan berdasarkan persepsi. Bahwa kelak neraka memang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala, tetapi bahan bakar neraka bukanlah dari api, tetapi berasal dari batu dan manusia. Apakah akibat (siksa) benturan keras antara batu dan manusia, lalu timbul percikan api, lantas membesar dan menyala-nyala? Entahlah. Sekali lagi, Iblis tertipu persepsinya sendiri, sebab ternyata bahan baku neraka itu batu dan manusia.

Terkait bahasan sederhana di atas, sekarang kita bicara tentang (teori) kehancuran. Dari berbagai literatur yang ada, kehancuran seseorang selalu diawali sifat riak (ingin dipuji). Riak merupakan wujud tindakan tidak ikhlas karena niatnya hanya mengejar pujian semata. Dalam politik, analog tindakan riak disebut meraih citra, atau pencitraan sebagaimana isyarat Baudrillard, bahwa citra itu hanya realitas semu atau hyper reality. Sesuatu yang tak nyata.

Urutan berikut pasca sifat riak adalah syirik (menyekutukan). Arti mutlaknya adalah menyekutukan Tuhan, yaitu membuat tuhan-tuhan (pujaan baru) selain Dia Yang Maha Esa. Dalam konteks ini, syirik dimaknai ‘membanggakan diri’. Dia besar karena aku! Mereka juara sebab ada aku disini, dll. Itu sekedar contohnya saja.

Selanjutnya ialah sifat munafik. Munculnya sifat ini tidak tiba-tiba, tetapi disinyalir akibat sikap dan sifat-sifat sebelumnya yakni riak (pencitraan) dan membanggakan diri (syirik). Tanda-tandanya jelas. Jika berkata ia bohong, bila dipercaya mereka mengkianati, tidak amanah, dll. Istilah sehari-hari munafik disebut mencela-mencele. Pagi kopi hitam sore susu putih. Kenapa? Oleh karena dalam membangun image dan citra positif diri, ia harus melakukan kebohongan berulang-ulang kepada publik.

Urutan sifat paling terakhir menuju kehancuran (kiamat) adalah fasik, atau keji. Ada tiga belas implementasi daripada sikap fasik ini, tetapi singkatnya berintikan: ‘membuat kerusakan disana-sini (di muka bumi)’. Apa jadinya jika negara dipimpin oleh sosok yang hakiki kebijakan membuat kerusakan negerinya sendiri? Alasan kurangi utang bukannya mengirit, atau berusaha tutup kebocoran (anggaran) namun malah jual (aset) ini jual itu; atau (alasan) guna mengejar ketahanan pangan bukannya membangun basis pertanian, atau memberdayakan (proteksi) petani lokal tetapi justru impor sana-impor sini, dll. Pada gilirannya kemiskinan kian meraja lela di tengah kelimpahan berbagai komoditi apapun di Bumi Pertiwi. Inilah "bangsa" tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri.

No comments:

Post a Comment