Saturday, July 2, 2016
Membaca Ulang Pola Kolonialisasi
Membaca peta konflik di dunia dari aspek kolonialisme yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan merupakan satu garis rute bahkan pararel dengan jalur-jalur serta wilayah yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam.
Pola lazim yang digunakan biasanya ditebar dulu soal isu-isu aktual terkait budaya dan kharakteristik didaerah/negara yang menjadi target. Kemudian setelah itu dimunculkan “tema” gerakan, dan seterusnya. Tema tersebut bisa berujud perang, invasi militer, atau konflik baik vertikal maupun bersifat horizontal, atau sering bertema aksi massa non kekerasan seperti Arab Spring di Tunisia, Yaman dan Mesir dimana sukses menggusur rezim.
Timor - Timur misalnya, isu yang dilempar soal pelanggaran HAM oleh aparat, kemudian tema yang dimunculkan adalah “konflik dan referendum”, lalu ujung (skema) yang ingin diraih ialah minyak di Celah Timor yang kini tengah digarap oleh Australia dan Thailand. Baluchistan juga. Isue yang ditebar perihal radikalisme dan separatis, tema yang dimainkan ialah referendum, sedang skemanya tetap minyak, minyak dan minyak. Pertanyaannya: apa tidak miskin Pakistan kelak bila Baluchistan memisahkan diri?
Demikian pula pola asing yang diterapkan di Papua, Kalimantan, Aceh dan lain-lain. Serupa tapi tak sama. Berbeda warna namun tetaplah sama. Inilah pola-pola kolonialisasi yang layak dicermati walau model dan kemasannya sering berbeda tergantung situasi, kondisi dan wilayah.
Politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat, kata Pepe Escobar (wartawan senior Asia Times) Jika dulu pada saat pemerintahan Bush di Amerika bicara soal pelanggaran HAM di sebuah negara, artinya ada minyak di wilayah tersebut. Siap-siap saja!
Wednesday, June 29, 2016
Ramalan: Antara Tuan Rumah Dan Tamu Undangan
Ramalan itu hukumnya sunah. Boleh percaya, boleh tidak. Tapi dalam beberapa hal, secara pribadi saya kurang percaya pada ramalan. Kenapa? Tak lain agar kita selalu mencari upaya-upaya kontra, atau menggali cara untuk antisipasi. Jika percaya ramalan begitu saja, kita akan pasif, cenderung menerima apa adanya.
Terkait ramalan pasca peralihan pucuk kepemimpinan bangsa ini dari era SBY ke JOKOWI tentang "Rakyat Cina akan berjaya-berkuasa dan Rakyat Indonesia hanya jadi penonton di negara sendiri" apabila kita percaya seratus persen, maka fenonena membanjirnya warga negara Cina secara besar-besaran (migrasi) ke Indonesia akan dinilai wajar, dianggap takdir politik, dampak globalisasi, resiko pasar bebas, dampak MEA, efek kebijakan rezim, dll.
Artinya, etnis Cina di Indonesia akan berkembang biak tanpa kendali tetapi kaum pribumi justru kian terpinggirkan dalam segala hal. Sekali lagi, kenapa saya memilih kurang percaya dengan ramalan, betapa sebuah ramalan seperti diatas tersebut lebih saya persepsikan sebagai isyarat, ataupun peringatan kepada anak-anak cucu kelak. Mengapa begitu?
Bahwa takdir memang ada yang bisa diubah, namun juga ada yang tidak dapat diubah sama sekali (sudah kehendak-Nya) sebagaimana hikmah pada kisah Luth pada istrinya, atau cerita Nabi Nuh dengan putranya.
Pertanyaannya, “Bukankah Tuhan tak bakal mengubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak mengubah sendiri?” Maka, dalam konteks geopolitik dan geostrategi kekinian, kaitan antara ujaran ‘Rakyat Cina yang berkuasa’ dengan migrasi besar-besaran warga negara Cina ke Indonesia, adalah fenomena yang mutlak diantisipasi oleh segenap tumpah darah Indonesia.
Terkait hal di atas, saya yakin dan percaya bahwa takdir masih bisa diubah. Indonesia ini tanah nenek moyang kita yang diwariskan kepada generasi penerus, Bung!
Monday, June 27, 2016
Untuk Orang Yang Tersayang
Kebahagianmu diberi mainan sama seperti kebahagian sang saudagar ketika untung besar.
Kenikmatan pemulung makan nasi bungkus di gubuk liar sama nikmatnya ketika konglomerat bersama istri minum anggur di kapal pesiar.
Sayang...
Kemarin dulu kamu masih bertanya...
Kenapa kita tidak boleh memakan darah?
Ya, darah itu tempat barang yang kotor-kotor, jika kalian makan niscaya ketularan penyakit-penyakit yang ada di dalam darah, ia tergolong pada bangkai. Darah yang terpendam!
Hari ini kamu bertanya lagi tentang babi...
Mengapa tidak boleh kita memakannya?
Benar....
Bukan soal cacing pita yang mati digerus panas tinggi...
Oleh sebab babi asalnya dari manusia terkutuk yang berubah wujud atas kehendak-Nya!
Bila kamu memakannya, ibarat memakan sesama lalu menghilangkan sifat kemanusiaanmu....
Percaya tidak percaya akan terjadi hal demikian.
Duhai sayang...
Masih saja kamu bertanya...
Kenapa tak boleh makan barang yang disembelih tanpa menyebut nama Tuhan?
Pahamilah!
Bahwa hidup itu hanya beda nama berbeda wujud dan bentuknya...
Sang Pencipta yang menitipkan Ruh di setiap makluk memiliki tanggung jawab masing-masing, sendiri-sendiri tetapi semua itu untuk manusia!
Maka ketahuilah...
Bahwa semua nikmat yang diberikan kepadamu, buat dia, mereka dan kita sekalian...
Wujudnya satu rasa namun berbeda rupa...
Agar dapat merasakan bahwa hidup itu berbeda...
Tetapi masih manunggal rasa...
Manunggal rasa!
Friday, June 24, 2016
Adik Minta T.H.R
Pemikir naturalis terkemuka, Nicollo Machiavelli mengatakan " di tengah orang-orang jahat, maka orang-orang baik akan binasa, orang-orang bijak akan jadi tumbal, dan orang yang cinta akan keadilan, kejujuran dan kebenaran akan akan hancur".
Arus mudik akan segera tiba, lebih dari 1/4 penduduk indonesia yang hijrah sebagai TKI di negeri lain dan tercatat dalam BPS Nasional akan kembali ke kampung halamannya.
Keberhasilan mereka "TKI" ketika pulang kampung dapat dilihat oleh warga kampung halaman yang masih menetap. Hal ini akan mempengaruhi warga lain untuk bertindak serupa, sehingga muncullah istilah yang populer bagi generasi muda, guru, petani, ustadz dll yang tertarik menjadi TKI sebagai "pemburu" ringgit, real maupun dollar.
Mengingat begitu banyak yang tertarik menjadi TKI, muncul kekhawatiran terjadinya perubahan orientasi dari sikap hidup agamis menjadi kapitalis-sekuler. Dulu, para orang tua dengan bangga mengirimkan anak-anaknya menuntut ilmu ke pesesantren dan kemudian kembali kedesa menjadi guru atau ustadz. Tapi sekarang beberapa pesantren di negeri ini tidak lagi jadi idola orang tua maupun masyarakat.
Kini, para orang tua lebih menghormati anak-anak muda yang tidak sekolah, tetapi sukses berburu kekayaan. Bahkan bangga jika mereka dapat mengirimkan anak-anaknya ke negeri jiran menjadi TKI untuk kemudian pulang membawa ringgit, dolar atau real yang melimpah untuk ukuran orang kampung.
Inilah salah satu potret buram yang dari dulu terjadi, mengakar dan menjadi budaya baru di bangsa ini. Permasalahan inilah yang seharusnya selalu diperbincangkan apalagi menjelang akhir ramadhan "arus mudik" hingga bisa menghasilkan atau melahirkan sebuah solusi yang nantinya akan menjadi bahan-wacana penting bagi pemerintah bukan malah membahas siapa dan dimana bisa mendapatkan THR!
Thursday, June 23, 2016
Mimpi Buruk Para Penghuni Himpunan
Jalan terbaik untuk memutus mimpi buruk adalah bangun dari tidur. Itulah logika sederhana dari kelaziman hidup yang dilupakan. Dan agaknya, “mimpi buruk” Himpunan ini bermula ketika asas tunggal mulai diberlakukan, alhasil perpecahan internal pun bermula hingga kebanyakan orang yang berhimpun sampai saat ini lupa akan salah satu tujuan awal, yakni "Mempertahankan Kesatuan/Kedaulatan NKRI Dan Mempertinggi Derajat Rakyat". Rumah yang satu terlalu asik bersenggama dengan pemerintah dan rumah yang satunya lagi terlalu fundamental, alhasil mereka "asing" yang menjadi alasan Himpunan ini hadir, dengan asiknya memperkosa terus menerus apa yang dimiliki bangsa ini walau konon katanya era kolonial telah usai!
Lihatlah apa yang terjadi di bangsa ini, bermula ketika UU NO 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) diteken. Inilah titik awal asing boleh memiliki saham 49% di Indonesia sedang dibanding sebelumnya pada era Bung Karno kepemilikan asing cuma 5% saja.
Sejak saat itu, “mimpi buruk” Himpunan ini sebagai "Harapan Masyarakat Indonesia" kata Jend. Sudirman tempo doloe perlahan mulai sirna. Penjarahan aset-aset dan kekayaan negara berkedok investasi, IPO, dsb berjalan secara kasat mata serta disahkan melalui UU itu sendiri.
Bahkan kini lebih parah lagi, karena kepemilikan asing sudah 90%. Luar biasa. Inilah SISTEM NEGARA sejak 1967 hingga sekarang malah pro asing, justru menggiring kekayaan negara ini keluar, hanya dinikmati segelintir orang. Inilah mimpi buruk yang harus diputus total dengan apa yang disebut “KEBANGKITAN”.
Kenapa? Sebab selama ini, kebanyakan orang yang berhimpun tak sadar diri. Mirip orang tidur dan bermimpi buruk tapi tak mampu berbuat apa-apa. Sebagian pula yang tercerahkan mulai waspada terhadap kondisi bangsa yang terjadi sampai saat ini namun seringkali justru mereka diabaikan dan bahkan dianggap pemberontak seperti kisah Pangeran Diponegoro.
Mimpi buruk yang dirasakan kian menjadi-jadi manakala reformasi mengubah UUD 45 menjadi UUD 2002. Ya, amandemen UUD 45 justru membidani terbitnya 115 UU pro asing.
Para penghuni Himpunan seolah buta dan tuli serta lumpuh hingga rakyat hanya bisa menjadi penonton dan menjadi pengemis. Tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri.
NKRI Harga Mati cuma slogan, kebanyakan para penghuni Himpunan selalu beronani. Menyenangkan diri sendiri dan kelompok. Mengapa? Karena teritori negara ini memang masih utuh tetapi isinya sudah tidak berbentuk. Remuk redam.
Sadarkah kita para penghuni Himpunan? Jika sadar makanya harus bangun! Bangun! Dan putuskan mimpi buruk bangsa ini sejak 1967. Sekali lagi, BANGUN DAN MULAILAH BERGERAK TANPA KOMPROMI!
Tuesday, June 21, 2016
Kemana Negeri Ini Dibawa oleh Pakar Politik?
Akan tetapi, di tengah keterpurukan (sistem) bangsa dan negara ini, tampaknya falsafah politis tersebut mulai mencuat kembali di permukaan. Karena faktanya memang ditemui kebuntuan teori-teori politik modern (Barat) yang malah membawa republik ini ke ruang ketidakmandirian. Ruang dimaksud berupa status sebagai bangsa pengimpor atas banyak komoditi yang sesungguhnya berlimpah di Bumi Pertiwi. Inilah penafsiran sederhana atas sastra (leluhur) di atas.
Ya. Hari raya itu maksudnya kesenangan sesaat, atau dalam sastra dilantunkan: “raja tanpa bisnis ibarat ketoprak, enaknya cuma semalam”. Jadi entah bentuknya kemenangan, kemegahan, atau kemewahan-kemewahan lain. Maka itulah makna daripada “hari raya” yang sifatnya sejenak. Sekali lagi, kesenangan yang hanya sesaat. Kenapa demikian, oleh sebab esok (pagi) ia mesti turun panggung. Tak dapat dipungkiri, di era demokrasi liberal dan Otonomi Daerah (Otoda) kini tidak sedikit Petruk dadi ratu berujung pidana, akhirnya di penjara. Tanpa bisnis, bahkan memiliki binis pun sang Petruk asyik korupsi. Banyak permisalan aktual. Enaknya cuma semalam, karena paginya digelandang KPK.
Sedang makna makelar ialah demi “perut”-nya sendiri. Artinya jangan berharap mereka berpikir kepentingan masyarakat, memikirkan kepentingan nasional, bahkan kelompok yang melambungkan kariernya pun sering ditinggalkan. Maka seringkali ditemui “kutu loncat”, atau istilahnya bunglon politik, dan lain-lain. Kepentingan bangsa dan negara cuma slogan di setiap orasi-orasi demi mendulang suara belaka.
Kemudian makna kambing disini adalah sosok, ataupun obyek sasaran, itupun sasaran antara dari pada tujuan yang hendak “dicincang atau disembelih”, maka siapapun sosok dimaksud pasti akan dikorbankan, dijadikan tumbal politik, atau terkadang kebalikannya, ia diherokan ke publik sebagai sosok tanpa cacat. Inilah pemimpin masa depan. Propaganda diramu sedemikian rupa terhadap sosok yang dijagokan agar selaras dengan “kerinduan-kerinduan” serta aspirasi warga. Berbasis skenario dalam pencapaian tujuan melalui isue, stigma, pencitraan, promosi, dan lain-lain.
Perlu diingat, sosok disini sejatinya sekedar sasaran antara belaka. Istilahnya wayang. Pintu pembuka saja, karena masih ada dalang, dan pemilik hajatan yang menginginkan model skenario. Apa hendak dikata. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan terutama pemilik hajatan di belakang layar. Ia meremot pagelaran dari kejauhan. Inilah mereka, zang pemilik hajatan yanh lazim disebut sebagai kelompok pemodal serta donator kampanye bagi “kambing” yang dicincang (propaganda, citra), atau disembelih (stigma, cap, dll).
Ya. Meski artinya banyak taktik, politik itu penuh rekayasa. Jika diibaratkan seutas tali maka terdapat pola permanen yang lestari yaitu “bundel” di bagian ujungnya. Kata bundel disini memiliki makna, bahwa kepentingan politik itu bermuara pada uang, uang dan uang. Ketika ada anekdot: “tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan”. Dan kata “kepentingan” disini, tidak lain dan tak bukan ialah uang.
Sebuah permainan politik, sangat berbeda dengan permainan catur yang ketika diserang (skak), pihak lawan akan terpojok lalu mati. Bukan seperti itu mainnya. Oleh karena tidak ada (rumus) mati langkah dalam politik. Bahkan dalam posisi terjepit, ia bisa keluar arena, tetapi bukan menyerah apalagi mengaku kalah. Di luar arena pun tak cuma menonton, mereka dapat memberi “warna” serta mengacaukan irama permainan yang tengah berlangsung. Maka ada istilah “mentor” dalam dunia politik.
Oleh sebab itu, silahkan dicermati kemana republik ini melangkah serta dibawa oleh orang atau golongan yang mengaku sebagai pakar politik. Hendak diantar pada kejayaan bangsa, atau malah digiring ke jurang kehancuran? Era demi era yang telah dilalui oleh republik ini, setidak-tidaknya bisa dijadikan cermin bersama.
Apa boleh buat. Menggerakkan negara dalam rangka meraih tujuannya memang melalui langkah-langkah politik, tetapi membuat negara menjadi kuat, mutlak harus menggunakan piramida politik. Retorikanya adalah: bagaimana piramida politik dan implementasinya agar sesuai pakem kejayaan nusantara dulu?
Kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi, karena kita tidak mau berkaca pada berbagai kejadian baik peristiwa dulu, kini, maupun kedepan. Kental kecenderungan hanya mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis). Kepentingan sejenak? Itulah contoh makna “hari raya” daripada sastra dalam prolog di atas. Hal ini merupakan indikasi, bahwa republik tercinta ini masih kuat dikelola oleh para pakar politik, si makelar kambing di hari raya korban.
Selanjutnya berbicara tentang kaca atau cermin, seyogyianya kita memotret tiga kelompok atau golongan yang kini tampak menggejala. Antara lain:
Pertama: Kelompok Pecundang. Inilah kaum koruptor, kendatipun secara hakiki korupsi di Indonesia itu diciptakan oleh sistem (politik). Persoalan pokok bangsa ini bersemayam di hulu. Kenapa kita tidak berupaya mem-breakdown, lalu mengubah sistem tersebut? Sepertinya segenap tumpah darah Indonesia malah larut dalam hiruk-pikuk yang diakibatkan oleh sistem koruptif tersebut. Banyak elemen bangsa ini memaki “gembira” jika indeks korupsi meroket. Inikah fenomena terseret arus?
Kedua: Golongan Penghianat. Telah banyak disaksikan hasil perbuatan atau ucapan orang-orang plin-plan, mencla-mencle, dll. Pagi kedelai sore tempe. Lalu yang kita rasakan sebuah proses pembodohan secara berkala, dan ‘kedustaan’ (melalui pencitraan) yang nyata di sana-sini. Sudah barang tentu, hasilnya pasti hanya mengenyangkan dan menyenangkan diri, kelompok dan golongan mereka sendiri.
Ketiga: Kelompok Nasionalisme. Inilah kaum atau golongan cinta tanah air yang masih memiliki keyakinan, baik keyakinan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahwa kelak Indonesia bakal kembali pada KEJAYAAN NUSANTARA. Masih adakah jiwa-jiwa semacam itu di republik ini? Masih banyak! Betapa rindu anak bangsa ini pada era keagungan nenek moyang dulu. Benih-benihnya pun mulai terlihat bersemi. Tentunya untuk mengubah dan memberdayakan jiwa-jiwa semacam ini, mutlak harus dengan SISTEM yang dimulai dari HULU, bukan seperti yang sekarang berlangsung, kegelisahan serta perjuangan segenap elemen bangsa yang mulai tercerahkan hanya gaduh di tataran HILIR semata.
Melalui cermin ketiga golongan tadi, gilirannya dapat dicermati apa yang tengah terjadi, ataupun yang kelak terjadi nanti. Bila merujuk ketiga kelompok di atas, lebih banyak mana golongan yang mendiami Bumi Pertiwi ini, dan termasuk kelompok manakah kita?
Sunday, June 19, 2016
Renungan Setelah Sahur: Antara Citra, Persepsi, Iblis dan (Teori) Kehancuran
Seringkali kehancuran seseorang, kaum, golongan atau bahkan keruntuhan sebuah negara sekalipun disebabkan faktor "salah persepsi". Artinya, ketika kamu, kalian, mereka, elit penguasa, atau bangsa X misalnya, pada saat bertindak, memilih sesuatu, bersikap, atau memutuskan kebijakan, dll hanya berdasarkan persepsi, maka inilah titik awal kehancuran sebuah organisme. Apakah persepsi? Singkatnya, “melihat dan menilai sesuatu menurut ukuran DIRI”.
Dalam hal ini, “diri” yang begitu dominan mempengaruhi persepsi dapat berupa kepentingan dan itu adalah bagian dalam dunia politik. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali "KEPENTINGAN". Tetapi pada dimensi non politik, “diri” tersebut bisa berujud dogma, opini, teori, hasil survey, ilmu pengetahuan, dll. Sedang menurut subjektifitasku elemen yang mutlak dominan mempengaruhi “diri” persepsi (orang) sebuah organisme terhadap sesuatu hal, seharusnya wawasan. Wawasan yang luas. Kenapa wawasan luas, sebab ia merupakan kondisi netral daripada hal-hal lain, bahkan tatarannya mungkin telah di atas dogma, teori, opini dan lain-lain. Itulah sekilas tentang “diri” dalam persepsi di berbagai penafsiran.
Maka menjadi keniscayaan tatkala persepsi itu selalu berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, mengingat dari sisi dalam (internal) ia akan dibarengi apriori, nilai-nilai yang dianut, pendidikan, pengalaman, latar belakang (masa lalu), dan lain-lain, sedangkan pengaruh kuat sisi eksternal yang mampu menggiring persepsi orang atau organisme ialah pencitraan. Tak bisa tidak. Inilah yang kini terjadi di hampir setiap gerak serta gaduh (politik) kehidupan.
Meminjam perkataan Baudrillard bahwa hari ini kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan, citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Baudrillard menyebutnya hyper reality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup kita sangat dipengaruhi oleh realitas semu ini, yang kata Milan Kundera, diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, atau desainer yang yang merancang semu bentuk, mulai dari mobil hingga alat olahraga. Contoh gampangnya, saat saya membeli baju bermerek A tiba-tiba saya merasa hebat. Padahal, apakah kehebatan ditentukan oleh merek baju? Tapi ketika citra telah mengepung saya, saya percaya dan yakin bahwa merek A membuat saya lebih hebat daripada memakai baju obralan. Inilah fase simulakra: citra yang membentuk realitas, bahkan citra menjadi realitas itu sendiri.
Ketika penduduk dunia sedemikian terasuki oleh citra dan tak sanggup lagi membedakan mana citra, mana realitas, tak heran bila pencitraan pun menjadi industri tersendiri. Bahkan kemudian demokrasi pun menjadi ajang pencitraan. Perusahaan-perusahaan konsultan politik mendesain citra para politisi agar sesuai dengan selera publik, dan pada saat yang sama, publik yang sudah hidup di alam simulakra cenderung memberikan suaranya kepada citra si kandidat, bukannya realitas si kandidat.
Agaknya Joshep Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler dahulu, lebih vulgar lagi dalam merumus bagaimana cara membentuk citra. Ia mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”. Kemudian tentang kebohongan ini, Goebbels mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.
Pertanyannya adalah, adakah perbedaan antara citra, iklan dan propaganda? Jawabannya singkat, serupa tapi tak sama. Iklan berperan pada ruang marketing, citra bercokol di koridor politik, propaganda berada di dunia intelijen. Intinya tak berbeda, yakni membentuk opini, mempengaruhi pendapat publik melalui menyampaikan informasi secara "obyektif" dan menyuguhkan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya, melalui peran media massa atau media lainnya.
Ketiganya, baik itu iklan, citra dan propaganda adalah upaya-upaya sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi sikap perilaku baik secara langsung maupun tak langsung agar publik memberikan respon sesuai kehendak pelaku. Mungkin ada pendapat lain?
Pada gilirannya, demokrasi pun dianggap sebagai bentuk aktivitas pencitraan, bukan lagi kegiatan adiluhung bangsa guna mencari negarawan terbaik memimpin negeri. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan bisa diraih melalui suara terbanyak. Maka untuk berkuasa, yang harus dilakukan ialah membentuk citra tertentu yang disukai publik. Tak ada gunanya ideologi. Pencitraan justru lebih kuat dari realitas dan lebih berkuasa daripada ideologi, kata Milan Kundera.
Merujuk hal di atas, sekarang mari membahas sosok Iblis sebagai salah satu variabel dalam judul catatan ini. Kenapa Iblis? Inilah permisalan paling tua tentang kesalahan persepsi sang makluk sehingga berakibat fatal manakala keliru bersikap serta memutuskan tindakan. Ya. Sebelum Adam ada, nyata dan berada, Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan dibanding makhluk-makhluk lain seperti Jin, Malaikat, dll dan ia mampu berbicara langsung denganNya. Ini merupakan kisah nyata di alam sana, bukan sekedar dongeng semata.
Bencana bagi Iblis diawali ketika ia menolak perintah Tuhan agar bersujud (menghormat) kepada Adam. Ia merasa hebat, tidak mau menghormat, karena Iblis dicipta dari api, sedang Adam berasal dari tanah. Tampaknya gelombang persepsi mengepung Iblis, selain merasa paling hebat, juga kelak jika masuk neraka pun, ia akan menjadi raja oleh sebab dalam persepsinya, neraka adalah api yang menyala-nyala. Bukankah Iblis itu berasal dari api? Bukankah aku akan menjadi raja di tengah lautan api? Itu (mungkin) persepsi sang Iblis.
Tapi disinilah blunder Iblis bermula. Ia membuat keputusan berdasarkan persepsi. Bahwa kelak neraka memang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala, tetapi bahan bakar neraka bukanlah dari api, tetapi berasal dari batu dan manusia. Apakah akibat (siksa) benturan keras antara batu dan manusia, lalu timbul percikan api, lantas membesar dan menyala-nyala? Entahlah. Sekali lagi, Iblis tertipu persepsinya sendiri, sebab ternyata bahan baku neraka itu batu dan manusia.
Terkait bahasan sederhana di atas, sekarang kita bicara tentang (teori) kehancuran. Dari berbagai literatur yang ada, kehancuran seseorang selalu diawali sifat riak (ingin dipuji). Riak merupakan wujud tindakan tidak ikhlas karena niatnya hanya mengejar pujian semata. Dalam politik, analog tindakan riak disebut meraih citra, atau pencitraan sebagaimana isyarat Baudrillard, bahwa citra itu hanya realitas semu atau hyper reality. Sesuatu yang tak nyata.
Urutan berikut pasca sifat riak adalah syirik (menyekutukan). Arti mutlaknya adalah menyekutukan Tuhan, yaitu membuat tuhan-tuhan (pujaan baru) selain Dia Yang Maha Esa. Dalam konteks ini, syirik dimaknai ‘membanggakan diri’. Dia besar karena aku! Mereka juara sebab ada aku disini, dll. Itu sekedar contohnya saja.
Selanjutnya ialah sifat munafik. Munculnya sifat ini tidak tiba-tiba, tetapi disinyalir akibat sikap dan sifat-sifat sebelumnya yakni riak (pencitraan) dan membanggakan diri (syirik). Tanda-tandanya jelas. Jika berkata ia bohong, bila dipercaya mereka mengkianati, tidak amanah, dll. Istilah sehari-hari munafik disebut mencela-mencele. Pagi kopi hitam sore susu putih. Kenapa? Oleh karena dalam membangun image dan citra positif diri, ia harus melakukan kebohongan berulang-ulang kepada publik.
Urutan sifat paling terakhir menuju kehancuran (kiamat) adalah fasik, atau keji. Ada tiga belas implementasi daripada sikap fasik ini, tetapi singkatnya berintikan: ‘membuat kerusakan disana-sini (di muka bumi)’. Apa jadinya jika negara dipimpin oleh sosok yang hakiki kebijakan membuat kerusakan negerinya sendiri? Alasan kurangi utang bukannya mengirit, atau berusaha tutup kebocoran (anggaran) namun malah jual (aset) ini jual itu; atau (alasan) guna mengejar ketahanan pangan bukannya membangun basis pertanian, atau memberdayakan (proteksi) petani lokal tetapi justru impor sana-impor sini, dll. Pada gilirannya kemiskinan kian meraja lela di tengah kelimpahan berbagai komoditi apapun di Bumi Pertiwi. Inilah "bangsa" tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri.
Thursday, June 16, 2016
Menebar Benih AntiPenjajahan
Menelusuri masa lalu bukanlah hal tabu, karena selain dianjurkan oleh leluhur dalam slogan “Jas Merah”, jangan melupakan sejarah kata Bung Karno, maka membaca tempo dulu juga tak berarti tenggelam dalam romantisme baik masa keemasan atau kebangkrutan semata. bukan! Tidak pula mengenang potret ‘kejadulan’ ataupun antik fisik sebagaimana marak di berbagai komunitas hobi, sekali lagi. BUKAN!
Membaca zaman lampau bermakna belajar tentang substansi dan hikmah atas sebuah realitas yang terjadi, kenapa? Jawabannya: History repeat it self. Sejarah niscaya berulang, hanya aktor dan kemasan kerapkali tidak sama sesuai keadaan.
Dalam memetik hikmah serta substansi, memang tergantung kualitas kejelian dan kecermatan orang, kelompok, dan bangsa dalam mengurai ‘mengapa terjadi’ bukan sekedar melihat ‘apa yang terjadi’ oleh sebab nantinya dijadikan rujukan melangkah kedepan agar kita, dia, kami, atau mereka, dll tidak seperti anekdot kerbau terperosok (dalam sehari) di lobang yang sama.
Catatan sederhana ini ingin mengulas sedikit esensi maupun hikmah yang mutlak dipetik oleh diri, keluarga, kelompok bahkan bangsa serta negara atas Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung.
Tak dapat dipungkiri, bahwa nilai sebuah kejayaan baik negara, individu, golongan, maupun warga dan bangsa yang hidup di dalamnya memiliki kriteria, ukuran, ataupun parameter-parameter tersendiri. Tak bisa tidak. Menjadi kelaziman bila kriteria kejayaan sebuah negara adalah peradaban, sedangkan parameter kejayaan individu diukur melalui moral. Meski kini berkembang stigma sosial bahwa ukuran kejayaan (kesuksesan) individu dilihat dari harta, takhta dan wanita itu syah-syah saja, namun dalam menilai bahwa stigma tersebut selain hanya ‘bunga-bunga dunia’ juga dapat disinyalir sebagai wujud pendangkalan konsep atas nilai kejayaan semula.
Ada beberapa aspek pendorong yang dapat memunculkan baik peradaban maupun moral itu sendiri selaku ukuran atau parameter kejayaan negara, individu, kelompok, dan sebagainya bisa diurai sebagai berikut:
Pertama adalah faktor keyakinan. Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana negara atau individu akan maju dan meraih kejayaannya jika dalam keseharian tak punya keyakinan dan rasa percaya diri?” Entah hal-hal apa saja. Kita hampir tak memiliki keyakinan terutama jika ditinjau dari elemen dinamis daripada Ketahanan Nasional yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) atau pancagatra.
Dalam hal ideologi misalnya, kita terombang-ambing ombak globalisasi sehingga ‘pasrah’ kemudian mengakomodir bahkan menelan bulat-bulat demokrasi ala Barat dan nilai-nilai asing yang belum terbukti keampuhannya pada perjalanan bangsa ini. Inilah ‘jalan pintas’ segenap anak bangsa yang dikira bisa cepat meraih masa kejayaan namun praktiknya justru kian menggiring bangsa ini pada keterpurukan, mengapa? Intinya: “Tidak punya keyakinan terhadap pakem dan pola sendiri guna meraih kejayaannya”
Nilai-nilai asing semacam liberalisme, HAM, dll akhirnya menjadi ‘senjata sakti’ setiap komunitas guna memaksakan kehendaknya di muka umum meskipun tata caranya menabrak etika, moral bahkan melanggar kepentingan bersama. Kebebasan yang bertanggung jawab dalam Demokrasi Pancasila malah dianggap riak belaka, seakan-akan di atas namun secara hakiki menjadi mainan arus besar (Demokrasi ala Barat). Kenapa semua itu terjadi? Lagi-lagi: “Karena kita tidak memiliki keyakinan atau rasa percaya baik selaku diri dan bangsa!”
Di bidang ekonomi apalagi, sangat-sangat parah. Konstitusi negara pasal 33 UUD 1945 telah tertulis jelas melalui prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan, antara lain:
1.perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3.bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akan tetapi dalam praktik dari waktu ke waktu, orde demi orde justru ruh kerakyatan kian menjauh dari substansi ekonomi pasal 33 dimaksud. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan UGM (Subversi Neokolonialisme, 2009) mensinyalir, bahwa perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme (neolib) dalam beberapa waktu belakangan ini.
Pada satu pihak, kita seperti tidak rela kekayaan bangsa ini dijarah oleh bangsa luar atas nama investasi asing, structural adjusment policy (SAP), IPO dan lain-lain, karena aset-aset negara lepas satu persatu dan dikuasai swasta (asing). Namun di pihak lain, berbagai undang-undang (UU), Keppres, dll yang terbit di era kini malah pro atas mekanisme neokolonialisme tadi. Sebuah ironi realitas di depan mata. Agaknya kondisi semacam itu menggerus pula aspek-aspek kehidupan lain sehingga melemahkan Ketahanan Nasional kita.
Maka titik awal pergerakan dan perjuangan untuk kebangkitan bangsa seyogyanya adalah: “Hilangkan perasaan minder, hapus rendah diri dan musnahkan rasa tidak percaya diri baik sebagai individu maupun bangsa!” Tak bisa tidak. Bahwa rasa minder (inferior) merupakan akar dari segala akar yang menyebabkan bangsa kita terpuruk di mata global.
Ketika tidak memiliki rasa percaya diri maka dengan mudah pihak asing mengalihkan perhatian, menyesatkan, menjerumuskan, dll sebab bangsa ini seperti tidak memiliki pijakan akan keyakinan. Kita gamang, minder, ragu-ragu, dsb. Akibatnya, selama ini para elit dan segenap bangsa cuma gaduh di tataran hilir dengan aneka wacana serta ‘isu-isu ciptaan’ melalui beragam media, lalu elit dan pengambil kebijakan larut dalam skema asing, membiarkan, bahkan celakanya tidak sedikit para elit dan perumus kebijakan justru sadar serta terlibat pada kerancuan pengelolaan berbangsa dan tata bernegara.
Ditebar isue korupsi misalnya, lalu kita heboh sendiri di dalamnya. Dibentuk KPK-lah, atau didirikan Non Government Organization (NGO) antirasuah sebagai “kaki”-nya KPK, dibuat UU PPATK, dsb. Inilah salah satu wujud dari kebijakan negara dan pemerintah namun tidak berbasis anatomi masalah serta potensi ancaman kedepan. Pertanyaannya, “Siapa paling diuntungkan atas kerancuan situasi seperti ini, manakala bapak-bapak khawatir melakukan transaksi dan takut menyimpan uangnya dalam jumlah besar di dalam negeri sendiri?”
Ya, tentu pihak luar negeri yang diuntungkan. Mungkin bank-bank Swiss, mungkin bank di Solomon, Fiji, dll dan sangat mungkin ialah Singapura karena ribuan triliun rupiah milik orang Indonesia terbukti ada (disimpan) disana. Ini sekedar salah satu contoh nyata.
Inilah keadaan rancu hasil cipta kondisi oleh asing melalui wacana dan isue yang niscaya (tujuannya) akan menelorkan kebijakan-kebijakan negara cq pemerintah yang salah arah dan hasilnya: “Tidak jelas,” mengapa? Kebijakan kok malah menguntungkan pihak asing? Jujur harus dijawab, “Dengan terbitnya UU PPATK, negara mana diuntungkan?”
Faktor kedua adalah kebodohan berkala. Tak boleh dielak, faktor ini menjadi subur di Bumi Pertiwi akibat modus pencitraan yang menjadi pilar utama model politik pasca reformasi, seperti multi partai misalnya, atau one man one vote, otonomi daerah, dan lainnya. Petruk disulap jadi raja, penjahat dirias pun bisa duduk sebagai pejabat. Akibatnya korupsi marak lalu dipropagandakan (digebyarkan) oleh media seolah-olah sebagai persoalan utama bangsa ini. Inilah ujud penyesatan, wong korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem politik pasca reformasi.
Sumber lain pembodohan berkala ini ialah modus pencitraan sebagaimana diulas sekilas di muka. Betapa kebohongan dianggap nilai yang dimaklumi bersama, sehingga kedustaan menjadi-jadi. Artinya apa, sekali si sosok berbohong kepada publik maka akan disusul oleh kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Inilah yang kini tengah berlangsung masif di republik tercinta ini. Sikap plin-plan bahkan munafik justru dipelihara oleh sistem kegilaan, popularitas murahan menjadi ‘makanan’ sehari-hari di tengah masyarakat. Dan sudah barang tentu, hampir tidak ada lagi keteladanan para elit dan pimpinan publik untuk rakyatnya.
Secara politik, sumber dari segala sumber kebodohan berkala adalah sistem politik dan ekonomi yang abai terhadap konstitusi dan budaya leluhur, kenapa sistemnya malah merujuk model ala Barat, baik one man one vote, otonomi daerah, dan sebagainya pada ranah politik maupun model ekonomi neolib dalam praktik ekonomi, dan lain-lain. Sedang secara individu, kebodohan berkala bermula dari sikap plin-plan atau munafik. Pagi minum kopi hitam sore minum susu!
Akhirnya dapat diterka, bahwa maraknya fenomena berkala atas pembodohan di tengah-tengah rakyat, kini terjadi kecenderungan bahwa sistem yang digunakan cuma menyenangkan segelintir elit serta hanya mengenyangkan kelompok kecil. Sadarkah kita?
Faktor ketiga adalah bangsa pengekor. Betapa banyak anak bangsa bahkan intelektualnya merasa malu menjadi warga Indonesia, minder atas ke-Indonesiannya, entah kenapa sikap ini tumbuh subur. Mereka justru bangga dengan bangsa lain serta mengunggulkan negara asing yang akar budaya dan nilainya tak sama, bahkan bertolak belakang. Lagi-lagi, Revrisond mengendus bahwa telah terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neolib dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Luar biasa.
Mungkin ini adalah akumulasi atas kedua faktor di atas, baik rasa tidak percaya diri sebagai diri dan bangsa maupun sikap plin-plan yang overload, seakan-akan menjadi epidemi di negeri ini. Bung Karno menyebut fenomena ini dengan istilah “blandis,” salah satu jenis komprador yang sikap dan perilakunya lebih mempercayai rujukan asing daripada rujukan bangsa sendiri. Inilah golongan pengekor yang kelak dan pasti akan menerkam rakyatnya sendiri dengan berbagai alasan dan justifikasi.
Penjajahan dengan segala macam bentuknya adalah biang kemiskinan siapapun dan sampai kapanpun bagi negara manapun di muka bumi, karena inti kolonialisme adalah mencaplok ekonomi sebuah bangsa. Ini cuplikan pidato BK dalam forum KAA di Bandung dulu:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Ya, dalam perspektif hegemoni superpower terutama di mata Presiden Richard Nixon (1969-1974), Indonesia adalah target kolonialisme Amerika semenjak dulu. Cuplikan tulisan Charlie Illingworth, penulis Amerika, mungkin bisa dijadikan salah satu referensinya:
“Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”
Menurut Bung Karno, cengkeraman struktur ekonomi kolonial dapat disimak berdasarkan tiga ciri: (1) Indonesia diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) Indonesia diposisikan sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) Indonesia diposisikan sebagai pasar untuk memutar kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut.
Tatkala sekarang Indonesia menjumpai keterpurukan dalam hal peradaban dan moral sebagaimana diurai di muka tadi, akibat tiga faktor pendorong di atas, maka pertanyaan yang timbul, “Bukankah hal-hal tersebut adalah bagian dari neokolonialisme dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik secara langsung oleh asing melalui segelitir elit dan kompradornya, sebagaimana isyarat Bung Karno?”
Sekali lagi, pertanyaan pamungkas untuk kita semua saat ini: “Mengapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya simpel, kita tidak mau berkaca pada kejadian yang lalu-lalu maupun masa akan datang, tetapi cenderung mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis)!
Friday, June 3, 2016
Coretan Kecil Negeri Pemulung Ideologi
Catatan singkat ini dilatar belakangi keprihatinan, bahwa kerapkali negeri dan bangsa ini dengan gampang menerima sesuatu hal baik materi/barang maupun non materi/ideologi/aliran, dll dari luar tanpa kritik tanpa selidik.
Komunisme contohnya, telah jelas bahwa ideologi ini merupakan “sampah masa lalu” bagi kehidupan berbangsa dan bernegara namun kini mulai disemai ulang dengan kemasan baru bertajuk Neo-PKI. Padahal di negeri asalnya, ia telah dianggap “bangkai” sebagaimana dikatakan oleh Alexandr di atas.
Demikian pula dengan HTI sebagai isme yang mengadopsi model Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir. IM sendiri di negeri asalnya dilarang, tapi kenapa di republik ini modus varian IM masih juga diakomodir?
Kapan kita menjadi bangsa mandiri yang secara ideologi berani menolak secara tegas ideologi-ideologi atau aliran impor yang terbukti telah memecah belah bangsa ini?
Saudara-saudara, saya hanya ingin bertanya: “Dimana Pancasila kini berada?”
Jawabannya nun jauh disana di lubuk hati yang paling dalam (tanpa kepentingan)!!!
Persenyawaan Hegemoni dan Skenario Kavling-kavling GeoEkonomi
Pertimbangannya, dari pada sama-sama hancur lebur di Laut Cina Selatan kalau digelar skenario “rebutan hegemoni” ala militer. Kalah menang jadi arang. Bukankah lebih nyaman kavling-kavling (geo) ekonomi di Indonesia?
Antara komunis dan kapitalis itu serupa tapi tak sama. Berubah-ubah modus tetaplah sama. Serupa pada daya eksploitasi di wilayah koloni yakni mencari bahan baku semurah-murahnya lalu menciptakan pasar seluas-luasnya, sedang perbedaannya hanya pada management puncak. Maknanya, bahwa komunis dikuasai segelintir elit negara, sedang kapitalis dikendalikan oleh sekelompok elit partikelir.
Semuanya tidak ada masalah karena hal itu merupakan implementasi sebuah ideologi jika dikaji dari perspektif geopolitik. Syah-syah saja!
Yang menjadi pokok masalah adalah, kenapa Pancasila dan pasal 33 UUD 1945 justru dianggap bangkai di negerinya sendiri?
Inilah yang menjadikan ruh para pendiri bangsa ini bangkit kembali, lalu merasuk kepada jiwa-jiwa kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Wednesday, April 27, 2016
KENAPA HARUS ADA MEA?
Ibarat gelombang badai, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah ombak kecil dari gelombang besar bertajuk globalisasi. Kesepakatan 10 negara Asean yang diteken di Bali pada tahun 2003 di era Bu Megawati berpilar pada 4 pendekatan strategis antara lain: 1) Pasar tunggal dan basis produksi; 2) Wilayah ekonomi berdaya saing tinggi; 3) Kawasan pembangunan ekonomi yang seimbang; dan 4) Menuju integrasi penuh dengan ekonomi global.
Secara singkat, MEA berisi/pemberlakuan “5 (lima) arus bebas” yang meliputi arus barang, jasa, tenaga kerja terampil, modal dan arus bebas investasi. Secara geopolitik, MEA adalah peluang namun sekaligus juga ancaman bagi Indonesia, kenapa? Ya, ia akan menjadi peluang bila para UMKM kita mampu bersaing dengan produk-produk dari 10 negara Asean, akan tetapi akan berubah jadi ancaman jika produk-produk kita baik barang, jasa maupun manusia, dll kalah bersaing dalam hal kualitas & harga.
Pertanyaannya sederhana, “Bukankah selama ini (tanpa MEA) Indonesia telah menjadi medan tempur (proxy war) secara asimetris (non militer) bagi Adidaya Timur versus Barat di bidang ekonomi dan penguasaan sumberdaya alam (SDA)?”
Berlakunya MEA justru kian membuka lebar kran proxy war dimaksud. Medan tempurnya semakin luas (karena telah disepakati) seakan tanpa penghalang lagi. Artinya, tanpa ada kebijakan pemerintah, jika tidak ada regulasi dan penegakkan hukum yang berpihak pada Kepentingan Nasional RI (KENARI), maka panggung MEA mirip pertandingan antara Mike Tyson melawan Taufik Hidayat, para UMKM bakal knock out/KO. Taufik Hidayat tentu KO. Inilah “ladang pembantaian” yang justru disepakati oleh negara itu sendiri. Pertanyaannya simpel, misalnya: “Mampukah petani lokal kita bersaing dengan para korporasi serta kartel global di bidang pangan?”
Dinamika MEA akan menambah deret “bencana geopolitik” di negeri ini. Ketahanan Nasional pasti jebol. Bukan cuma arus barang, jasa dan modal belaka, tapi juga aspek ideologi, sosial budaya, keamanan, dll. Bangsa ini kelak, seperti tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Absentee of lord. Tanah air mungkin tinggal nama saja, sebab tanahnya dikuasai siapa, airnya pun demikian pula, dikemas oleh Danone dkk milik negara asing atas nama investasi. Jangan-jangan, sejak bangun tidur hingga tidur lagi — yang kita lihat, kita dipakai, dan kita konsumsi, dst semuanya produk luar.
Oleh karena itu, awal bergulirnya MEA pada dekade 2016 ini, konsepsi nasional “NEGARA HADIR” tidak boleh hanya pada domain KEAMANAN saja, tetapi mutlak harus pada aspek-aspek lainnya seperti ideologi, politik, ekonomi, dll. Negara sebagai institusi pelindung rakyat harus berperan sepenuhnya, kenapa? Sebab tak mungkin para UMKM berhadapan dengan organisasi dan kartel-kartel perdagangan yang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Adakah pemerintah telah merumuskan antisipasinya?.
Jika tidak, maka Indonesia ibarat kapal tanpa kemudi di tengah gelombang kecil globalisasi/MEA. Terombang-ambing badai ketidakpastian. Menggali kubur bagi dirinya sendiri. Sungguh menyedihkan.
Wednesday, February 3, 2016
Etika Masyarakat Madani
Menurut francis fukuyama, akibat desakan ekonomi global satu
per satu pemerintah yang otoriter di dunia ini akan tumbang dan diganti oleh
demokrasi liberal. Secara teoritis, hal itu mungkin juga terjadi di indonesia. Tetapi
di Indonesia, kata “liberal” sejak zaman Bung Karno hingga sekarang, oleh
banyak pemimpin Indonesia dianggap sebagai hal yang buruk dan tidak pantas
untuk Indonesia. Bahkan dalam buku pegangan penataran P4 disebutkan “liveralisme
adalah musuh pancasila”.
Liberalisme menurut kacamata kita, berarti kebebasan
individu yang tidak mengenal batas. Juga dianggap tidak mengenal nilai-nilai
moral luhur karena akan melahirkan individualisme yang tidak sesuai dengan
masyarakat Timu. Liberalisme dituduh akan menampilkan orang-orang yang lebih
mementingkan kepentingan sendiri dengan menginjak-injak kepentingan orang lain.
Mungkin kita merancukan pengertian “liberalisme” dengan kebebasan yang lahir
sebagai konsekuensi paham kapitalisme ala Adam Smith yang berkembang sebelum
abad ke-19.
Adam Smith berpendapat bahwa mencari kekayaan (the attainment of wealth) dengan
memanfaatkan segala sumber daya dan melalui mekanisme persaingan bebas adalah
tujuan utama bagi individu atau bangsa. Pengaitan kapitalisme dengan
liberalisme yang menekan kebebasan individual ala Adam Smith, tercermin dari
pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya motivasi yang melatarbelakangi
kegiatan manusia adalah kepentingan diri (self
interest). Orang bekerja di pabrik bukan untuk menolong pemilik pabrik,
tetapi untuk mencari makan bagi diri sendiri. Menurut smith, hanya di
lingkungan keluarga sendiri motivasi kreativ dapat berlangsung. Di luar itu,
semua tindakan selalu ada pamrihnya. Pandangan seperti itu yang membuat banyak
orang mengaitkan liberalisme dengan keburukan praktek kapitalisme di abad
ke-19. Benarkah paham liberalisme tidak mengenal moral?
John Stuart Mill, penganjur liberalisme terkemuka mengatakan
bahwa masyarakat liberal didasarkan pada penghormatan kepada hak-hak yang
dimiliki oleh setiap orang. Menurut Mill, tiap orang bebas untuk menentukan
pilihan hidup masing-masing. Negara, melalui aturan hukumnya, harus memberikan
kesempatan agar hak-hak tersebut semaksimal mungkin terlaksana. Satu-satunya kewenangan
negara dalam membatasi hak-hak individu adalah mencegah agar orang tidak
melanggar hak-hak orang lain.
Dengan kata lain, salah satu prinsip etika dalam masyarakat
liberal adalah kewajiban bagi tiap warga untuk menghormati hak warga yang lain
seperti ia sendiri ingin di hormati hak-haknya, dan pemerintah baru berhak
mengintervensi ketika dalam menjabarkan hak-haknya itu, warga tersebut
melanggar hak-hak warga lain. Juga pemerintah, atau siapa pun juga, tidak
berhak memaksa agar warganya menganut nilai moral tertentu. Tiap orang dalam
masyarakat liberal adalah autonomous
moral agent.
Bagian inilah barangkali yang masih belum dapat sepenuhnya
diterima oleh pemimpin-pemimpin kita. Secara implist terkesan bahwa dalam
masyarakat liberal, seorang dewasa dapat memilih untuk mengambil keputusan
untuk dirinya, termasuk menganut agama apa pun atau bahkan tidak beragama sama
sekali, sepanjang ia tidak memaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Masalahnya
menjadi makin tidak sederhana ketika kita dihadapkan kepada teknologi seperti
bayi tabung, aborsi, dan eutanasia. Sesuai dengan prinsip liberalisme yang
menghormati hak otonom individu, pemerintah tidak boleh melarang warga untuk
memilih teknologi tersebut sepanjang pilihan itu tidak merugikan orang lain. Maka
perdebatan tentang aborsi dalam masyarakat liberal, misalnya, tidak berpusat
apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak, tetapi tidak apakah janin yang
ada dalam kandungan sudah memiliki hak untuk dilindungi atau tidak.
Sikap Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini
mencerminkan sikap masyarakat liberal, Pemerintah federal AS tidak melarang
abortus atau kloning manusia, tetapi hanya melarang penggunaan dana federal
untuk hal-hal tersebut, kalau ada orang yang menggunakan uangnya sendiri untuk
menunjang kegiatan semacam itu, pemerintah tidak dapat melarang sepanjang hal
itu tidak melanggar hak individu orang lain.
Kritik terhadap paham liberalisme versi Mill bukannya tidak
ada. Kritik itu antara lain datang dari pendapat yang menyatakan bahwa pada
dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar hidup sebagai individu. Ia akan
selalu terikat pada sesuatu masyarakat tertentu, minimal dengan keluarganya
sendiri. Menurut pengkritik tersebut, otonomi individu yang di gambarkan Mill
hanya bermakna filosofi, tetapi tidak pernah ada praktek kehidupan sehari-hari.
Terutama dalam masyarakat Asia, seperti yang diungkapkan oleh seorang pakar
etika Jepang, Rihito Kimura, “Masyarakat Asia Diasuh dalam budaya yang mengedepankan
kepentingan bersama dan membelakangkan kepentingan pribadi”. Pandangan semacam
itu juga dianut oleh sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia.
Untuk masyarakat jepang yang homogen, mempertahankan budaya
semacam itu mungkin relatif lebih mudah. Untuk masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia, mobilitas horizontal telah membaurkan antarawarga yang datang dari
berbagai tradisi. Agar mereka dapat hidup bersama warga lain, pada umumnya
mereka terpaksa menekan budaya asli masing-masing dan mencoba mencari titik
temu di antara budaya asal yang berbeda. Ada saat ketika mereka seperti
tercabut dari akar, atau mengalami “alienasi kultur”, terutama di kota-kota
besar. Jika saat kosong tersebut diisi oleh rayuan konsumerisme oleh
iklan-iklan produk untuk kenyamanan pribadi dan dorongan persaingan yang ketat
dalam mencari hidup, bukan tidak mungkin individualisme seperti yang terjadi di
Barat akan muncul.
Ekonomi pasar yang menghasilkan produk-produk konsumsi pada
umumnya akan memacu individualisme. Gejala-gejala ke arah itu sudah tampak di
kota besar seperti jakarta dan berkat televisi ia juga sudah merambat ke
desa-desa. Sementara uapaya untuk membangun etika sosial Indonesia tidak
tampak. Penataran P4 yang dikatakan sebagai penataran nilai-nilai moral Pancasila
lebih merupakan pengajaran tentang tata negara, dan bahkan cenderung
disetujukan untuk menguatkan konsep pemusatan kekuasaan pada satu lembaga serta
penanaman loyalitas kepada pimpinan nasional. Konsep etika masyarakat Pancasila
hingga saat ini belum pernah dikembangkan atau dicontohkan. Para pimpinan
bangsa justru lebih sering mencontohkan perilaku yang justru bertentangan
dengan Pancasila. Dapat dimengerti jika sekarang banyak yang bersikap skeptis
atau sinis terhadap Pancasila.
Kini beberapa pakar mencoba mencari alternatif bentuk
masyarakat yang lain, yaitu masyarakat madani. Dikatakan bahwa masyarakat
madani bercermin kepada tatanan masyarakat madinah semasa Nabi Muhammad SAW
menjadi pemimpin di sana. Aturan dasar (konstitusi) masyarakat Madinah tersebut
tertulis dalam Piagam Madinah. INTI Piagam Madinah itu adalah ketaatan kepada
ajaran Tuhan, persamaan hak dan kewajiban antara semua warga baik kaum Yahudi maupun Arab,
baik dalam membiayai anggaran belanja negara maupun mempertahankan negara. Juga
perintah agar antara anggota masyarakat saling menghormati kehdupan warga
lainnya sepanjang mereka tidak menyerang atau mengacaukan Madinah.
Jika kita coba bandingkan dengan masyarakat liberal ala
Barat, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang pada
prinsipnya dapat dianggap demokratis (menurut Nurcholish Madjid), tetapi tidak
sekuler (memisahkan paham Ketuhanan dari negara). Menurut Cak Nur, juga ada
sikap menghormati hak-hak asasi individu dan demokratis karena ada prinsip
musyawarah dalam mengambil keputusan. Hanya saja hak-hak individu warga
tersebut dibatasi dengan rambu-rambu yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.
Kembali, seperti juga konsep leberal John Struat Mill,
secara filosofis gambaran masyarakat madani mudah dipahami, tetapi bagaimana
menjabarkannya dalam praktek-praktek bernegara di zaman modern masih memerlukan
pemikiran lebih lanjut. Terutama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan
memiliki faktor disintegrasi yang sangat besar. Apalagi karena seelama berpuluh
tahun bangsa kita tidak dilatih untuk menghormati hukum, dan tidak pula ada
upaya yang serius dari pimpinan-pimpinan bangsa untuk menegakkan wibawa hukum. Contoh
perilaku yang diberikan dari atas justru contoh yang melecehkan hukum.
Dalam masyarakat madani di zaman Nabi Muhammad, Rakyat
menaruh kepercayaan yang besar terhadap kepemimpinan Nabi, dan sebaliknya Nabi
juga memberikan contoh sikap yang arif dan adil. Demikian pula Nabi mempunya
otoritas yang tidak diragukan dalam menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an
dalam menjalankan pemerintahannya. Untuk masyarakat madani modern, figur
seperti Nabi Muhammad tidak mungkinlagi kita peroleh. Pemimpin bangsa pun
individu, tetapi institusi atau sistem. Perlu pula dicatat bahwa Nabi Muhammad menjadi
pemimpin karena wahyu Allah, bukan hasil pemilihan seperti pemimpin bangsa
modern.
Lalu, bagaimana etika berbangsa dan bernegara dalam
masyarakat madani modern untuk untuk negara seperti Indonesia? Para pengusul
konsep masyarakat madani harus dapat menjelaskan. Kewajiban-kewajiban apa yang
harus dilakukan oleh negara agar etika itu tetap terjaga. Masalah sering akan
timbul ketika negara harus memberikan rambu-rambu dalam area menjadi
perdebatan. Ketika pilihan atau pendapat individu berada pada wilayah kelabu
dalam nilai-nilai norma agama. Saat ajaran agaman tersirat harus ditafsirkan
untuk menghadapi problem kontemporer. Termaksuk misalnya, bolehkah perempuan
menjadi pemimpin. Atau ketika kita dihadapkan pada teknologi industri yang
memberikan berbagai alternatif pilihan pada manusia.
Tuesday, February 2, 2016
Indonesia Dan Budaya "Anda Harus Bayar"
Pepatah Belanda voor
wat hoort wat bila kita terjemahkan dalam bahasa indonesia “untuk sesuatu
ada sesuatu”, atau sesungguhnya
keselamatan atau kebahagiaan mengandung biaya, pada zaman Orde Baru agaknya
telah ditafsirkan dan dipraktikkan secara harfiah. Penafsiran ini seja zaman
kolonial Hindia Belanda memang telah berjalan pula. Korupsi dan kolusi telah
muncul pula dalam tubuh birokrasi dan perdagangan, tetapi tidak terlalu merata
dan meluas serta belum sistematik. Bukan karena pemerintah dan masyarakat waktu
itu secara moral lebih bersih dan berbakti akan tugas! Korupsi dan kolusi
tampak lebih jarang dari pada sekarang, karena mungkin pada waktu itu
infrastruktur peradilan dan birokrasi memang lebih efisien dan efektif.
Pada
zaman Orde Baru, tugas pelayanan dan birokrasi kepada publik dan para pengusaha
yang seharusnya berjalan atas dasar efisien tanpa pamrih, tumbuh melebar dan
meluas secaravertikal maupun horizontal, berkembang menjadi suatu “kultur
manajemen birokrasi”. Kalau apa yang disebut sebagai “kultur” dan “budaya”
adalah proses dialektik, “kultur manajemen birokrasi” adalah tahapan sintesa
budaya yang tercapai sesudah kekuasaan feodal-absolut di masa lalu memenangkan
putaran dialektika budaya di negara kita. Revolusi 1945 yang seharusnya dapat
mendobrak tesa budaya sistem kekuasaan yang feodal-absolut menjadi antitesa
sistem kekuasaan yang demokratik-egaliter telah gagal
Revolusi
1945 membuahkan Orde Lama dan Orde Baru yang justru mengembangkan pemahaman “kekuasaan”
sebagai sesuatu yang agung, tunggal, dan menakjubkan. Maka penyandang kekuasaan
yang sedikit banyak mengandung unsur-unsur agung, tunggal dan menakjubkan itu
adalah penerjemah dan pelaksana konsep kekuasaan tersebut. Dan itu bergulir
mulai dari presiden, jendral, menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, lurah
dan bahkan mungkin ketua RW,RT yang mengurus KTP. Kekuasaan menuntut kepatuhan.
Dan kepatuhan feodal-absolut membawa upeti. Itulah yang kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi “kultur manajemen birokrasi”.
Kultur ini
mengakar dan menjadi semacam way of life.
Akar kultur ini kuat dalam tanah mereka yang tidak memegang kekuasaan. Kekuasaan
itu yang tidak mungkin dilawan dan seharusnya di patuhi, kalau memang usahanya
ingin lancar dan berhasil. Kalau mau diterima di suatu perguruan tinggi, sipil,
militer, eksekutif, yudikatif, legislatif orang harus bayar, bila ingin
kenaikan pangkat atau jabatan orang harus bayar; pengusaha yang memohon izin
memenangkan suatu tender proyek dalam satu departemen harus bayar; orang kecil
yang ingin mendapatkan Kartu Tanda Penduduk harus bayar; jenazah yang ingin
dimakamkan harus bayar, dan tidak ada yang gratis semuanya harus bayar, untuk
sesuatu ada sesuatu, semuanya telah mengalir merata di semua lapisan
masyarakat.
Orang yang
dengan gagahnya ingin menolak “kultur harus bayar”, hampir dapat di pastikan
akan kandas. Kekuasaan suatu jabatan, sekecil apa pun, semakin tampil tegar
berwibawah, semakin berwajah, wajah yang dahulu sebelum memegang kekuasaan,
luruh dan biasa, mungkin juga bertubuh kurus-kering dan kulitnya berpanu,
begitu dia mendapat rezeki mendapat suatu kekuasaan, bagaikan mengenakan baju
Gatotkaca akan terus menyangka dapat terbang tinggi kemana-mana. Kekuasaan melambung
dan membengkak, mengeluarkan dosis yang menakutkan “bayar”, “bayar”, dan “bayar”.
Di mata
sang penguasa dan pejabat, nyaris semua pengusaha pribumi atau nonpribumi
adalah orang-orang gendut perutnya yang siap untuk dipukul “buk” sehingga
keluar Mercedes, BMW, rumah mewah, saham kosong, dan sebagainya. Dalam pandangan
rakyat atau pengusaha semakin menancap juga akar-persepsi bahwa kekuasaan
membawa “hak” untuk di “bayar” dan untuk dimanjakan dengan kemewahan. Persepsi bahwa
kekuasaan adalah service, “pengabdian” dan “efisiensi” semakin kabur dan buram
di mata masyarakat.
Inilah,
saya kira kegagalan Revolusi 1945 yang macet, berhenti hanya sampai pada
sintesa budaya “kultur manajemen birokrasi”. Memang kekuasaan adalah segalanya.
Tetapi segalanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tegasnya, Revolusi
1945 harus mencapai sintesa budaya “demokrasi
dan modernita”.
Alangkah
jauh dan mendalam pengaruh sintesa budaya dari satu dialektika yang seharusnya
mengundang suatu antitesa budaya yang baru dan segar, sintesa budaya “kultur
manajemen birokrasi” itu berhenti di tempati, macet, mengakar di tubuh bangsa
dan negara kita. Antitesa Revolusi 1945 laksana meteor di langit, yang sekejap
bersinar terang benderang menerangi seluruh angkasa, tetapi bagaikan layaknya
sebuah meteor ia segera redup kembali. Angkasa seluruh negeri dan bangsa kita
menjadi buram kembali setelah budaya “harus bayar” tumbuh semakin kuat.
Pengaruh
pertama dari budaya “harus bayar” ini adalah pada penerimaan aksioma bahwa
pekerja, berkarya, adalah hadirnya suatu akumulasi rasa cinta, gairah, terhadap
hasil kreasi otak, pikiran dan tenaga yang di jalani lewat proses yang panjang.
Seseorang yang bekerja akhirnya akan lega dan puas melihat hasil jerih payahnya
berhasil melewati suatu prosedur yang transparan dan diketahui oleh hukum yang
berlaku. Pada hakikatnya, setiap hasil kerja birokrasi dan perdagangan
mengandung unsur “melayani”. Hasil kerja mereka sesungguhnya untuk diabdikan
kepada masyarakat luas. Hasil kerja mereka sesungguhnya juga berfungsi untuk
membantu roda mesin masyarakat berputar lebih lancar lagi. Tetapi, dengan
merajalelanya budaya “harus bayar”, semangat melihat dinamika bekerja itu
sebagai suatu proses terbuka, transparan, diketahui oleh hukum yang berlaku,
serta yang paling penting kegairahan dan kegembiraan untuk memberi pelayanan
kepada masyarakat luas menjadi rusak sama sekali.
Budaya “harus
membayar” telah mengubah, menyulap, bahkan semangat melayani tersebut menjadi
semangat egois, mementingkan diri sendiri, pasif, kehilangan motivasi untuk
bekerja secara aktif dan gembira. Untuk setiap pekerjaan ia menunggu, bahkan
menuntut sesuatu “pembayaran” yang memadai besarnya. Bila pembayaran itu belum
diberikan, pekerjaan itu tidak akan segera dikerjakan. Sang pekerja yang
kreatif dan penuh kegairahan tanpa pamrih akan menjadi pekerja yang malas,
manja, bahkan cenderung menjadi sewenang-wenang. Itulah pengaruh kedua dai
kultur “harus bayar” kepada etos kerja masyarakat kita.
Pengaruh
ketiga dari kultur “harus bayar” selain merusak kinerja dari birokrasi dan etos
kerja, juga menjamah gaya hidup para pekerja umumnya, para pegawa negreri,
bahkan juga para pengusaha dan pedagang, baik itu yang pribumi maupun keturunan
tionghoa. Akibat dari mudahnya mendapat uang suap atau komisi orang tergoda
untuk membelanjakan uang tersebut pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak esensial
lagi, tetapi pada kebutuhan-kebutuhan akan benda-benda mewah yang akan memicu
rasa haus terhadap keperluan-keperluan yang tidak terlalu penting lagi. Para pedagang
dan para pengusaha yang tidak mau lepas dari kultur “harus bayar” semakin
terseret lagi untuk membelanjakan keuntungan yang didapatnya dari bisnis mereka
untuk lebih mengubah gaya hidup mereka. Mereka akan tampak dalam penampilan
hidup yang lebih mewah lagi. Maka penyakit “cemburu sosial” terpicu untuk lebih
luas menular di masyarakat. Kemewahan menjadi cita-cita hidup masyarakat.
Ada semacam
demam kelas ang tumbuh dalam masyarakat. Keinginan yang membara di dada
sebagian besar masyarakt untuk pada suatu ketika mengecap kehidupan mewah
menjadi semacam obsesi bagi lapisan masyarakat yang sebenarnya berada di luar
jangkauan kemampuanya.
Pengaruh
terakhir atau keempat dari budaya “harus bayar” adalah akibat dari tiga
pengaruh budaya tersebut, yaitu lumpuhnya administrasi negara dan seluruh
birokrasi nyaris tidak ada sama sekali efisiensi dan produktifitas kerja. Dalam
dunia usaha dan perdagangan berkembang suatu kultur yang hampir tidak
berorientasi kepada efisiensi bisnis dan produktifitas kerja, kompetisi
terbuka, tetapi ketergantungan roda usaha dan perdagangan pada kompetisi/lobi “harus
bayar” pada birokrasi pemerintah dan semua instansi entah itu dibawah naungan
negara ataupun swasta.
Alangkah
berat dan besar tantangan yang kita hadapi. Mungkin kerontokan total yang di
kembangkan Orde Baru banyak bersumber kepada kultur “harus bayar” itu. Kalau kita
masih berharap pada suatu ketika akan menjadi bangsa dan negara yang damai
serta sejahtera, saya kira kultur “harus bayar” yang sudah macet menjadi
sintesa budaya itu harus di dobrak, agar dapat menghasilkan antitesa budaya yang
lebih demokratis, rasional dan transparan. Oleh karena itu kita harus bersedia
bekerja keras, kita harus bertekad untuk menggarap terlebih dahulu bangunan
dasar yang lebih mantap.
Pertama,
kita harus bekerja keras mengembangkan dan menumbuhkan sistem politik demokrasi
yang kuat dan lestari. Kedua, pembongkaran dan penumbuhan sistem pendidikan
kita, dari taman kanak-kanak, lewat SD, SMP, SMU hingga pada tingkat perguruan
tinggai atau universitas. Hal ini, saya rasa, sangat penting karena melalui
sistem dan filsafat pendidikan kita
dapat menyiapkan generasi atau warga demokrasi yang handal.
Subscribe to:
Posts (Atom)