Sangat sulit untuk mendefinisakan terorisme dewasa ini, bahkan PBB selaku organisasi internasional yang banyak menaungi berbagai negara-negara di dunia, selama lebih dari 70 tahun belum rampung untuk mendefinisikan kata tersebut. Hal ini menunjukan betapa politisnya pendefinisian terorisme di PBB karena berbagai macam kepentingan.
Noam Chomsky, seorang intelektual anarkis, berkomenter mengenai istilah terorisme yang menurutnya memiliki sifat yang amat subjektif. Bagi Chomsky, terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan, atau bahkan pahlawan bagi pihak lain.
Jeckson dan Sorensen, mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang melanggar hukum atau tindakan kekerasan yang mengancam peradaban, seringkali untuk mencapai tujuan politis, agama, atau tujuan-tujuan lain yang serupa. Sedangkan Kent Lyne Oots, mendefinisikan terorisme sebagai : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonimin atau material; (2) sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain; (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi mencari publisitas; (4) tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotif politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis. Namun demikian, kurang afdol jika kita hanya memuat definisnya saja tanpa menguraikan sejarah terorisme itu sendiri.
Terorisme bukanlah fenomena modern, terorisme telah ada jauh sebelum peristiwa 11 Sepetember di New York. Terorisme yang terrekam oleh sejarah sejak abad pertama masehi. Pada masa itu orang-orang Zelot, kaum Yahudi yang menentang pendudukan Roma atas Palestina membunuh orang-orang Roma di siang hari di depan umum dalam rangka menakut-nakuti pemimpin Romawi di wilayah tersebut.
Dalam dunia Muslim terorisme pertama kali dipraktekkan oleh kelompok yang disebut Assassins, atau “pemakan ganja,” Muslim militan abad kesebelas yang membunuh orang-orang yang menolak mengadopsi Islam versi mereka.
Praktek terorisme terbesar dilakukan oleh bangsa Eropa saat menginvasi dunia-dunia baru dan merampok sumber daya di dalamnya. Ratusan juta manusia terbunuh karena keserakahan tersebut, terutama di benua Amerika dimana banyak suku asli di sana yang terbunuh karena invasi Eropa.
Pada abad kesembilan belas, kaum anarkis yang menentang bentuk pemerintahan apapun, banyak menggunakan praktek-praktek terorisme, meskipun banyak juga kaum anarkis yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara damai. Beberapa pemimpin dunia menjadi korban pembunuhan yang disebut “propaganda perbuatan” oleh kaum anarkis, antara tahun 1881-1901, termasuk Presiden Amerika Serikat William H. McKinley (1843-1901), Presiden Prancis Marie-Francois Sadi Carnot (1837-1894), dan Raja Italia Umberto I (1844-1900). Pembunuhan-pembunuhan ini dipengaruhi oleh sebuah kelompok Rusia bernama “Kehendak Rakyat,” yang mencoba tetapi gagal untuk membunuh Tsar Alexander Ulyanov (1866-1887), kakak Vlademir Lenin Ilich.
Lanin (1870-1924), pemimpin revolusi Rusia, menggunakan terorisme sendiri setelah Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917 dan bertanggungjawab untuk melancarkan Teror Merah melawan musuh-musuhnya pada musim panas 1918. Dipimpin oleh Felix Dzerzhinsky (1877-1926), pendiri polisi rahasia Bolshevik, Cheka, metode-metode teroris digunakan terhadap semua kelas sosial, terutama terhadap petani yang menolak menyerahkan padi mereka kepada pemerintah Soviet. Tetapi penggunaan teror negara oleh Lenin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipraktekan oleh penggantinya, Josef Stalin (1878-1953), yang selama upaya Soviet melakukan kolektivisasi peternakan dan industrialisasi masyarakat telah membunuh jutaan warga Soviet.
Pada 1934, Gulag (sistem kamp penjara untuk tahanan politik Soviet) menahan jutaan orang yang dituduh melakuakan segala macam kejahatan yang dibuat-buat. Gulag, yang kemudian hari menjadi terkenal melalui novel Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, terdiri atas kamp-kamp kerja yang membentang melintasi Siberia dan jauh di Soviet utara dimana lebih dari satu juta orang meninggal.
Praktek terorisme juga dilakukan oleh rezim Mao Zedong, Frank Dikotter, seorang sejarawan Hong Kong mengatakan bahwa saat Mao menerapkan “Great Leap,” atau lompatan besar di tahun 1958-1962 untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Cina dari Dunia Barat, sedikitnya 45 juta penduduk Cina telah terbunuh karena dipaksa bekerja, kelaparan atau dipukul dalam kurun waktu tersebut (empat tahun). Hal ini merupakan pembantaian terbesar ketiga pada abad ke-20 setelah Gulag di Soviet dan Holocaust.
Tak ketinggalan pemimpin bangsa kita sendiripun melakukan praktek keji tersebut, saat Indonesia dibawa pimpinan Soeharto dibantu oleh kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang menyediakan daftar orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia. Peristiwa ini terjadi tatkala kelopok komunis Indonesia gagal dalam melancarkan aksi kudeta pada 30 September 1965 yang kemudian diikuti dengan lengsernya Soekarno dari punjak kekuasaan dengan tuduhan mendalangi aksi kudeta tersebut. Kemudian kekuasaan Indonesia dipegang oleh Soeharto atas pilihan MPRS yang berisi orang-orang pro Soeharto setelah pemecatan para Soekarnois di MPRS. Jumlah pasti korban genosida terbesar abad ke 20 di Indonesia tersebut sangat sulit untuk diketahui, hanya sedikit akademisi dan wartawan Barat di Indonesia pada saat itu. Sebelum pembantaian usai, angkatan bersenjata Indonesia memperkirakan sekitar 78.500 orang telah meninggal, sedangkan menurut orang-orang komunis, diperkirakan 2 juta orang meninggal. Di kemudian hari angkatan bersenjata memperkirakan 1 juta orang telah dibantai. Sebagian besar para sejarawan sepakat bahwa sedikitnya setengah juta orang dibantai dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, dan digorok oleh kelompok militer dan warga sipil yang sampai saat ini masih jadi bahan penelitian bagi pihak berwajib.
Dan sekarang, praktek terorisme banyak juga dilakukan oleh negara seperti Israel yang banyak membunuh warga Palestina, Myanmar dengan etnis Rohingyanya, Suriah dibawa pimpinan Bashar Al Assad yang banyak membantai warganya sendiri, dan negara-negara lianya. Hal tersebut menunjukan bahwa kecenderungan terorisme bukan hanya dipraktekan oleh segolongan kaum radikal, namun juga oleh negara atau yang lazim disebut dengan “state-sponsored terrorism”. . . .