Wednesday, October 18, 2017

Neoimprealisme, Senyap dan Tanpa Letusan Peluru



Dalam buku The End of History, Francis Fukuyama menyatakan bahwa dunia bakal mencapai suatu konsensus luar biasa terhadap demokrasi. Dan demokrasi liberal adalah akhir dari evolusi ideologi, pasca runtuhnya berbagai ideologi seperti sitem monarki, komunis, fasisme dan seterusnya. 

Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia) menyebut: Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja.

Inilah era penjajahan gaya baru. Dunia tidak lagi dihiasi oleh Kapitalis versus Monarkie seperti pada PD I, atau membenturkan Kapitalis melawan Fasis dalam PD II, ataupun mengadu antara Kapitalis vs Komunis pada Perang Dingin lalu. Penjajahan gaya baru adalah benturan antara Kapitalis vs Islam (militan) atau antarperadaban Barat vs Islam seperti yang dikatakan Samuel P Huntington.

Sejak Perang Dunia (PD l), PD II dan Perang Dingin dalam koridor penjajahan kuno atau kolonialisme purba ternyata belum berakhir. Konflik sektarian. Ia masih dianggap sebagai strategi tepat guna “mengaduk-aduk” negara target kolönialisme di beberapa negara, terutama negara berciri pluralistik, heterogen dan pernah memiliki sejarah kelam konflik ideologi seperti Indonesia.

Ya, apabila ciri utama penjahan purba itu menduduki lalu merampas sumber daya alam sebuah bangsa berpola konvensional ala militer yakni Bombardier – Kavaleri – Infanteri (BKI), maka penjajahan gaya baru berjalan senyap dengan pola nirmiliter. Isu – Tema – Skema (ITS). Tanpa letusan peluru tetapi mampu merampas kehidupan bangsa yang ditarget. Istilahnya “menyerang dari sisi internal,” langsung menukik pada sistem negara (peraturan dan per-UU-an).

Pada era ini, peran menggunakan militer dikurangi namun bukan berarti tak berfungsi, Indonesia contohnya, meski sistem (UU) yang ada telah dan cenderung membawa kekayaan bangsa ini lari keluar, tetapi dari sisi eksternal masih dikepung secara simetris. Faktanya, Ada sekitar 13-an pangkalan militer Amerika dan sekutu mengepung Indonesia. Artinya, pola militer dan nonmiliter nantinya bakal dimainkan secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung situasi.

Sejarah berulang. Tatkala era penjajahan purba, masyarakat dunia dan negara-negara yang terlibat disibukkan dalam rangka penyiapan dan antisipasi pola BKI (bombardier, kavaleri dan infanteri) demikian pula di era penjajahan gaya baru. Meski tanpa asap mesiu, publik global digaduhkan oleh pola ITS (Isu, tema dan skema)

Ditebar isu konflik antarmazhab, gaduh! Disebar isu flu burung, ramai! Demikian seterusnya. Segenap komponen bangsa di negara target kolonialisme, lazimnya dibuat lupa dan abai bahwa ujung kegaduhan tersebut adalah mencaplok geoekonomi yang intinya penguasaan pangan dan ketahanan energi.

“Berapa juta ton emas Papua telah digali, sedang tak sedikit warganya masih memakai koteka? Berapa juta barel minyak dan gas Indonesia disedot, sementara kita malah impor? tidak ketinggalan dibidang pangan/sembako misalnya, atau kelautan, kehutanan, pertanian, perkebunan, dll"

Inilah ironi bagi bangsa Indonesia. Negara yang katanya memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada namun justru mengimpor garam, sebuah negeri yang katanya agraris dan beriklim tropis dengan curah hujan tinggi tetapi impor ubi kayu dan jagung?

No comments:

Post a Comment