Wednesday, December 27, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian III); Bahaya Laten Pembentukan Israel Raya




Di dunia Maya (sosmed) hingga Sampai di dunia nyata (ruang publik) seperti warung kopi, masih menjadi pembicaraan hangat semua kalangan atas apa hal yang tersirat dari langkah Presiden Trump yang memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem?

kebijakan Donald Trump terkait polemik Jerusalem harus dibaca dari rencana besar pembentukan “Israel Raya” yang merupakan titik tolak faksi Zionis yang kuat di dalam pemerintahan Netanyahu saat ini, partai Likud, dan juga di dalam badan militer dan intelijen Israel.

Maka bukan tanpa alasan kalau Trump secara sepihak menegaskan dukungannya terhadap permukiman ilegal Israel (termasuk penentangannya terhadap Resolusi 2334 oleh Dewan Keamanan PBB, yang berkaitan dengan ilegalitas permukiman Israel di Tepi Barat).

Selain itu, dengan memindahkan Kedutaan Besar A.S. ke Yerusalem dan mengizinkan perluasan permukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan dan sekitarnya, presiden AS telah memberikan dukungan de facto terhadap proyek “Israel Raya”.

Ada kemungkinan desain ini tidak sepenuhnya merupakan Proyek Zionis untuk Timur Tengah, ini adalah bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dimaksudkan untuk memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi di seluruh wilayah.

“wilayah Negara Yahudi membentang, Dari Sungai Mesir sampai sungai Efrat. Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Mesir sampai ke Efrat, itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon.” Theodore Herzl, Pendiri Zionisme.

Jika dilihat dalam konteks saat ini, Rencana Zionis untuk Timur Tengah berkaitan erat dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.

Proyek “Israel Raya” bertujuan untuk melemahkan dan akhirnya membuat negara-negara Arab tetangga menjadi bagian dari proyek ekspansionis AS-Israel, dengan dukungan NATO dan Arab Saudi. Dalam kaitan ini, pendekatan yang dilakukan oleh Saudi-Israel berasal dari sudut pandang Netanyahu sebagai sarana untuk memperluas wilayah pengaruh Israel di Timur Tengah, termasuk juga dalam menghadapi Iran. Tak perlu diragukan lagi, proyek “Israel Raya” konsisten dengan desain kekaisaran Amerika.

“Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba.

Sejumlah Zionis menginginkan lebih atas tanah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.”

Proyek Zionis mendukung gerakan permukiman Yahudi. Secara lebih luas, ini melibatkan sebuah kebijakan untuk mengecualikan orang-orang Palestina dari negerinya hingga mengarah pada aneksasi terakhir, yaitu Tepi Barat dan Gaza ke Negara Israel.

Israel Raya akan menciptakan sejumlah negara proxy di sejumlah negara seperti Lebanon, Yordania, Suriah, Sinai, serta bagian Irak dan Arab Saudi.

Ahli strategi Israel memandang Irak sebagai tantangan strategis terbesar mereka dari negara Arab. Itulah sebabnya mengapa Irak dijadikan pusat untuk balkanisasi Timur Tengah dan Dunia Arab. Di Irak, ahli strategi Israel telah meminta pembagian Irak ke negara Kurdi dan dua negara Arab, satu untuk Muslim Syiah dan yang lainnya untuk Muslim Sunni. Langkah pertama untuk membangun ini adalah perang antara Irak dan Iran, yang memang sudah dalam skenario.

Pembentukan “Israel Raya” mensyaratkan terputusnya negara-negara Arab yang ada menjadi negara-negara kecil.

“Rencana tersebut beroperasi pada dua premis penting. Untuk bertahan hidup, Israel harus: 1) menjadi kekuatan regional imperial, dan 2) harus mempengaruhi pembagian seluruh wilayah menjadi negara-negara kecil dengan memcah belah semua negara Arab yang ada. 

Kemungkinan kecil disini kalau tergantung pada komposisi etnis atau sektarian masing-masing negara. Akibatnya, harapan Zionis adalah bahwa negara-negara berbasis sektarian menjadi satelit Israel dan, ironisnya, menjadi sumber legitimasi moralnya. Ini bukan ide baru, dan juga tidak muncul untuk pertama kalinya dalam pemikiran strategis Zionis. Memang, memecah-belah semua negara Arab menjadi unit-unit yang lebih kecil telah menjadi tema yang berulang.”

Dilihat dalam konteks ini, perang Suriah dan Irak merupakan bagian dari proses ekspansi teritorial Israel.

Dalam hal ini, yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kekalahan teroris yang disponsori AS (ISIS, Al Nusra) oleh Pasukan Suriah dengan dukungan Rusia, Iran dan Hizbullah merupakan kemunduran yang signifikan bagi Israel.

Tuesday, December 26, 2017

Perilaku "Gila" Para Elit Politik

" Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan " Bertrand Russel, Kekuasaan; Sebuah analisis sosial baru.

Menjelang pilkada serentak jilid III saat ini, mayoritas rakyat sudah mengetahui bahkan merasakan bahwa kegaduhan politik tidak lagi terkait dengan kepentingan rakyat, tetapi kegaduhan antarelit politik sendiri yang sifatnya hanya memikirkan diri dan kepentingan kelompoknya saja. 

Inilah atraksi politik. Ketika timbul ketidakpercayaan publik terhadap partai politik (parpol), dan/atau para elitnya, niscaya bakal mengimbas kepada pemerintah itu sendiri.

Implikasi politis itu bersifat pararel atau berbanding lurus. Artinya, melemahnya (peran) parpol terhadap rakyat berbanding implikasinya kepada pemerintah, khususnya dalam rangka meraih kepercayaan publik.

Keamanan dan kesejahteraan rakyat, keselamatan bangsa, keutuhan wilayah dan/atau kedaulatan negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan nasional sebagai cita dan tujuan nasional itu sendiri. Secara spesifik, ia menyangkut kedaulatan dan/atau ketahananan bidang pangan serta energi sebuah bangsa (Indonesia). Dimana hukumnya bagi segenap warga bangsa mutlak ‘satu suara’ jika menyangkut hal itu. Tak boleh beragam tafsir.

Pertanyaannya, jikalau kini rakyat disuguhi dengan kegaduhan yang dilakukan oleh para elit partai politik, “Adakah kegaduhan politik yang terjadi, berkaitan dengan rakyat atau kepentingan nasional"?

Ya, lagi-lagi perilaku gila para pelaku atau elit-elit itu sendiri yang selalu saling menebar statement namun ‘tidak nyambung’. Contohnya, ada arus dan angin besar yang harusnya diantisipasi malah dianggap sepoi-poi. Parahnya lagi, kesusahan rakyat justru hendak dieksploitasi dan/atau dipertontonkan ke publik global, dan lainnya.

Friday, December 22, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian II); 7 Hubungan Mesra Indonesia-Israel



Polemik pasca diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh presiden Amerika Serikat, Donal Trump menuai kritikan tajam oleh negara-negara Islam salah satunya Indonesia. Walaupun beberapa saat yang lalu, dalam sidang majelis umum PBB yang dihadiri 128 negara, AS dan Israel kalah telak atas Pengklaiman Yerusalem sebagai Ibukota Israel melalui voting.

Di Indonesia sendiri, yang mayoritas penduduknya beragama muslim tidak tinggal diam atas Pengklaiman sepihak yang dilakukan oleh Donald Trump. Sejumlah aksi penolakan dilakukan oleh penduduk Indonesia, dari pembakaran bendera Amerika-Israel sampai pemboikotan produk-produk dari kedua negara tersebut.

Jika dikaji lebih dalam, ada sedikit anekdot antara Isreal dan Indonesia sendiri. Hubungan mesra antara Indonesia dan Israel dari orde lama hingga era reformasi terus berlanjut.

Berikut 7 (tujuh) informasi penting yang menggambarkan latar belakang hubungan Israel- Indonesia yang perlu diketahui.

1. Tahun 1993 PM Israel Yitzhak Rabin bertemu Presiden Soeharto dengan difasilitasi Jendral TNI Benny Murdani.

2. Tahun 1994 Ketua Umum PB NU Abdulrrahman Wahid mengunjungi Israel.

3. Tahun 2000 Ditandatangani Kerjasama asuransi kredit ekspor antara PT Auransi Jassindo dengan Assure Limited Of Israel untuk memberi asuransi kredit ekspor baik kepada perusahaan Israel maupun Indonesia, di antaranya Bakrie Group

4. Perdagangan antara Indonesia-Israel saat ini bernilai sekitar USD 400-500 juta per tahun. Indonesia mengekspor komoditas dan mengimpor barang2 teknologi tinggi dari Isarel.

5. Tahun 2002 didirikan Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC) dan sudah memiliki 4,450 anggota serta telah membentuk business lobby. Pembentukan IIPAC dibantu seorang Indonesia keturunan Yahudi, Benyamin Ketang yang belajar di Israel dengan beasiswa dari Presiden Abdurahman Wahid, Benyamin pada saat itu adalah warga Nahdatul Ulama (NU) dan adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesoia (PMII).

6. Kunjungan Menteri Ekonomi Israel Naftalli Bennett ke Konperensi World Trade Organization (WTO) di BalitTahun 2013 dan telah membuat kesepakatan perdagangan dengan pejabat-pejabat Indonesia.

7. Kunjungan rahasia (secret visit) para pejabat Indonesia ke Knesset (Parlemen Israel) di tahun 2014. 

Itulah 7 (tujuh) informasi hubungan mesra antara Indonesia dan Isreal. Ada sedikit pertanyaan yang hadir saat ini, mengapa presiden Jokowi jika memang tidak terima dan seolah marah atas tindakan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sampai detik ini hanya sekedar mengecam kebijakan Amerika terkhusus Israel? Sedang, produk-produk dari Ameriak-Israel menyebar bagaikan rumput liar di bumi Pertiwi ini. . .

Tuesday, December 19, 2017

Polemik Jerusalem (Bagian I); Manuver Awal Donald Trump

Negara-negara yang bergabung di PBB sebagai Dewan Kehormatan

Gaduh di alam maya juga di dunia nyata. Dari media sosial hingga ke warung kopi. Kegaduhan itu berasal atas klaim Donald Trump terkait Jerusalem beberapa hari yang lalu. Ini mirip kasus Ahok dulu yang menista Al Maidah 51 di Jakarta, langkah Trump berpola sama dengan kasus Ahok cuma ia berskala global, yaitu menyentuh ‘ruang’ yang sangat disakralkan oleh umat Islam: “Sentimen keagamaan”. Akan tetapi kita tak boleh larut dalam bahasan sentimen dimaksud. Kenapa? Klaim itu cuma isu atau pemicu. Ibarat seseorang yang ingin memasuki rumah seseorang tapi hanya sebatas mengetuk pintu saja.

Terkait langkah Trump, ada dua asumsi, pertanyaannya, “Itu isu sebagai pola atau isu sebagai metode?” Jika sebagai metode maka sifatnya mengetes. Meski memancing reaksi publik, sekurang-kurangnya ia bisa mapping kekuatan baru. Mengetahui, Siapa lawan, dimana kawan atau mana abu-abu.

Kelompok Trump mungkin membaca, ada arus kencang di dunia Islam. Mereka ingin melihat, arus ini riil atau cuma framing media. Mereka menyelam dalam pusaran kebangkitan. Artinya, jika akhirnya Trump membatalkan klaim atas Jerusalem, boleh ditebak arus kebangkitan itu sungguh nyata lagi luar biasa. Bisa jadi, klaim itu dicabut kembali, ataupun isu Jerusalem terus dilanjutkan namun dibarengi upaya-upaya pecah belah agar arus melemah. Ada keuntungan dan kelemahan memang, di satu sisi, ia mengantongi pemetaan blok baru dan sekutu baru, di sisi lain meretakkan bagunan hegemoni Paman Sam selaku “polisi dunia” apabila isu dicabut.

Masih dalam bahasan isu sebagai metode, ada hal di luar prediksi. Ya. Bila blunder Ahok menimbukan arus kebangkitan kaum muslim di Indonesia, bisa jadi klaim Trump atas Jerusalam justru memunculkan gelombang kebangkitan Islam berskala global?

Sekarang kita bahas isu sebagai pola. Sebagai pola, isu sifatnya cuma awalan saja. Pintu pembuka. Setelah itu akan diluncurkan tema atau agenda, dan terakhir ditancapkan skema. 

Dalam isu sebagai pola, agenda berikutnya adalah langkah pasti. Artinya, entah isu yang ditebar menimbulkan protes keras atau penolakan disana-sini. Tak masalah. Publik tidak lagi disuguhi berita tetapi telah dicekoki agenda. Seperti peristiwa 9-11/WTC contohnya atau isu senjata pemusnah massal di Irak dulu. Disitu tampak jelas pagelaran “isu sebagai pola.” Kenapa? Sebab langkahnya pasti meski menuai protes disana-sini. Apabila (isu) 9-11 agendanya menyerbu Afghanistan secara militer, sedang isu senjata pemusnah massal agendanya menggempur Irak. Skema keduanya, ternyata sama yakni kavling-kavling pada wilayah ekonomi (ladang-ladang minyak dan gas) di Irak dan Afghanistan. Itulah isu sebagai pola dimana isu – tema/agenda – skema (ITS) berjalan pasti.

Pertanyaannya kini, “Apakah klaim Trump atas Jerusalem itu dianggap isu sebagai metode atau isu sebagai pola yang memiliki hidden agenda?”. . .

Wednesday, November 15, 2017

Tiga Cara Mempertahankan Hidup Dalam Perspektif Ekonomi


Dari jaman primitif hingga era modern saat ini
Dalam menjalani kehidupan untuk hidup
Dan selama manusia itu lebih mementingkan kebutuhan
Maka, Tatanan kehidupan Tidak bisa terlepas dari sebuah kompetisi ala Darwin

Dalam satu masyarakat primitif, perjuangan antara agresi dan kerjasama ditentukan oleh alam sekitarnya. Apabila kelaparan mengancam masyarakat setiap harinya, seperti halnya penghuni Dunia Ketiga semisal suku-suku yang ada di Afrika, maka kebutuhan untuk mempertahankan hidup memaksa masyarakat untuk bekerjasama dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya. Akan tetapi pada masyarakat modern saat ini tekanan nyata dari alam sekitar ini tidak ada. Sekiranya manusia itu tidak lagi bahu-membahu melaksanakan tugas yang secara langsung berkenaan dengan usaha mempertahankan hidupnya, apabila separuh atau lebih dari penduduk bumi tidak pernah menggarap tanah; memasuki lobang-lobang tambang, menebang pohon yang nantinya digunakan untuk membangun rumah dengan tangan mereka, atau pun membuat sebuah pabrik yang limbahnya dibuang ke alam hingga ekosistem mengalami kerusakan karena tercemar, maka kelangsungan hidup antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan alam, merupakan suatu kenyataan hidup yang menakjubkan.

Sungguh sangat luar biasa, bahwa eksistensi masyarakat itu tergantung pada sehelai rambut. Masyarakat modern terancam oleh seribu macam bahaya. Kalau sekiranya para petani gagal menghasilkan panen yang cukup jumlahnya; kalau sekiranya para nelayan memutuskan untuk menjadi buruh pabrik; kalau sekiranya ahli kesehatan lebih memilih menjadi pengusaha dan para guru atau tenaga pengajar di sekolah lebih memilih menjadi manager disebuah perusahaan. Pendek kata, jikalau sekiranya salah satu daripada seribu tugas masyarakat yang saling berkaitan itu tidak dilaksanakan dengan baik. Maka, setiap hari masyarakat akan menghadapi kemungkinan kehancuran bukan karena disebabkan oleh alam, akan tetapi sebagai akibat bahwa sifat manusia ternyata tidak dapat diramal sebelumnya.

Selama berabad-abad manusia hanya mempnyai tiga cara untuk menghadapi kehancuran dalam hidup untuk menjalani kehidupn. Pertama, Ia akan berusaha mempertahankan kontinuitasnya dengan membentuk atau mengorganisir masyarakat menurut tradisi, dengan menurunkan berbagai macam tugas yang diperlukan dari satu generasi ke generasi berikutnya menurut ada istiadat dan kebiasaan. Semisal, seorang anak dalam sebuah keluarga akan mengikuti jejak ayahnya dan pola ini akan terus dipertahankan. Di Mesir kuno tempo doloe, “setiap orang terikat oleh suatu kaidah agama untuk menggantikan pekerjaan ayahnya yang jika sekiranya ia menolak dianggap sebagai pencemaran tempat yang tersuci” Adam Smith. Sama halnya dengan India tempo doeloe, di mana kedudukan-kedudukan tertentu yang secara tradisional ditentukan oleh kasta. Memang di banyak negara di mana industri tidak berkembang, seseorang mengikuti jejak orang tuanya dalam menutupi kebutuhan hidupnya atau mencari nafkah.

Kedua, masyarakat dihadapkan dengan kondisi dalam hidup untuk menjalani kehidupan dikontrol oleh pemerintah yang otoriter untuk menjaga agar tugas-tugas yang dikerjakan oleh masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut dijalankan. Piramida-piramida di Mesir kuno tidak dibangun karena terpikir oleh seorang kontraktor yang berani untuk membangunnya, begitupulah di Indonesia pada masa kolonial, dimana masyarakat atau rakyat Indonesia atas perintah dari pejabat pemerintahan setempat yang berwajah pribumi tapi dikontrol oleh VOC memaksakan rakyat Indonesia bekerja sebagai petani dan buruh bukan semata untuk kelangsungan hidup rakyat tersebut akan tetapi hasil dari pekerjaan yang dilakukan hanya dan untuk VOC (organisasi dagang Belanda). Baik Mesir maupun Indonesia pasca Kolonial adalah negara yang mencerminkan gaya kepemimpinan otoriter, mereka menjaga kelangsungan (kekuasaan) mereka dengan surat perintah seorang penguasa yang dibarengi dengan sebuah ancaman hukuman yang berasal dari penguasa tertinggi tersebut.

Berabad-abad lamanya manusia telah menyelesaikan masalah kelangsungan hidup dalam menjalani kehidupan di muka bumi dengan menggunakan salah satu dari cara-cara penyelesaian diatas. Dan selama masalah dalam menjalani hidup ditangani dengan cara tradisi atau perintah. Maka, meniscayakan tidak akan hadir atau tidak adanya kesempatan bertumbuhnya suatu bidang studi khusus salah satunya Ilmu Ekonomi. Walaupun masayarakat dari zaman sejarah telah menunjukkan suatu pola yang berkaitan dengan ekonomi, walaupun dari zaman dahulu menggunakan besi, perunggu, perak hingga emas sebagai mata uang, walaupun masyarakat tempo doeloe dalam aktifitasnya mendistribusikan barang-barang mereka dengan pola komunal yang sifatnya paling sederhana atau dengan cara yang bersifat ritual yang sangat pelit, selama mereka itu diatur oleh adat istiadat atau perintah, mereka (masyarakat) dalam sebuah wilayah atau kerajaan/negara tidak akan memerlukan ahli-ahli ekonomi.

Ketiga, ini adalah cara dimana suatu masyarakat ingin mempertahankan kontinuitasnya dengan memberikan setiap orang berbuat apa yang cocok untuk dirinya, asal ia mematuhi suatu peraturan pokok. Disinilah juga para ahli ekonomi hadir dan menawarkan cara yang disebut “sistem pasar” untuk menyelesaikan masalah dalam mempertahankan hidup. Setiap orang akan berbuat suatu yang menurut dia akan memberikan keuntungan keuangan yang terbaik. Dalam sistem pasar, daya tarik ialah keuntungan, bukan sebuah dorongan dari sebuah tradisi atau cambuk penguasa yang mendorong masing-masing orang melaksanakan tugasnya. Namun, jikalau dalam masyarakat itu sendiri hanya mengejar suatu keuntungan semata dalam menjalani hidup maka akan timbul pertentangan dalam masyarakat itu sendiri. Semisal, lahirnya golongan yang diuntungkan dan yang tidak diuntungkan atau dengan kata lain, lahirnya suatu kelompok baru yang bernama kelompok yang memiliki (kaya) dan tidak memiliki (miskin).

Nah, dari tiga cara dalam mempertahankan hidup dalam menjalani kehidupan, pertanyaan sederhana. Berada dimanakah kita saat ini?

Wednesday, November 8, 2017

Dalang Di Balik Eksploitasi SDA dan SDM Dunia Ketiga

Tenaga kerja ada sebelum dan tidak terikat pada modal.
Modal merupakan hasil dari tenaga kerja, dan tidak akan pernah ada apabila tenaga kerja tidak ada.
Buruh lebih penting daripada modal dan harus mendapatkan perhatian yang lebih besar. Abraham Lincoln

Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, gejala seperti yang sedang dialami oleh bangsa kita juga pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain. Karena faktor-faktor yang tidak selalu sama, dalam kurun waktu tertentu yang bisa panjang atau pendek, sebuah bangsa dapat mengalami kemerosotan dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan. Gejala seperti ini disebut malaise atau melt down. Karena faktor-faktor yang juga tidak sama buat setiap bangsa, banyak bangsa yang mencapai titik kemerosotan yang terendah atau titik balik, yang disebut pencerahan atau aufklarung. Titik balik ini diikuti dengan awal masa jaya dalam segala bidang, yang disebut rennaisance.

Kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut sangat banyak aspek, karena praktis menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi memegang peran penting dalam membawa keseluruhan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan.

Kehidupan ekonomi suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya yang bersifat non materi. Keduanya atau bahkan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saling berkaitan secara interdependen. Salah satu faktor yang dapat merusak kehidupan ekonomi suatu bangsa secara dahsyat ialah pengaruh interaksi dengan bangsa-bangsa lain, atau kekuatan-kekuatan yang ada di luar wilayah suatu negara tertentu seperti problem atau kasus yang terjadi di Indonesia.

Indonesia tempo doeloe mengalami penjajahan berabad-abad lamanya oleh Belanda yang diawali dengan “penjajahan” oleh sebuah perusahaan swasta, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie(VOC). Dimana negara di eksploitasi baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (upah rendah) yang menyebabkan VOC sangat kaya, bagaikan sebuah negara yang mempunyai angkatan bersenjata sendiri yang memaksakan kehendaknya pada para penguasa Nusantara (Indonesia). Karena korupsi yang terjadi dalam tubuh VOC, akhirnya bangkrut, dan penjajahan atas wilayah Nederlands Indie diambil alih oleh pemerintah Belanda.

Awal abad 20 banyak sekali negara-negara yang terjajah berhasil mengusir negara-negara penjajah, menjadi negara merdeka. Salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang merebutnya kemerdekaan di tahun 1945 adalah Indonesia. Namun sejak dekade itu pula, langsung saja muncul benih-benih penguasaan kebijakan dan kekayaan alam negara-negara yang lemah, terbelakang dan tidak berpendidikan. Benih-benih dari kekuatan-kekuatan tersebut sekarang telah menjadi sebuah kekuatan raksasa yang dahsyat.

Bentuknya seperti VOC dahulu, yaitu perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional. Mereka adalah business corporations. Maka era yang sekarang merajalela disebut era corporatocracy. Para ahli Amerika Serikat dan Eropa Barat sendiri yang sangat banyak menggambarkan kekuatan dan kejahatan mereka terhadap bangsa-bangsa lebih lemah yang dijadikan mangsanya dalam penyedotan sumber-sumber daya apa saja, terutama sumber daya mineral.

Para ahli Amerika Serikat dan Eropa semisal Joseph Stiglitz, John Pilger, Jeffrey Winters, Bradley Simpson, John Perkins, dan 12 perusak ekonomi lainya telah mengakui kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh para corporation. Kesemuanya dituangkan dalam buku paling mutakhir (2006) yang dikumpulkan dan di-edit oleh Steven Hiatt dengan kata pengantar oleh John Perkins. Judul bukunya “A Game as Old as Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption”.

Dari kesemuanya ini dapat kita baca bahwa di zaman setelah tidak ada negara jajahan lagi (kolonial), perusahaan-perusahaan raksasa yang transnasional itu bagaikan VOC tempo doeloe. Tetapi sekarang mereka tidak perlu melakukan penjajahan secara politik dan militer untuk menghisap kekayaan dari negara-negara dan bangsa-bangsa mangsanya. Sebab, cara-cara demikian sangat mahal dan dapatnya tidak seberapa dibandingkan dengan cara-cara yang mereka lakukan sekarang ini.

Cara-cara mereka sekarang hanya perlu memelihara elit bangsa-bangsa mangsa, dimana para elit bangsa walaupun secara politik dan secara formal berada di negara merdeka dan berdaulat. Akan tetapi, para elit bangsa dan anteknya-anteknya yang secara material maupun secara konsepsional didukung oleh corporatocracy global, bahkan lembaga internasional semisal IMF, WB, Bank Asia dll tidak terlepepas dari pengaruhnya. Hasilnya, bisa di pastikan, penghisapan kekayaan alam serta tenaga manusia menjadi sangat dahsyat dan menjadi harga mutlak.

Saturday, November 4, 2017

World Bank (Bank Dunia) "Empat Langkah Memperbudak Suatu Bangsa"

Lembaga ini tidak memiliki prinsip selain ketamakan dan tujuannya itu tidak akan berubah
selain hanya menarik semua kekayaan, kekuasaan dan memperbesar pengaruhnya terhadap negara"

William Findlay, Politikus Amerika Serikat


Para ekonom senantiasa membohongi publik bahwa resesi dan depresi adalah bagian alami dari siklus bisnis. Namun, kenyataan yang sebenarnya tidaklah seperti itu. Resesi dan depresi selalu terjadi bila Bank Sentral memanipulasi jumlah uang yang beredar, yang tujuan akhirnya adalah memastikan semakin banyak kekayaan yang ditransfer dari masyarakat ke tangan mereka. Bank Sentral sendiri merupakan metamorfosis dari pedagang uang di zaman dahulu.

Profesor Joseph Stiglitz, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, dan mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonom Presiden Clinton, Menjadi terkenal karena "Strategi Empat Langkah" yang diciptakannya bagi Bank Dunia, untuk memperbudak bangsa melalui para bankir.

Adapun strategi empat langkah tersebut antara lain: (1) Privatisasi, privatisasi dilakukan dengan memberikan tawaran kepada para pemimpin nasional yang nantinya akan diberi komisi sebesar 10% yang ada di rekening rahasia bank Swiss sebagai bentuk pertukaran uang pemangkasan beberapa miliar dolar dari harga penjualan aset nasional. Suap dan Korupsi, murni dan sederhana; (2) Liberalisasi Pasar Modal, langkah ini dilakukan untuk membatalkan hukum pajak uang yang melebihi perbatasannya. Joseph E Stiglitz, The World Bank Research Observer, menyebutnya siklus "Uang Panas". Awalnya, kas masuk dari luar negeri untuk berspekulasi di real state dan mata uang. Maka ketika perekonomian di negara itu mulai terlihat menjanjikan, uang dari luar negeri ini akan langsung ditarik keluar negeri lagi, sehingga menyebabkan ekonomi runtuh. Bangsa dalam keadaan tersebut akan membutuhkan bantuan IMF. Lalu, IMF akan menyediakan dana tersebut dengan syarat bahwa mereka diperbolehkan menaikkan suku bunga di mana saja dari 30% menjadi 80%. Hal ini terjadi di Indonesia dan Brasil, Juga di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin lainnya. Suku bunga yang lebih tinggi berakibat negara menjadi miskin, menghancurkan nilai properti, membantai industri produksi, dan mengerinkan keuangan nasional; (3) Menentukan harga berdasarkan pasar. Di Sinilah harga makanan, air, gas, dll dinaikkan yang menyebabkan kerusuhan sosial di negara masing,masing, sekarang lebih dikenal sebagai "Kerusuhan IMF". Kerusuhan ini menyebabkan pemodal menarik modal mereka dan pemerintah menjadi bangkrut. Hal ini menguntungkan perusahaan-perusahaan asing karena aset yang tersisa dapat dibeli dengan harga terendah; (4) Sistem Perdagangan Bebas. Di sinilah perusahaan-perusahaan internasional meledak di kawasan Asia, Amerika Latin, Afrika, sementara pada saat yang sama Eropa dan Amerika Serikat membarikade pasar mereka sendiri terhadap produk pertanian Dunia Ketiga. Mereka juga mengenakan tarif yang melambung tinggi bagi negara-negara tersebut sehingga mereka harus membayar mahal obat-obatan bermerek yang menyebabkan lonjakan angka kematian dan penyebaran penyakit.

Ada banyak pecundang dalam sistem ini, dan pemenang atau yang merasakan dampak positif atau keuntungan hanyalah BANKIR dan para Pemimpin atau orang yang berpengaruh di negara target. Bahkan IMF dan Bank Dunia telah membuat perjanjian listrik, air, telepon, dan gas dijalankan dengan sistem yang mengkondisikan sebagai pinjaman untuk setiap negara berkembang. Nilainya diperkirakan setara dengan pendapatan perkapita negara di Dunia Ketiga.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Jika strategi "empat langkah" yang dilakukan World Bank dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Maka, jawabannya sangat sederhana, tidak banyak yang menyangka jika apa yang terjadi di Indonesia semisal penjualan aset negara (BUMN dan Aneka SDA) dari dulu hingga saat ini merupakan fenomena yang telah didisain dengan sangat rapi, dan hanya para stakeholder kunci (Presiden dan Mentrinya, DPR, MPR dll) mengetahui hal tersebut.

Friday, November 3, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian Akhir), Dari Samuel P. Huntington "Islam Adalah Musuh Yang Nyata"

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka.
Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”.
dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
QS Al-Baqarah, 120


Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku " Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia" menyebut: Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja. Dari 32-an konflik-konflik di dunia sekitar tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan mengapa konflik menghantam. 
Mengapa demikian? Inilah yang memang tengah dijalankan. Opini didirikan, asumsi-asumsi mulai ditebarkan bahwa skenario itu seakan-akan itu sebuah kebenaran. Dunia pun termangu dalam diam! Ujung semuanya, Huntington merekomendasi perlu adanya "serangan dini" terhadap ancaman kaum (militan) Islam. Doktrin negara yang intinya adalah: dengan pertimbangan pembelaan diri dan cukup melalui asumsi lalu kemudian suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain, istilah sederhananya, pukul dahulu sebelum dipukul. Ide tersebut begitu kental mewarnai politik luar negeri Pemerintah Amerika Serikat terutama era kepemimpinan George W. Bush.

Awal Juni tahun 2002, metode serangan dini resmi menjadi doktrin baru AS. Meskipun hal itu sempat menimbulkan kontroversi baik dari dalam maupun luar negeri, oleh karena ada situasi pembanding. Padahal Amerika Serikat sewaktu Perang Dingin melawan Uni Soviet (kini Rusia) menggunakan metode penangkisan dan penangkalan, mengapa menghadapi teroris, musuh baru yang masih samar, menggunakan doktrin serangan dini?

Amerika Serikat sebagai negara superpower tak perduli akan hal itu. Ia jalan terus dengan para sekutu kendati invasi militernya pada beberapa wilayah banyak disebut ilegal. Afghanistan dan Iraq dahulu merupakan “korban” implementasi pertama doktrin kontroversial, akibat invasi militer AS dan sekutunya tidak lagi bisa ditekel, tak mampu dijegal.

Berbagai opini menyebut, doktrin itu lahir akibat “phobia” Barat terhadap Islam. Phobia ialah ketakutan berlebih tanpa dasar, tanpa jelas alasan. Maka melalui isu beragam, AS pun menebar sentimen keagamaan, dan tragedi 11 September 2001 merupakan salah satu strategi guna meraih dukungan internasional dalam rangka mengobarkan ‘perang melawan teroris’. Itulah propaganda emosional. Tatkala sentimen bergeser (atau sengaja digeser) maknanya bahwa teroris identik dengan Islam (militan). Memang disitulah tersirat sebuah tujuan dan saat ini masih terjadi di beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam!

Dalam ulasannya, Huntington menyebut faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain: (1) tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kalangan kaum muda muslim; (2) kebangkitan Islam memberi keyakinan kaumnya akan tinggi dan keistimewaan nilai peradaban Islam dibanding dengan Barat; (3) di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan selalu turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim; (4) Porak-porandanya Uni Soviet, telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dengan Barat merasa sebagai ancaman; (5) meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Pada buku " Siapa kita? Tantangan terhadap Identitas Nasional Amerika", Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa sesungguhnya musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel kata ‘militan’ sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan arti sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Islam benar-benar menggantikan posisi Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Ini adalah efek domino dari jatuhnya ekonomi AS yang menyebabkan krisis global dimana-mana, membuka “mata dunia”, bahwa Kapitalisme yang mendewakan demokrasi liberal ternyata bukan akhir evolusi suatu ideologi sebagaimana asumsi Francis Fukuyama. Kemenangan Kapitalisme atas ideologi Komunis saat Perang Dingin, ternyata tidak membawanya pada puncak hegemoni. Nasibnya tidak berbeda dengan ideologi-ideologi lain, tersobek dan berserak seperti selendang kain. Tesis Fukuyama pun gugur tidak berguna lagi. Teorinya bisu dan mati. Dunia bertanya, peradaban dari ideologi mana lagi yang unggul lagi lestari?

Kemunculan Rusia dan China dalam kiprah politik global saat ini menarik perhatian dunia. Masyarakat global seperti melihat bangkitnya komunis via kedua negara adidaya tersebut. Apakah setelah bangkrutnya kapitalisme, banyak negara bakal berkiblat kepada (komunisme) Rusia dan China? Tapi rupa-rupanya banyak kelompok dan negara yang trauma. Kapok. Entah sebab apa.

Persoalannya ialah, peradaban mana yang bisa menjadi teladan bagi dunia baru, setelah melihat berbagai ideologi yang tumbuh dan berkembang di muka bumi bertumbangan satu demi satu?

Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “benih”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Benturan Antar Peradaban, Huntington.

" Sesungguhnya Islam itu bukan ideologi, Islam adalah agama langit. Jika ideologi ialah hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya, sedang Islam ialah tuntunan hidup manusia menurut aturan dan petunjuk-Nya"

Manakala kini berkembang banyak aliran dalam tubuh Islam dan tiap aliran mengklaim dirinya sebagai kelompok paling benar, itu bukanlah hal prinsip di internal Islam karena cuma masalah latar belakang, wacana dan pendidikan.

Butuh waktu guna mentata ulang kembali. Memang dampak yang ditimbulkan seakan-akan umat Muslim terkotak-kotak. Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memecah-belah Islam dari sisi internal, dilakukan oleh suatu negara, atau kaum maupun golongan tertentu yang menganggap Islam sebagai ancaman. Sebuah retorika menyeruak pada benak ini: Ingatkah terhadap strategi belah bambu dan taktik adu domba yang dijalankan pada banyak kalangan Islam dan dipraktekkan di negara-negara berkembang?

Adanya cap atau merek Islam radikal, liberal, modern, Islam fundamental, tradisional, abangan dan seterusnya, sejatinya adalah stigma buatan yang hendak membentur-benturkan sesama muslim tanpa umat Islam itu sendiri menyadarinya. Itulah hakiki yang terjadi di berbagai negara. Walaupun tata cara dan format adu domba terlihat tidak sama di setiap wilayah, akan tetapi hakikinya serupa. Hanya berbeda nama beda nuansa.

Inilah kesalahan terbesar pakar politik AS Huntington. Mengapa demikian, karena dari sisi terminologi saja, Barat adalah arah mata angin, dimana bila itu dihadapkan selayaknya dengan Timur, Utara atau Selatan, dan bukannya dengan Islam. Itulah yang terjadi. Asumsi awalnya salah, menghadirkan implementasi yang rancu dan salah kaprah. Begitulah jadinya. Dengan demikian, konsep Huntington tentang benturan peradaban seperti menepuk air di dulang, memercik ke muka “sang tuan”, oleh sebab sesungguhnya tidak ada benturan peradaban, kecuali benturan yang diciptakan sepihak, dan diada-adakan!

Dan sejatinya, tidak ada ideologi lestari di muka bumi karena semua bisa berubah menurut waktu. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Setiap ideologi mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing seperti yang dikatakan Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Sebagai contoh, ideologi X dianggap baik di negara A belum tentu cocok diterapkan pada negara B, demikian sebaliknya. Atau suatu doktrin Y cocok untuk era tempo doeloe tetapi menjadi basi pada masa kini, dan sebagainya. Oleh karena itu upaya pengglobalan nilai dan peradaban oleh suatu negara atau kaum tertentu di dunia adalah hal mustahil. Tak masuk akal. Demikianlah adanya.

Tuesday, October 31, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian IV), Memahami Arti Terorisme



Sangat sulit untuk mendefinisakan terorisme dewasa ini, bahkan PBB selaku organisasi internasional yang banyak menaungi berbagai negara-negara di dunia, selama lebih dari 70 tahun belum rampung untuk mendefinisikan kata tersebut. Hal ini menunjukan betapa politisnya pendefinisian terorisme di PBB karena berbagai macam kepentingan.

Noam Chomsky, seorang intelektual anarkis, berkomenter mengenai istilah terorisme yang menurutnya memiliki sifat yang amat subjektif. Bagi Chomsky, terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan, atau bahkan pahlawan bagi pihak lain. 

Jeckson dan Sorensen, mendefinisikan terorisme sebagai tindakan yang melanggar hukum atau tindakan kekerasan yang mengancam peradaban, seringkali untuk mencapai tujuan politis, agama, atau tujuan-tujuan lain yang serupa. Sedangkan Kent Lyne Oots, mendefinisikan terorisme sebagai : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonimin atau material; (2) sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain; (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi mencari publisitas; (4) tindakan kriminal bertujuan politis; (5) kekerasan bermotif politis; dan (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis. Namun demikian, kurang afdol jika kita hanya memuat definisnya saja tanpa menguraikan sejarah terorisme itu sendiri.

Terorisme bukanlah fenomena modern, terorisme telah ada jauh sebelum peristiwa 11 Sepetember di New York. Terorisme yang terrekam oleh sejarah sejak abad pertama masehi. Pada masa itu orang-orang Zelot, kaum Yahudi yang menentang pendudukan Roma atas Palestina membunuh orang-orang Roma di siang hari di depan umum dalam rangka menakut-nakuti pemimpin Romawi di wilayah tersebut. 

Dalam dunia Muslim terorisme pertama kali dipraktekkan oleh kelompok yang disebut Assassins, atau “pemakan ganja,” Muslim militan abad kesebelas yang membunuh orang-orang yang menolak mengadopsi Islam versi mereka. 

Praktek terorisme terbesar dilakukan oleh bangsa Eropa saat menginvasi dunia-dunia baru dan merampok sumber daya di dalamnya. Ratusan juta manusia terbunuh karena keserakahan tersebut, terutama di benua Amerika dimana banyak suku asli di sana yang terbunuh karena invasi Eropa.

Pada abad kesembilan belas, kaum anarkis yang menentang bentuk pemerintahan apapun, banyak menggunakan praktek-praktek terorisme, meskipun banyak juga kaum anarkis yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara damai. Beberapa pemimpin dunia menjadi korban pembunuhan yang disebut “propaganda perbuatan” oleh kaum anarkis, antara tahun 1881-1901, termasuk Presiden Amerika Serikat William H. McKinley (1843-1901), Presiden Prancis Marie-Francois Sadi Carnot (1837-1894), dan Raja Italia Umberto I (1844-1900). Pembunuhan-pembunuhan ini dipengaruhi oleh sebuah kelompok Rusia bernama “Kehendak Rakyat,” yang mencoba tetapi gagal untuk membunuh Tsar Alexander Ulyanov (1866-1887), kakak Vlademir Lenin Ilich.

Lanin (1870-1924), pemimpin revolusi Rusia, menggunakan terorisme sendiri setelah Revolusi Bolshevik Rusia tahun 1917 dan bertanggungjawab untuk melancarkan Teror Merah melawan musuh-musuhnya pada musim panas 1918. Dipimpin oleh Felix Dzerzhinsky (1877-1926), pendiri polisi rahasia Bolshevik, Cheka, metode-metode teroris digunakan terhadap semua kelas sosial, terutama terhadap petani yang menolak menyerahkan padi mereka kepada pemerintah Soviet. Tetapi penggunaan teror negara oleh Lenin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dipraktekan oleh penggantinya, Josef Stalin (1878-1953), yang selama upaya Soviet melakukan kolektivisasi peternakan dan industrialisasi masyarakat telah membunuh jutaan warga Soviet. 

Pada 1934, Gulag (sistem kamp penjara untuk tahanan politik Soviet) menahan jutaan orang yang dituduh melakuakan segala macam kejahatan yang dibuat-buat. Gulag, yang kemudian hari menjadi terkenal melalui novel Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, terdiri atas kamp-kamp kerja yang membentang melintasi Siberia dan jauh di Soviet utara dimana lebih dari satu juta orang meninggal.

Praktek terorisme juga dilakukan oleh rezim Mao Zedong, Frank Dikotter, seorang sejarawan Hong Kong mengatakan bahwa saat Mao menerapkan “Great Leap,” atau lompatan besar di tahun 1958-1962 untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Cina dari Dunia Barat, sedikitnya 45 juta penduduk Cina telah terbunuh karena dipaksa bekerja, kelaparan atau dipukul dalam kurun waktu tersebut (empat tahun). Hal ini merupakan pembantaian terbesar ketiga pada abad ke-20 setelah Gulag di Soviet dan Holocaust.

Tak ketinggalan pemimpin bangsa kita sendiripun melakukan praktek keji tersebut, saat Indonesia dibawa pimpinan Soeharto dibantu oleh kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang menyediakan daftar orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia. Peristiwa ini terjadi tatkala kelopok komunis Indonesia gagal dalam melancarkan aksi kudeta pada 30 September 1965 yang kemudian diikuti dengan lengsernya Soekarno dari punjak kekuasaan dengan tuduhan mendalangi aksi kudeta tersebut. Kemudian kekuasaan Indonesia dipegang oleh Soeharto atas pilihan MPRS yang berisi orang-orang pro Soeharto setelah pemecatan para Soekarnois di MPRS. Jumlah pasti korban genosida terbesar abad ke 20 di Indonesia tersebut sangat sulit untuk diketahui, hanya sedikit akademisi dan wartawan Barat di Indonesia pada saat itu. Sebelum pembantaian usai, angkatan bersenjata Indonesia memperkirakan sekitar 78.500 orang telah meninggal, sedangkan menurut orang-orang komunis, diperkirakan 2 juta orang meninggal. Di kemudian hari angkatan bersenjata memperkirakan 1 juta orang telah dibantai. Sebagian besar para sejarawan sepakat bahwa sedikitnya setengah juta orang dibantai dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, dan digorok oleh kelompok militer dan warga sipil yang sampai saat ini masih jadi bahan penelitian bagi pihak berwajib.

Dan sekarang, praktek terorisme banyak juga dilakukan oleh negara seperti Israel yang banyak membunuh warga Palestina, Myanmar dengan etnis Rohingyanya, Suriah dibawa pimpinan Bashar Al Assad yang banyak membantai warganya sendiri, dan negara-negara lianya. Hal tersebut menunjukan bahwa kecenderungan terorisme bukan hanya dipraktekan oleh segolongan kaum radikal, namun juga oleh negara atau yang lazim disebut dengan “state-sponsored terrorism”. . . .

Friday, October 27, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian III), Nihilisme

War On Teror

Tahun 1848-an, Karl Marx menerbitkan “The Communist Manifesto”. Akan tetapi pada saat yang sama, Karl Ritter dari Universitas Frankfurt membuat anti-tesis bagi Komunisme. Dan ujung olah pikir Ritter dijadikan basis bagi Freidrich Nietzsche menerbitkan “Nietzscheanisme” atau Nihilisme. Akhirnya Nihilisme ditingkatkan lagi menjadi Fasisme, dan digunakan untuk menjalankan Perang Dunia II. 

Disinyalir berbagai kalangan, Nihilisme merupakan embrio “paham teroris” yang kini marak. Sesuai surat Pike kepada Mazzini yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa akan dilepas para nihilis dan atheis, lalu memprovokasi sebuah katalis besar sosial yang akibatnya ditunjukkan kepada semua negara! 

Nihilisme dijejalkan sebagai dogma (keyakinan yang ditelan tanpa kritik) kepada individu, kaum atau golongan melalui penyimpangan “Ajaran Jihad” seperti radikalisme, pencarian dana via merampok, bom-bom bunuh diri dan lainnya atas nama agama. Ya, lagi-lagi agama dikambing-hitamkan serta dilembagakan guna menampung ajaran palsu dan doktrin-doktrin sesat!

Nihilisme ialah pokok ajaran Friedrich Nietzsche. Inti Nihilisme menyebut bahwa keberadaan manusia di dunia tidak memiliki tujuan. Nihilis memiliki beberapa pandangan: (1) tak ada bukti mendukung keberadaan pencipta, (2) moral sejati tidak diketahui, dan etika sekuler adalah tidak mungkin dan lain-lain. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti dan tidak ada tindakan lebih baik dari pada yang lain.

Bahwa Marx, Ritter dan Neitzsche sesungguhnya bekerja atas instruksi Dinasti Rothschild untuk menciptakan aneka dan ragam gagasan. Tujuannya agar dunia rentan perpecahan melalui perbedaan ideologi. Maka ibarat setumpuk jerami kering, tinggal memantik dengan satu percikan, api pun pasti berkobar. 

Itulah keinginannya. Semakin meluas konflik dan pertengkaran, semakin mudah orang dipersenjatai, kemudian didorong untuk saling membunuh mengatas-namakan kebenaran ideologi yang dipujanya. . . .

Thursday, October 26, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian II), Sekilas Gerakan Zionisme

 Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya!
Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat 
dan dangkal saja. Samuel P, Benturan Antar Peradaban

​Banyak literatur menerangkan, Perang Dunia I (PD I) bermula dari persaingan politik dan ekonomi antara kelompok Triple Alliance (Jerman, Austria-Hungary dan Italia) versus Triple Entente (Perancis, Inggris dan Rusia). Setelah terbunuhnya Franz Ferdinand, putra mahkota Kekaisaran Austria yang juga pangeran di Hungary dan Bohemia oleh seorang Nasionalis Serbia, maka terjadilah perang. Peristiwa di atas, dianggap puncak dari Aksi Nasionalis sekaligus pemicu peperangan antara Serbia melawan Austria-Hongaria.

Sedang PD II (1939-1945) diawali pertentangan paham antara liberal dan totaliter, karena usai PD I bermunculan kelompok negara fasisme (baru), sehingga muncul perlombaan senjata, atau ingin membalas kekalahan perang terdahulu dan lainnya.

Serbuan Jerman atas Polandia merebut Danzig di Eropa (1/9/1939) dianggap salah satu letupan, kendati pokok penyulut menurut berbagai catatan adalah serangan Jepang atas Pearl Harbour (7/12/1941), pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Hawai. Itulah kausalitas serta pemantik timbulnya PD I dan II bila ditinjau dari perspektif “apa yang terjadi”.

Ketika mencoba insight berbekal asumsi, bahwa setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan, ternyata dijumpai hal-hal lain dari pada yang telah ditulis. Mencoba mengurai Perang Dunia dari sisi “mengapa terjadi”. Istilah kerennya, menyibak hal tersirat dari yang tersurat. Inilah uraian singkatnya.

Adalah tokoh Illuminati Internasional, Albert Pike, Jenderal AS di Era 1871-an merampungkan cetak biru tentang “tiga” Perang Dunia yang bakal digelar di masa depan. Entah siapa memerintah, apa motivasi, darimana memulai, bagaimana mengakhiri perang, dan lainnya tidak ada kepustakaan atau referensi yang menjawab dengan pasti. Tapi semoga celoteh singkat ini mampu menguak meski hanya sedikit.

Tujuan PD I (1914 -1918) adalah menghancurkan hegemoni Rusia. Ini sesuai janji Nathan Rothschild tahun 1815-an. Dalam beberapa literatur dikatakan, ketika Kongres Vienna (1814) digelar, ide Rothschild membentuk Pemerintahan Dunia ditolak oleh Tsar Alexander I, bahkan ia tak diizinkan mendirikan bank sentral di Rusia. Sudah barang tentu, sikap Tsar menghalangi cita-cita mendirikan Satu Pemerintahan Global di muka bumi. Dan ini membuatnya sangat geram. Kemudian ia bersumpah, akan menghancurkan Tsar dan keluarga beserta anak cucunya!

Satu abad kemudian, janji itu dipenuhi keturunan Rothschild melalui Revolusi Bolsheviks. Rancangan PD I ini, selain bermaksud melengserkan Tsar, lalu mengganti dengan komunis, juga kelak ideologi tersebut dipergunakan untuk menyerang agama-agama di dunia terutama Kristiani. Adapun moment lain, seperti perbedaan struktur kekaisaran antara Inggris dan Jerman, dijadikan bumbu tambahan menyalakan perang.

Cetak biru PD II didasari kontroversi antara Fasisme dan Zionisme melalui pembantaian orang Yahudi (holocaust) guna meluapkan kebencian orang terhadap Nazi Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Selain dirancang dalam rangka menghantam Fasisme, kemudian meningkatkan pengaruh politik Zionis, tujuan lain PD II adalah memperkuat pengaruh Komunisme pada tingkat tertentu supaya mampu menandingi hegemoni Kristiani. Tatkala beredar rumor bahwa Hitler cuma orang (wayang) suruhan, karena konon masih ada dalang dan sang penghajat di belakang layar atas peristiwa holocaust!

Berbagai kalangan menyebut, bahwa Perang Dingin (1941-1991) adalah PD III. Tetapi jika merujuk cetak birunya Pike, ternyata bukan. Perang Dingin sekedar jab-jab ringan atau warning menuju Perang Dunia, meski efeknya Uni Sovyet remuk menjadi beberapa negara yang merdeka. Menurutnya, rumusan PD III ialah membentuk opini dan menggalang kebencian masyarakat internasional terhadap Islam, agar berbenturan melawan kekuatan Zionis (Kapitalis). Disebutkan, kelak bila peperangan berkobar, negara-negara lain dipaksa ikut dan diramalkan bakal mengakibatkan hancurnya mental, fisik, spiritual dan ekonomi. Namun pola, jenis dan methode perang tidak dirinci oleh Pike.

Berikut ini adalah surat Pike kepada Guiseppe Mazzini, pemimpin revolusi Italia. Konon karena pengaruhnya, ia bergabung di Illuminati hingga akhir hayatnya. Suratnya kini tersimpan di British Museum, Inggris. Inilah isi materinya:


“Kita perlu melepaskan para nihilis dan atheis. Kita akan memprovokasi sebuah katalis besar sosial yang mana akibatnya akan ditunjukkan dengan jelas kepada semua negara. Mereka akan merasakan efek absolut dari atheisme, asal muasal dari penderitaan dan kerusuhan berdarah terbesar. Setelah itu, orang-orang akan terpaksa untuk melindungi diri mereka terhadap kelompok minoritas dari revolusioner dunia dan akan mulai membinasakan para penghancur peradaban. Para Kristiani yang saat itu akan menghadapi hilangnya semangat, kepemimpinan dan timbul kekhawatiran terhadap keyakinan. Mereka akan kehilangan arah kepada siapa mereka harus percaya, dan akan mendapatkan cahaya sejati lewat manifestasi universal dari doktrin suci Lucifer. Sebuah manifestasi yang mana akan membawa sebuah pergerakan dimana Kristiani dan Atheisme, kedua-duanya akan ditaklukkan dan dihilangkan pada saat yang sama”. . . .

Wednesday, October 25, 2017

Islam Agama Teroris (Bagian I), Atas Nama Keamanan!

Terorisme bagi satu pihak sama dengan gerakan pembebasan atau bahkan pahlawan bagi pihak lain.
Chomsky, Hegemoni or Survival

Awal mula terorisme banyak menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Pemerintah AS bereaksi cepat dengan menerapkan kebijakan “war on terroris”, ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat dunia terkontruksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama terbesar mereka. Sayangnya, kontruksi musuh bersama tersebut diikuti pula dengan pengkontruksian masyarakat tentang kaitanya salah satu agama yang dekat dengan terorisme sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. 

Agama yang dimaksud itu ialah Islam, pengkondisian Islam sebagi agama yang erat kaitanya dengan terorisme dikarenakan banyak peraktek-praktek pengeboman dilakukan oleh muslim ditambah dengan peran dari media yang seakan-akan mempercepat pengkondisian tersebut.

Lalu pertanyaanya apakah benar “terorisme” sebagai musuh bersama umat manusia? Mungkin banyak yang berpendapat bahwa pertanyaan tersebut tak membutukan jawaban dikerenakan sudah secara gambalang terlihat bahwa terorisme merupakan musuh bersama bagi umat manusia. Namun harus kita ketahui bersama penjelaskan dan alasan secara jelas mengapa ada pengkondisian bahwa terorisme merupakan musuh bersama.

Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet sebagai rival negara demokrasi-kapitalis Amerika Serikat di awal dekade 90-an terjadi perubahan konsep keamanan dalam Hubungan Internasional. 

Dahulu keamanan dipahaimi hanya berbicara kalkulasi materi yang sangat bersifat tradisional yang militeristik. Konsep keamanan tersebut menekankan titik fokus pada negara, artinya negaralah sebagai objek yang perluh dilindungi dari ancaman. Namun semenjak berakhirnya Perang Dingin, muncul konsep keamanan baru, seperti “human security”, atau kemanan terhadap manusia. Konsep keamanan ini menitikberatkan pada perlindungan terhadap eksistensi manusia dengan dasar bahwa manusialah yang sebenarnya menjalankan negara dan juga manusialah yang menjadi alasan mengapa negara ada, yaitu untuk melindungi manusia dari anarki alamiah. Dari landasan tersebut maka masuklah terorisme sebagi musuh bersama umat manusia karena tindakan terorisme sendiri mengancam eksistensi manusia dengan melihat sasaran mereka ialah manusia.

Upaya pengkondisian besar-besaran menjadikan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia dilakuakan oleh AS pasca tragedi 9/11. Sebelumnya pemerintah AS mengkondisikan persepsi masyarakatnya untuk percaya bahwa musuh bersama mereka ialah komunisme, persis apa yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap masyarakat Indonesia.

Tapi pasca tragedi 9/11 pemerintah AS menudingkan kelompok Al Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Hingga akhirnya AS mencanangkan kebijakan “war on terrorism” di mana pengaplikasian dari kebijakan tersebut ialah melakukan prventive strike dengan pertimbangan yang unilateralisme untuk menginvasi Afganistan yang dituduh sebagai sarang dari kelmpok Al Qaeda. Karakter AS tersebut dikarenakan rezim yang berkuasa pada saat itu dipengaruhi oleh kelompok nekonservatif yang menghendaki kebijakan luar negeri AS bersifat hawkish.

Pengkondisian terorisme sebagai musuh bersama tak lebih dari upaya kalangan neokonservatif di AS untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Mereka mencari-cari alasan terdapat keterkaitan antara Osama Bin Laden dengan rezim Saddam Hussein di Iraq. Kaitannya, Osama dengan organisasinya Al Qaeda memperoleh pasokan persenjataan dari rezim Saddam untuk menyerang kepentingan AS di seluruh dunia, termasuk WTC dan Pentagon. 

Dengan kata lain, AS berusaha menyetir opini publik internasional melalui media yang mereka kuasai kalau dalang sesungguhnya dibalik peristiwa 9/11 ialah Saddam Hussein.

David Duke berpendapat sebaliknya mengenai tudingan Bush terhadap Taliban dan Iraq terkait dengan terorisme. Ia dengan berani memilih jalur yang berseberangan dengan pendapat mayoritas publik AS dengan menyatakan bahwa Israellah yang semestinya ditempatkan pada posisi puncak sebagai target AS, sebab negara ini telah melakukan tindakan terorisme terhadap bangsa Palestina dan penghinaan secara sadar terhadap rakyat AS. Bagi Duke, " Israel adalah surga teroris dan AS telah diperalat untuk memuaskan hawa nafsunya dengan mensupalai miliaran dolar yang diperoleh dari pajak rakyat AS untuk memenuhi kebutuhan persenjataan canggih yang digunakan untuk melakuakan pembunuhan terhadap bangsa Palestina".

Dari sedikit uraian tadi semoga cakrawala pengetahuan kita terbuka bahwa terorisme menjadi musuh bersama umat manusia merupakan hasil dari pengkondisian pemerintah AS dengan bantuan mendia mainstream. Munculnya asosiasi terorisme dengan Islam juga tak jauh berbeda dengan upaya pengkontruksian tersebut. Bukan bermaksud untuk menghilangakan daftar tindakan terorisme sebagai musuh bersama umat manusia, namun di sini lebih berusaha untuk terorisme bukan hanya tindakan yang dilakukan oleh kalangan penganut agama tertentu, namun lebih dari itu, tindakan terorisme adalah segala bentuk kekerasan dan pembunuhan yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi ini tanpa terpaku pada siapa yang melakukan tindakan tersebut.

Wednesday, October 18, 2017

Neoimprealisme, Senyap dan Tanpa Letusan Peluru



Dalam buku The End of History, Francis Fukuyama menyatakan bahwa dunia bakal mencapai suatu konsensus luar biasa terhadap demokrasi. Dan demokrasi liberal adalah akhir dari evolusi ideologi, pasca runtuhnya berbagai ideologi seperti sitem monarki, komunis, fasisme dan seterusnya. 

Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia) menyebut: Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja.

Inilah era penjajahan gaya baru. Dunia tidak lagi dihiasi oleh Kapitalis versus Monarkie seperti pada PD I, atau membenturkan Kapitalis melawan Fasis dalam PD II, ataupun mengadu antara Kapitalis vs Komunis pada Perang Dingin lalu. Penjajahan gaya baru adalah benturan antara Kapitalis vs Islam (militan) atau antarperadaban Barat vs Islam seperti yang dikatakan Samuel P Huntington.

Sejak Perang Dunia (PD l), PD II dan Perang Dingin dalam koridor penjajahan kuno atau kolonialisme purba ternyata belum berakhir. Konflik sektarian. Ia masih dianggap sebagai strategi tepat guna “mengaduk-aduk” negara target kolönialisme di beberapa negara, terutama negara berciri pluralistik, heterogen dan pernah memiliki sejarah kelam konflik ideologi seperti Indonesia.

Ya, apabila ciri utama penjahan purba itu menduduki lalu merampas sumber daya alam sebuah bangsa berpola konvensional ala militer yakni Bombardier – Kavaleri – Infanteri (BKI), maka penjajahan gaya baru berjalan senyap dengan pola nirmiliter. Isu – Tema – Skema (ITS). Tanpa letusan peluru tetapi mampu merampas kehidupan bangsa yang ditarget. Istilahnya “menyerang dari sisi internal,” langsung menukik pada sistem negara (peraturan dan per-UU-an).

Pada era ini, peran menggunakan militer dikurangi namun bukan berarti tak berfungsi, Indonesia contohnya, meski sistem (UU) yang ada telah dan cenderung membawa kekayaan bangsa ini lari keluar, tetapi dari sisi eksternal masih dikepung secara simetris. Faktanya, Ada sekitar 13-an pangkalan militer Amerika dan sekutu mengepung Indonesia. Artinya, pola militer dan nonmiliter nantinya bakal dimainkan secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung situasi.

Sejarah berulang. Tatkala era penjajahan purba, masyarakat dunia dan negara-negara yang terlibat disibukkan dalam rangka penyiapan dan antisipasi pola BKI (bombardier, kavaleri dan infanteri) demikian pula di era penjajahan gaya baru. Meski tanpa asap mesiu, publik global digaduhkan oleh pola ITS (Isu, tema dan skema)

Ditebar isu konflik antarmazhab, gaduh! Disebar isu flu burung, ramai! Demikian seterusnya. Segenap komponen bangsa di negara target kolonialisme, lazimnya dibuat lupa dan abai bahwa ujung kegaduhan tersebut adalah mencaplok geoekonomi yang intinya penguasaan pangan dan ketahanan energi.

“Berapa juta ton emas Papua telah digali, sedang tak sedikit warganya masih memakai koteka? Berapa juta barel minyak dan gas Indonesia disedot, sementara kita malah impor? tidak ketinggalan dibidang pangan/sembako misalnya, atau kelautan, kehutanan, pertanian, perkebunan, dll"

Inilah ironi bagi bangsa Indonesia. Negara yang katanya memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada namun justru mengimpor garam, sebuah negeri yang katanya agraris dan beriklim tropis dengan curah hujan tinggi tetapi impor ubi kayu dan jagung?

Kristenisasi (Bagian II), Eropa dan Tata Dunia Baru

Dunia Baru harus dieropanisasikan dan penduduknya harus dijadikan penganut agama Kristen

Sebelum Liga Bangsa-Bangsa terbentuk (saat ini PBB), hukum internasional pada hakikatnya merupakan hukum Eropa, yang muncul sebagai kombinasi fakta regional dengan kekuatan material, dan kemudian diubah menjadi suatu hukum yang menguasai semua hubungan internasional. Dengan demikian negara-negara Eropa memproyeksikan kekuatan maupun hukumnya di seluruh dunia sebagai suatu keseluruhan. Justru di sinilah letak ciri khas apa yang dinamakan"Hukum Internasional", baik dari segi inti bahkan juga realitas eksistensinya. Karena secara histori tersebut tidak dapat disebut Hukum Internasional yang diciptakan atas kesepakatan umum, tetapi merupakan Hukum Internasional yang diberikan kepada seluruh dunia oleh satu atau dua kelompok yang dominan. Semua ini merupakan sebab mengapa hukum itu dapat berfungsi sebagai landasan hukum berbagai aspek politik dan ekonomi imprealisme.

Selain itu. Hukum Internasional merupakan juga suatu hukum yang telah melindungi hak-hak istimewa negara-negara Eropa yang beradab, dimana hukum itu memungkinkan penduduk negara-negara bersangkutan menikmati beberapa keuntungan di Dunia Ketiga dengan cara menaklukkan dan menyerang karena dianggap sebagai negara yang tidak beradab.

Atas dasar uraian tersebut diatas, hukum Internasional sendiri terdiri dari empat dasar hukum dengan suatu landasan geografis tertentu (hukum Eropa), inspirasi etik-religius tertentu (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum Merkantilis), dan mempunyai tujuan politik (hukum Imprealis). 

Dalam perjalanan sejarah banyak "Kerajaan Eropa beragama Kristen" berubah menjadi kerajaan merdeka dan tidak dapat dikendalikan; masing-masing kerajaan berusaha memenuhi kepentingan sendiri dengan menggunakan kekuasaan yang tidak terkekang dan tidak terbatas. Kerajaan-Kerajaan ini merupakan ciri khas Kerajaan Romawi Tempo Doeloe. 

Namun dengan ditandatanginya perjajnjian pada tahun 1648 semua upaya itu terhenti, dan sejak saat itu Eropa ditandai dengan kecenderungan hubungan internasional yang baru. Di bawah sistem yang diciptakan oleh perjanjian perdamaian Westphalia, "sistem negara Eropa" telah berhasil mengganti koeksistensi negara-negara Kristen yang mencemaskan. Masalah itu terletak pada perimbangan antara kekuasaan setiap negara secara individual dengan kemajemukan Eropa yang menyangkut desakan kebutuhan agar setiap negara Eropa bersedia menghargai status negara lain. Prinsip keseimbangan antara berbagai negara Eropa jelas tercermin di dalam Perjanjian Utrecht yang di tandatangani pada tahun 1713. Selain itu, perjanjian tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan antara negara Eropa bahwa Dunia Baru harus dieropanisasikan dan penduduknya harus dijadikan penganut agama Kristen (kristenisasi) sebagai lanjutan perang Salib (perang antara penganut ajaran Islma dan Kristen) yang terjadi pada tahun 1095 M.

Bagi Eropa, masyarakat internasional harus dipersempit sehingga menjadi galaksi berbagai negara yang secara bersama membentuk suatu benua yang dimana mempunyai kesamaan kebudayaan dan agama. Hubungan internasional hanya dinyatakan berlaku untuk negara-negara Eropa, atau Amerika Serikat yang terbentuk kemudian dan secara singkat dapat dikatakan bahwa hanya Eropa sendiri yang berhak mengeluarkan surat keterangan kelahiran suatu negara baru.

Ya, Sudah menjadi kenyataan dalam lembar sejarah kehidupan manusia bahwa setiap abad, Eropa berhasil memperoleh sejumlah koloni pada abad 16, bahkan saat ini mereka bisa dikatakan sebagai pemegang kendali kehidupan ummat manusia dengan dalih berbagai macam bentuk atau modus namun kemudian menjadikan mereka sebagai penganut agama Kristen.

Friday, October 6, 2017

Kristenisasi (Bagian I), Penduduk Dunia Ketiga Tidak Layak Hidup!

" Apabila seorang pria dilahirkan di dunia yang serba ada tetapi ternyata tidak memperoleh dari orang tuanya kebutuhan yang berhak dimintanya, dan bila masyarakat merasa tidak memerlukan pekerjaannya, orang itu itu tidak berhak menuntut sepotong makanan pun."  Malthus.


Dewasa ini apa yang digambarkan oleh Malthus diatas ternyata muncul kembali; menurut Profesor Yah Tondon, The Evolution Of The World Economic Order and Possible Responses Of International Organizations, untuk mengenang jasa Malthus sekarang banyak didirikan monumen dalam bentuk berbagai program pembatasan kelahiran di negara-negara berkembang. Demikian pula Susan George, How the Other Half Dies, mengatakan: " Salah satu sasaran utama yang dibidik oleh Dunia Barat dalam melancarkan serangannya terhadap Dunia Ketiga ialah penduduknya sendiri. Jumlah penduduk negara berkembang sudah terlampau banyak, ledakan penduduk di dunia miskin oleh Dunia Barat dijadikan dalih faforit, yang kadang-kadang malah hanya satu-satunya, untuk memberikan gambarang serta alasan tentang kelaparan dunia kepada para pembaca dan pengamat.

Kelompok negara yang sudah maju memang senantiasa berpegang kepada silogisme logika tanpa cacat, yaitu bahwa jumlah sumber daya dunia termaksud persediaan bahan pangan selalu terbatas; penduduk dunia sudah terlalu padat karena tingkat kelahiran di negara-negara miskin sangat tinggi; akibatnya negara tersebut mengalami perkembangan demografi yang luar biasa sehingga terpaksa mengkomsumsikan sumber daya dunia yang lebih banyak, dan akan membahayakan kehidupan seluruh dunia karena tidak mampu memberikan makan kepada sekian banyak penduduk. Kemiskinan dan kelaparan akan dapat diperangi apabila Dunia Ketiga mempraktekkan sistem kontrasepsi.


Jelas bahwa penduduk dunia mengalami pertumbuhan yang sangat mengagumkan. Rupanya setiap bulan "pertambahan jumlah penduduk bumi sama dengan jumlaj seluruh penduduk di Prancis". Pada tahun 1960 meningkat menjadi 3 milyar, dan tahun 1967 semakin bertambah sampai 4 milyar, dan saat ini mencapai 7 milyar. Malah dalam kurung waktu tidak sampai satu abad akan tercapai jumlah yang sangat fantastis, yaitu 30 milyar penduduk.

Problem demografis bukan merupakan masalah yang baru, namun sampai sejauh ini masih belum diambil tindakan yang serius untuk memberikan jawaban yang berarti. Mungkin satu-satunya jawaban yang dapat disodorkan hanyalah pertumbuhan negara yang bersangkutan sendiri ditinjau dari segi ekonomis dan kultural.

Apabila direnungkan lebih dalam, penyebab utama ledakan penduduk bersumber dari tahap perkembangan maupun pembinasaan dan pemerasan/eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok negara kaya terhadap Dunia Ketiga.

Bertambahnya jumlah penduduk dunia yang mencolok di negara-negara miskin lebih disebabkan karena keadaanya masih dalam tahap perkembangan, dan bukan masih mengalami perkembangan karena jumlah penduduknya terlampau banyak.

Di depan Konperensi Kependudukan Dunia yang diselenggarakan oleh PBB di Bukares tanggal 18 sampai 31 Agustus 1974 tempo doeloe, delegasi India secara gamblang menjelaskan bahwa tidak satu cara pun dapat diterapkan untuk menurungkan tingkat kelahiran kecuali bila sebelumnya telah didukung oleh perkembangan ekonomi dan sosio kultural yang minimun. Untuk menerapkan kebijaksanaan itu diperlukan sejumlah staf yang minimun sudah dilatih untuk menangani masalah kesehatan, sosial kultural dan lain-lainnya. Dengan memanfaatkan tenaga itu sampai tingkat tertentu niscaya akan tercapai perkembangan baru.

Dalam Konperensi Kependudukan tersebut. Pertentangan pendapat yang menggema antara delegasi Cina dan delegasi vatikan. Menurut delegasi Cina: "manusia merupakan benda yang paling berharga," sedangkan pihak delegasi Vatikan mengatakan bahwa " problem kependudukan Dunia lebih diakibatkan oleh sifat egoisme kaum yang kaya, dan bukan karena kesuburan golongan miskin.

Problem-problem distribusi penduduk menurut laporan Dag Hammerskjold, What Now? mengatakan " Dengan dilandasi oleh asumsi bahwa jumlah sumber daya yang sangat terbatas, dalam setiap pembahasam yang cermat pertama-tama harus dapat diketahui siapa yang selama ini menghabiskan sumber daya dan untuk apa sumber daya itu dimanfaatkan. Sampai sekarang ekonomi pasaran industri yang hanya mewakili 18% dari seluruh penduduk dunia ternyata mengkonsumsikam 68% 9 bahan mineral dasar (kecuali minyak). Padahal Dunia Ketiga yang menghuni atau mewakili 50% jumlah seluruh penduduk dunia hanya menghabiskan 6%. Dalam hal ini jelas tekanan terhadap sumber daya memang rill dan kompleks, namun tidak banyak sangkut pautnya dengan tekanan demografi itu sendiri. Paling tepat bila dikatakan bahwa gaya konsumsi yang diperagakan oleh negara-negara industri tidak mungkin dicegah apabila 4 atau 10 milyar manusia berusaha mencarinya, walaupun hal ini merupakan salah satu argumen yang dapat dijadikan landasan untuk mengubah gaya konsumsi masyarakat industri, dan bukan sebagai dasar untuk memberi saran kepada golongan miskin agar menurunkan angka kelahirannya."

Sebagaimana yang pernah dikatakan Susan George, How the Other Half Dies, yang menguraikam secara jelas bahwa kelaparan tidak disebabkan oleh pertambahan penduduk dan bahwa kedua masalah itu mencerminkan kegagalan sistem politik dan sosial dunia pada umumnya.

"Dunia Barat sebenarnya tidak perlu menyebutkan bagaimana keadaan kehidupan separuh jumlah penduduk dunia dan berapa bayi yang dilahirkan. Tetapi sebaliknya kepada kita malah harus diberi saran untuk meneliti kembali berbagai motif yang selama ini sudah mempengaruhi perasaan kita sendiri. Sudah tentu Dunia Barat takut dan cemas karena pada suatu saat semakin banyak jumlah penduduk di Dunia Ketiga akan menuntut hak mereka dan sekaligus mendesak agar golongan kaya menurunkan standar kehidupannya. Selain itu, ketakutan yang hadir bagi Dunia Barat ialah karena tekanan kependudukan pada akhirnya akan menunjukkan bahwa satu-satunya pemecahan yang dapat dicapai ialah REVOLUSI" Susan George.

Tuesday, October 3, 2017

Geisha dan Sang Proklamator, Kisah Cinta Dari Pampasan Perang (Bagian I)



Geisha Jepang "Nemoto Naoko" atau Ratna Sari Dewi
Dengan Presiden Soekarno

6 Juni 1959, Presiden Soekarno kembali ke Jepang, dan pada 16 Juni, Kubo Masao, Seorang Direktur perusahaan dagang dan kosntruksi sekaligus mantan pengawal khusus Soekarno ketika berkunjung ke Jepang memperkenalkan seorang gadis kabaret berusia sembilan belas tahun bernama Nemoto Naoko (Nama Asli Ratna Sari Dewi, Istri Ke-6 Presiden Soekarno). Menurut catatan "Nemoto Naoko, Daitoryo Fujin, hlm 118" sendiri, Nona Nemoto berjumpa dengan Presiden Soekarno dua kali di Hotel Imperial sebelum keberangkatannya.

Pasca pertemuan awal Presiden Soekarno dan Nemoto Naoko di Jepang, Dari Jakarta, Soekarno mengirimkan surat-surat "bernada mesra" kepada Nona Nemoto melalui kedutaan Besar Indonesia di Tokyo. Mereka saling berkirim surat beberapa kali, sebelum Soekano, dalam sebuah surat tertanggal 18 Agustus, megundang Nona Nemoto ke Indonesia untuk berkunjung selama dua minggu. 

Pada 14 September, Nona Nemoto berangkat ke Indonesia dengan menyamar sebagai karyawan Tonichi (nama perusahaan Kubo Masao) dan ditemani oleh Kubo sendiri. Setelah tiba di Jakarta pada 15 september, dia baru menyadari seperti yang ditulisnya kemudian, bahwa Kubo memanfaatkan diriya untuk melancarkan usaha bisnisnya di Indonesia. Kubo menyangkal pada tahun 1966 bahwa dia telah memanfaatkan Nona Nemoto untuk mendapatkan bantuan, walaupun dia mengakui bahwa perusahaannya telah menyediakan perumahan untuknya di Jakarta yang dikatakannya merupakan tempat Soekarno dapat mengunjunginya.

Kedatangan Nona Nemoto di Indonesia merupakan suatu tantangan bagi suluruh istri Soekarno terutama istri ketiga bernama Fatmawati (Ibu Presiden ke-4 Indonesia, Megawati Soekarno Putri). Karna menolak dipoligami, akhirnya pada 30 september 1959, sang istri ketiga ini melakukan bunuh diri di Jakarta ketika Nona Nemoto dan Soekarno sedang mengunjungi Bali.



Antara 1960 dan 1963 Kubo Masao menerima empat kontrak pampasan (pampasan perang merupakan pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material) yang sangat besar. Orang mungkin akan curiga bahwa ini merupakan hasil usaha memperkenalkan Nona Nemoto kepada Soekarno. Pada 1961, Kubo membangun gedung wisma Indonesia berlantai empat di Tokyo. Dia juga memenangkan sebuah kontrak untuk memperluas gedung Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo dengan dana pampasan pada tahun 1960 serta untuk meyediakan kapal patroli dan sebagaian peralatan serta fasilitas untuk tiga hotel yang dibangun di Bali, Yogyakarta (Jawa Tengah), dan pelabuhan untuk Ratu (Jawa Barat). 

Selain kontrak pampasan diatas, Kubo mendapatkan hak untuk membangun sebuah wisma tamu di istana kepresidenan, Monumen Nasional, dan sebuah menara transmisi televisi, semuanya di Jakarta. Monumen Nasional atau apa yang kemudian dikenal sebagai Monas, menjadi salah satu "Proyek Mercu Suar" Soekarno. Terletak di tengah lapangan Merdeka di depan istana kepresidenan, Monumen ini merupakan sebuah tugu yang sangat tinggi yang bagian atasnya diberi sebuah lampu emas dan diterangi lampu sorot dari bawah kalau malam.

Perusahaan Dagang Tonichi tampak paling aktif pada tahun 1961. Perusahaan ini mengundang paling sedikit lima belas pejabat tinggi ke jepang pada tahun itu, ketika total jumlah orang Indonesia yang mengunjungi jepang atas undangan organisasi Jepang dan atas persetujuan Kedutaan Besar Indonesia baru berjumlah 31 orang. Pada mulanya Tonichi hanya mempunyai satu perwakilan di Jakarta, tetapi dalam setahun, cabang Jakartanya sudah memiliki sepuluh karyawan Jepang, di antaranya terdapat beberapa "pakar Indonesia" dari masa perang. Jadi pada umumnya orang percaya bahwa pertumbuhan Perusahaan Dagang Tonichi sebagian besar disebabkan oleh hubungan dekta antara Kubo dan Soekarno.

Nona Nemoto tinggal menyendiri di asrama Tonichi di Jakarta, Jauh dari perhatian khalayak ramai. Akan tetapi dia tetap menemani Soekarno dalam berbagai perlawatan luar negerinya, sebagai salah seorang sekretarisnya atau sebagai "Ny Kirishima"....

JF.Kennedy, Nona Nemoto dan Soekarno