Sunday, September 3, 2017

Di Myanmar, Minyak dan Senjata Lebih Berharga Dari Nyawa Manusia


Peper Escobar dalam bukunya yang berjudul "Empire Of Chaos" mengatakan, bahwa politik praktis itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Mencermati tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar tepatnya di Arakan dikala tunas-tunas HAM serta demokrasi telah bermekaran pasca bebasnya Aung San Suu Kyi (13 November 2010), seorang tokoh pro-demokrasi sekaligus penerima Nobel Perdamaian. Namun, ketika Suu Kyi telah bebas dari rumah tahanan oleh militer myanmar selama 15 tahun malah tragedi kemanusiaan terjadi di depan matanya.

Apa yang terjadi di Myanmar, kalau boeh jangan memakai cara pandang kebanyakan manusia saat ini. Semisal, “perang agama” (Islam versus Budha), atau konflik etnis (Rohingya versus Rakhine) di antara sesama warga Arakan sendiri. Selain itu, dalam mengkaji fenomena pembantaian manusia muslim rohingnya di sebuah negeri yang dulu bernama Birma, jangan pula dialihkan saling tuduh etnis mana yang kali pertama menyerang, atau didangkalkan karena dugaan pemerkosaan seorang wanita pemeluk Budha (suku Rakhine) oleh warga Rohingya (Muslim), dan lain-lain.

Ingatkah kita konflik di Ambon, Poso, atau konflik yang terjadi di tanah Papua. Jikalau kita mencari sebab awal terjadinya, maka kita akan mendapatkan pemicu atas konfllik yang terjadi, yakni masalah kriminal kemudian dipolitisasi sehingga membesar menjadi konflik komunal.

Dalam ilmu atau kajian geopolitik, konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Apa yang terjadi di Arakan haruslah dipahami skema besarnya. Melihat skema konflik yang ada, yang mengarah pada konflik peradaban, selain mengorbankan warga masyarakat juga membenturkan peradaban. Dan kebetulan dalam konteks di Arakan ini yang memang kondusif adalah isu agama.

Mundur sejenak sebelum tragedi pembantaian di Arakan, pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law (penanaman modal asing) seperti yang ada di Indonesia pada tahun 1967. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing.

Memahami “tragedi kemanusiaan” di Myanmar, mutlak harus dimulai dari penemuan gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal sekitar dekade 2004. Ada data yang menyebutkan bahwa deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun, maka semenjak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal – batas laut Andaman, Thailand menarik perhatian negara-negara. Tercatat Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia menyerbu Myanmar untuk eksplorasi serta eksploitasi penemuan tersebut, disusul AS walau agak belakangan..

Yang patut dicatat dalam “penyerbuan ke Myanmar” ialah geliat Cina. Tekadnya membangun pipa sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal sampai Kunming, Cina Selatan. Luar biasa! Jika kelak pipanisasi seharga 3 miliar dolar AS itu selesai, niscaya seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming.

Lim Tai Wei, analisis dari Institute of International Affairs, Singapura mengatakan, apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut, bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, modal transportasi import minyak Cina dalam jalur sangat aman dan lebih murah.

Pintarnya Cina, selain memanfaatkan pertemuan antar negara-negara di Tepian Sungai Mekong atau sering disebut Greater Subregion Mekong (GSM) di Viantine, Laos, tentang kerjasama ekonomi, sosial, infrastruktur, jalan, irigasi dan pembangkit tenaga listrik, ia juga membangun jalan raya trans-nasional menghubungkan Bangkok dan Yunan dengan dukungan Bank Pembangunan Asia. Mekong memang sungai lintas negara. Alirannya melewati Tibet, Yunnan, Cina – Myanmar – Thailand – Laos – Kamboja dan Vietnam sepanjang 795.000 km. Pada pertemuan GSM sepakat membangun jalan darat sepanjang 1800 km dari Kunming, China menuju Bangkok, Thailand.

Karena kedekatan geografis interaksi yang ada di forum GSM saling menguntungkan, khususnya bagi Cina dan Rusia yang berkepentingan atas pasokan gas dan mineral dari Myanmar, walau Rusia sendiri sebenarnya negara pengeksport minyak, sementara di sisi lain, Militer Myanmar membutuhkan persenjataan dari kedua negara tersebut.

Tak boleh dipungkiri, minyak dan sejata diantara mereka ternyata sudah berjalan puluhan tahun. Ini persis antar Arab Saudi dan Amerika. Kemiripan dua kebijakan dalam wujud riilnya bahwa Cina-Rusia dan AS membutuhkan minyak, sementara Myanmar dan Arab Saudi Cs memerlukan senjata guna menciptakan stabilitas dalam negeri serta menghadapi ancaman kawasan.

Perlu diketahui bahwa pada dekade 1990-an, Cina memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang, dan keperluan militer ke Myanmar lainnya. Empat tahun kemudian, Myanmar memesan lagi kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Dan tahun 2005, dikirim lagi 400 truk militer untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan oleh Myanmar.

Rusia tak mau ketinggalan, ia juga penyuplai senjata ke Myanmar. Data terbaru menunjukkan tahun 2002, Myanmar memesan 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta menyewa pelatih pesawat tempur dengan total nilai US$ 130 juta. Dan sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Bahkan lebih dari itu, Myanmar menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia.

Dan pada bulan April 2004, mereka kembali melakukan kesepakatan selain minyak dan gas bumi, juga kerjasama penanggulangan obat-obat terlarang, trafficking, dan kesepakatan dalam hal menjaga informasi rahasia. Di samping kerjasama-kerjasama tersebut, perusahaan Rusia dan India pada tanggal 15 September 2006 menandatangani kontrak perjanjian bagi hasil dengan perusahaan nasional atau BUMN Myanmar untuk eksplorasi dan penambangan ekstraksi mineral di Mottama Offshore Block M-8.

Dua perusahaan Cina menandatangani kontrak mengelola eksplorasi minyak dan gas pada Blok M di Kyauk-Phru Township dan Blok A-4 di Arakan State. Selain itu telah pula ditandatangani MoU antara Petro Cina dengan junta militer Myanmar pada tanggal 7 Desember 2005 untuk membangun saluran pipa dari Arakan, Myanmar ke Provinsi Yunan di Cina. Ada kontrak bagi hasil eksplorasi antara Kementerian Energi Myanmar dengan perusahaan Cina di Blok No C-1 (Indaw-Yenan Region) dan Blok No C-2 (Shwebo-Monywa Region). Selain Cina, memang ada perusahaan nasional Korea Selatan juga memiliki ijin eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

Dapat disimpulkan bahwa Rusia dan Cina lebih unggul dari AS dalam perebutan ladang-ladang minyak dan gas alam di Myanmar. Selain gagal menerobos struktur domestik, ia kalah dalam mengakses ke Junta Militer. Kelompok Barat, dalam hal ini Perancis dan AS melalui Total hanya menguasai tambang di Adanna, sementara Cevron cuma memiliki 28% saham atas tambang tersebut. Betapa jauh konsesi yang diperoleh AS bila dibanding dengan negara-negara lain, terutama Cina dan Rusia.

Mencermati pola hegemoni AS selama ini, tak boleh lepas dari kajian strategis Deep Stoat tentang penempatan aspek minyak sebagai Agenda Kepentingan Nasional: “jika ingin mengetahui perkembangan dunia, maka ikuti jalur minyak”. Dalam beberapa hal, Cina merupakan rival berat AS sedang Beruang Merah belum dipersepsikan pesaing, dengan alasan usai Perang Dingin yang ditandai runtuhnya Uni Sovyet, bahwa benturan ideologi (komunis versus kapitalis) telah dianggap masa lalu oleh Paman Sam sebab banyak negara kini menerima demokrasi sebagai nilai-nilai universal.

Kenapa Cina dianggap pesaing berat, selain konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional, juga dari waktu ke waktu kompetisi keduanya kerapkali berlangsung ketat dalam penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Itulah penyebab utama.

Membuat perbandingan bangkitnya Beruang Merah dan Negeri Tirai Bambu dari prospektif ancaman hegemoni AS, sepertinya Cina dianggap lebih membahayakan Kepentingan Nasional (minyak) AS. Sekali lagi, selain karena konsumsi minyak, banyak faktor lain dalam perkembangan Cina layak dianggap ancaman, seperti pertumbuhan ekonomi, militer, budaya dan lain-lain. Dalam perspektif hegemoni AS memang, siapapun negara yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung dari luar serta dilemahkan dari sisi internal dengan segala cara.

Berbagai dokumen Pentagon menguak, bahwa persaingan antara Cina dan AS semakin kuat mengental. Project for The New American Century and Its Implications (PNAC) 2002 misalnya, memprediksi persaingan antara AS-Cina meruncing 2017 serta konfrontasi terbuka mungkin tak bisa dielakkan. Kemudian dokumen National Inteligent Council (NIC) 2004 bertajuk Mapping The Global Future, dimana salah satu ramalan adalah Dovod World: “Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia”, dan lain-lain.

Setidaknya sejak kejadian WTC 11 September 2001, AS dan sekutu mendorong militerisasi di Selat Malaka dengan menggandeng militer laut India, Australia, Singapura, Jepang, Thailand dan lain-lain untuk latihan perang-perangan, dengan alasan sebagai kesiapan menanggulangi terorisme global. Bahkan Leon Panetta, Menhan AS menegaskan terus memperkuat posisi di Asia Pasifik dengan cara mengerahkan sebagian besar kapal perangnya di wilayah ini hingga 2020. “Di 2020 Angkatan Laut akan menambah pasukannya dari hari ini pembagian sekitar 50-50% antara Pasifik dan Atlantik menjadi 60-40 antara kedua samudera itu,” katanya. Sebanyak 60% armada tempur akan dikerahkan ke wilayah Asia Pasifik sesuai dengan strategi baru AS untuk menguasai Asia, selaras dengan statemen Barack Obama bahwa wilayah Asia Pasifik merupakan “priotitas utama” (2/7/2012). Cina enteng berpendapat, bahwa militerisasi di Selat Malaka merupakan skenario AS dalam rangka membendung Cina.

perlu diketahui, bahwa peristiwa konflik bagi wilayah yang memiliki kekayaan alam terutama kawasan kaya minyak dan gas bumi hanya bagian dari modus dan pola kolonialisme guna memasuki kedaulatan negara lain. Berbekal isu demokrasi, HAM dan lingkungan hidup yang disebarkan ke wilayah target kemudian disusul metode atau modus-modus lain. Seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir atau Yaman, Suriah dll dimana isu kemiskinan dan korupsi ditebar duluan setelah itu timbul gerakan massa. Saat itu, kemiskinan dan korupsi adalah akiles atau titik kritis yang diolah menjadi tema gerakan para demonstran. Itulah sekilas tahapan strategi negeri adidaya AS di Jalur Sutra.

Kembali ke persoalan tragedi yang terjadi di Arakan, dalam skema global, masyarakat Birma-lah yang sejatinya menjadi korban, atau menjadi obyek semata. Artinya baik melalui HAM, atau berdalih pembiaran, maupun kelak bakal muncul stigma pelanggaran HAM, genosida dan lainnya. Skenario lanjutan kemungkinan memaksa Junta Militer melakukan negoisasi ulang atas berbagai kesepakatan minyak dan gas alam. Atau terburuknya adalah Resolusi PBB yang akan menghadirkan pasukan asing. Itulah kemungkinan skenario yang bakal dijalankan.

Secara substansi, tragedi Arakan hanyalah pemicu belaka, oleh karena skema besar telah dipersiapkan jauh hari. Artinya bila skenario berjalan sukses, maka ibarat sodokan stick bilyar mengenai bola dua sekaligus. Pertama, selain penguasaan pipanisasi dan “merebut” kawasan kaya minyak serta gas bumi, seolah-olah pula legal sebab melalui lembaga internasional (PBB); Kedua ialah membendung Cina dari sisi perairan terutama melalui pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal, terkait perebutan hegemoni para adidaya di Laut Cina Selatan.
Jika di Indonesia Emas lebih berharga dari jutaan ummat manusia (Tragedi Pebantaian PKI) maka di Myanmar, Minyak dan Senjata itu lebih berharga dari nyawa manusia (Muslim Rohingnya), hanya dan demi untuk eksplorasi dan ekspoitasi SDA yang dilakukan oleh negara penghuni dunia I dan II.

http://www.kompasiana.com/muhammad_fadly_08/59ada61712c55b568a5ca5b2/di-myanmar-minyak-dan-senjata-lebih-berharga-dari-nyawa-manusia


No comments:

Post a Comment