Monday, September 4, 2017

Api Sejarah; Ulama dan Santri Tidak Dibutuhkan Di Indonesia!

Mengubah sejarah memang mahal. Tak cuma mahal diongkos karena sulitnya referensi, namun juga biaya membangun kembali mental kaum yang dahulu pernah dijajah bahkan masih terjajah sampai saat ini secara tidak sadar.

Sejarah memang ditulis oleh pemenang. Apalagi kalau pemenangnya dahulu adalah kaum penjajah? Tetapi akurasi kebenarannya wajib dikritisi, dikaji ulang, dll terutama bila ditemukan bukti-bukti baru. Selain itu, sebagaiamana ilmu-ilmu lainnya, sekalipun ilmu Eksakta, tak lepas dari perubahan yang berasal dari hasil penelitian tentang kebenaran ilmunya. sejalan dengan pengaruh zaman tidak hanya mengalami perebuhan penemuan fakta dan interpretasinya. Tetapi juga mengalami perubahan materi penerbitannya.

Membahas sejarah Indonesia, saya teringat dengan asumsi dari Juri Lina, penulis Swedia dalam buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry (2004), “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, antara lain:
1. Kaburkan sejarahnya;
2. Hancurkan bukti-bukti sejarah agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya;
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhur, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Generasi Muda Indonesia terkhusus kaum pelajar yang menganut ajaran Islam saat ini terhinggapi rasa herolessness (kebodohan) merasa tidak memiliki pahlawannya. Dampak dari sistem penulisan Sejarah Indonesia ataupun Museum dan Monumen Nasional, dituliskan atau disajikan bertolak dari dasar pemikiran deislamisasi. Peran para pahlawan yang berasal dari penganut ajaran islam dalam hal ini para Ulama dan Santri tempo doeloe dalam bela negara, bangsa dan agama dipinggirkan dan bahkan ditiadakan. Digantikan oleh para pelaku sejarah yang realitasnya hidupnya menolak bersama Ulama dan Santri dalam membangun kesatuan dan persatuan nasional melawan penjajah.

Realitas penulisan Sejarah Indonesia yang dengan sengaja meminggirkan Islam dengan para mujahidin sebagai pelaku sejarah, sampai detik ini terus dibiarkan. Hal ini sebagai dampak dari para Ulama, Kaum Pelajar, Para santri dan sebagainnya yang lebih mengutamakan atau membahas Sejarah Para Nabi dan Sahabatnya serta membahas Sejarah Timur Tengah. Alhasil, Sejarah para pahlawan yang berasal dari Ulama dan Santri tempo doeloe terlupakan.

Bung Karno dalam bukunya "Dibawah Bendera Revolusi" yang ternyata isinya masih relevan sampai sekarang, pernah berkata bahwa Ulama kurang feeling terhadap sejarah. Ulama kurang perhatiannya terhadap sejarah sebagai tulisan. Tidak pula paham bahwa dengan sejarah akan dapat mengubah alam pikiran manusia pembacanya.

Sejarah sebagai salah satu cabang Ilmu Sosial amatlah perlu mendapatkan perhatian serius dari Ulama, Kaum Pelajar, Para Santri serta ummat Islam Indonesia. Banyak karya sejarah Islam Indonesia dan Dunia Islam pada umumnya, yang beredar di sekitar kita. Namun, banyak pula isinya yang bertentangan dengan apa yang diperjuangkan oleh para Nabi, Sahabat, Ulama tempo doeloe serta ummat Islam. Apalagi, dari dulu dan hingga saat ini Deislamisasi telah dijalankan dalam sejarah Indonesia.

Abdullah bin Nuh (1905 M - 1987 M), seorang ulama sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia pernah berkata bahwa masuknya Islam ke Indonesia semestinya ada di abad ke-7 M. Namun, yang dituliskan dalam lembar sejarah sangat jauh berbeda. Dimundurkan hingga abad ke-13 M. Tidak hanya masalah waktu, tetapi juga dituliskan oleh orang-orang Imprealis, bahwa kehadiran Islam di tengah bangsa dan negara Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan. Karena Islam dinilai menimbulkan banyak kekuasaan Politik Islam atau kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara. Sebaliknya, walaupun kekuasaan politik atau kerajaan Hindu dan Budha tidak terdapat di seluruh pulau Nusantara Indonesia, tetapi ditafsirkan bangsa Indonesia saat itu mengalami zaman kejayaan dan keemasan.

Mereka yang berasal dari negara Imprealis atau mereka yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri tapi belajar dari orang-orang Imprealis menulis sejarah Indonesia yang mengkerdilkan bahkan menghapuskan perjuangan Ulama dan Para Santri tempo doeloe. Karena didasari oleh pelopor perlawanan terhadap para penjajah Barat di Indonesia tiada lain dan tiada bukan para Ulama dan Santri. Ketika imprealis barat, Kerajaan Katolik Portugis (1511 M), dan Kerajaan Protestan Belanda (1619 M), mencoba menguasai Indonesia, selalu dihadang oleh Ulama dan Santri.

Jikalau memang benar, bahwa masa kejayaan pulau Nusantara Indonesia ada pada masa kerajaan Sriwijaya (Budha) dan Majapahit (Hindu), mengapa para negara Imprealis tidak memakai kekuasaan politik kerajaan tersebut? sebab, pada saat itu penjajah Barat tiba di Nusatara, Kedua Kerajaan tersebut sudah tiada. Akibatnya, para penjajah menggunakan POLITIK KRITENISASI, dengan agama Katolik dan Protestan mencoba menjajah Nuantara Indonesia berhadapan dengan Ulama dan Santri serta Sultan yang berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa, negara, dan Islam.

Jika dalam sejarah, setiap gerakan perlawanan terhadap imprealisme, disebut sebagai gerakan nasionalisme, sedangkan dalam sejarah perjuangan mempertahankan Indonesia adalah Ulama dan Santri tempo doeloe sebagai pelopornya. Namun, faktanya tidak dituliskan. Padahal, Ulama dan Santri ada zamannya merupakan kelompok cendikiawan muslim. Kelompok yang seharusnya ada dalam catatan sejarah sebagai pemimpin terdepan ide pengubah sejarah di Nusantara Indonesia.

Mundur sejenak dari kondisi saat ini, untuk mengetahui beberapa perjuangan para Ulama dan Santri yang tidak dituliskan di Lembar Sejarah Perjuangan Indonesia. Tanggal 17 - 24 Juni 1916 di Bandung, Kongres Nasional Serikat Islam Pertama yang merupakan pucuk atau awal mula istilah "Nasional" hadir. Namun, dalam sejarah Indonesia akibat diartikan nasionalisme bukan dari gerakan organisasi Islam, maka istilah nasionalis diperkenalkan oleh Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung , 4 Juli1927. 

Dr. Soekiman Wirjosandjojo (1898 M - 1974 M) merupakan salah satu ulama sekaligus tokoh PII, PSI dan Masyumi yang mempelopori istilah "Indonesia" dengan mengubah Indische Vereniging menjadi Perhimpunan Indonesia yang menjadi akar munculnya kalimat Indonesia Merdeka. Namun, nama dari Dr. Soekiman Wirjosandjojo tidak dituliskan sebagai pelopor pengguna pertama istilah Indonesia dan Indonesia Merdeka dalam masa Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia.

Pada saat Kongres Nasional pertama Serikat Indonesia pula yang mempelopori menuntut Indonesia Merdeka, atau pemerintah sendiri. Namun, fakta sejarah Indonesia yang ada, dituliskan pelopornya adalah Bung Karno di depan pengadilan Kolonial di Bandung pada 1929 M,

Yang lebih aneh lagi. Tanggal jadi organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908), diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal, Sampai dengan Kongres Budi Utomo di Solo 1928 M, menurut A.K Pringgodigjo (1906 M - 1061 M) dalam sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Budi Utomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia.

Sekedar kita ketahui, bahwa Dr. Soetomo sebagai pendiri organisasi Budi Utomo merupakan seseorang yang menganut ajaran Kedjawen atau Jawanisme yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut mayoritas pribumi. Selain itu, Melalui medianya "Djawi Hisworo dan Majalah Bangun" Budi Utomo berani menghina Rasulullah Saw. Namun, Sampai sekarang umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia, tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948 M.

Dan pada akhirnya, kita ketahui bersama. Bahwa sejak dulu dan hingga saat ini, upaya Deislamisasi telah dijalankan secara sistemik dan masif di bumi pertiwi. Sementara masyarakat awam dan para Ulama serta Kaum Pelajar saat ini kurang memperhatikannya. Mungkin kebanyakan kita mengira, penulisan sejarah yang benar adalah yang pernah dituliskan terlebih dahulu oleh sejarawan Barat. Padahal, peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, Hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang telah diletakkan dasarnya oleh para Ulama dan Santri. Oleh karena itu, Wal Tandhur Nafsun Ma Qaddamat Li Ghad - Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu - QS 59 :18. (Prof. K.H Salimuddin Ali Rahman - Api Sejarah).



No comments:

Post a Comment