Pornografi di era modern saat ini terutama pengguna tubuh perempuan di dalamnya tidak terlepas dari ideologi kapitalisme dan patriarki itu sendiri, yang menjadikan perempuan sebagai objek komoditi diberbagai tingkatannya.
Pembentukan perempuan sebagai objek tidak hanya terjadi pada tingkat sistem bahasa, akan tetapi juga pada tingkat realisasi penggunaan bahas, yaitu pada tingkat wacana. Sebagaimana dikatakan Terry Threadgold, "makna, sistem ide, sistem kepercayaan, serta ideologi dikonstruksi di dalam discourse, yang berfungsi untuk melanggengkan relasi-relasi kekuasaan yang ada".
Perbincangan mengenai relasi ideologi di dalam proses komodifikasi dan peren pornografi di dalamnya, tidak dapat di lepaskan dari kritik budaya terhadap komoditi di dalam masyarakat kapitalis, terutama yang dikembangkan oleh kelompok Frankfurt Schoil, W.F Haug, menggambarkan di dalam karya-karyanya, terutama Critique of Commodity Aesthetics (kritik terhadap estetika komoditi), bagaimana perkembangan bentuk-bentuk komoditi modern di dalam masyarakat kapitalis, berkaitan secara langsung dengan domain sensualitas, yaitu bagaimana potensi sensualitas tubuh perempuan digunakan sebagai bagian dari komuditas sosial komoditi.
Hal yang sentral di dalam pemikiran kelompok Frankfurt School tentang komoditi di dalam wacana kapitalisme adalah penciptaan ilusi dan manipulasi sebagai cara untuk mendominasi selera masyarakat, khususnya pengguna efek-efek sensualitas berupa penggunaan tubuh dan organ-organ tubuh perempuan di dalam berbagai wujud komoditi, sebagai kendaraan ekonomi, dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa yang dapat mendorong aktivitas ekonomi.
Kehadiran perempuan di dalam berbagai komunikasi sosial komoditi atau di dalam komoditi tontonan (film, sinetron, video, lawakan, dll) adalah dalam rangka dieksploitasi berbagai potensi sensualitasnya. Acara seperti lawakan misalnya, kadang-kadang dapat menjadi inspirasi efek-efek kelucuan, akan tetapi yang dominan dari kehadiran mereka adalah eksplorasi segala potensi tubuh (sensualitas, erotik, porno) untuk meningkatkan daya tarik lawan. Begitu juga penggunaan perempuan sebagai ilustrasi musik (video clip), seperti yang terdapat pada berbagai video clip, yang fungsi utamanya adalah memberikan nilai-nilai tampilan tubuh.
Teknokrasi sensualitas adalah upaya untuk mengontrol dan mempengaruhi masyarakat lewat keterpesonaan pada penampilam sensualitas yang diproduksi secara artifisial. Nilai guna ilusi seksual terletak pada kepuasan yang diberikan lewat voyeurisme, yaitu kepuasan yang diperoleh melalui mekanisme penglihatan dengan cara melihat tubuh atau citra tubuh sehingga menimbulkan rangsangan atau kepuasan seksual darinya. Oleh karena proses melihat ini sangat menggantunhkan dirinya pada keberadaan citra yang ditangkap oleh kemampuan persepsi, maka kepuasan yang dihasilkannya sesungguhnya tak lebih dari khayalan, disebabkan orang hanya dihadapkan pada citra tubuh itu sendiri; orang hanya ditawarkan kesenangan melihat tubuh, bukan kesenangan tubuh itu sendiri.
Pemenuhan kepuasan hasrat yang bersifat khayal tersebut telah menggiring ke arah sensualitas kondisi manusia, yang disebut Max Scheller, sensualitas otak. Di dalam masyarakat yang dikuasai oleh sensualitas otak, otak manusia didalamnya digiring ke alam pikiran, fantasi, dan imajinasi-imajinasi yang didominasi oleh muatan sensualitas.
Di dalam masyarakat yang dikuasai oleh sensualitas otak, tubuh perempuan dieksploitasi sebagai pekerja simbolik dan tanda-tandanya sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat mengembara di dalam berbagai fantasi dan obsesinya, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh perempuan sebagai objek kepuasannya. Di dalamnya, perempuan diposisikan sebagai objek pembawa makna, bukan sebagai pencipta makna. Artinya, tubuh perempuan ditempatkan di dalam posisi-posisi tertentu, oleh pihak lain yang menguasainya, bukan oleh dirinya sendiri.
Dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh, komoditi menawarkan berbagai kemungkinan kesenangan. Salah satu bentuk kesenangan ini adalah scopophilia, yaitu kesenangan menjadikan orang lain sebagai objek, yang dapat mengundang rasa ingin tahu yang beesifat seksualitas.
Dalam relasi subjek dan objek di dalam masyarakat modern saat ini, pornografi merupakan sebuah contoh wacana, yang dijadikan sebagai kendaraan bagi naturalisasi ideologi patriarki, yang di dalamnya hasrat dan kepuasan perempuan dikendalikan oleh kekuatan produksi yang didominasi laki-laki.
Pornografi lewat bahasa tanda mengkonstruksi secara sosial laki-laki sebagai yang aktif dan kuasa, dan perempuan sebagai yang pasif dan tunduk. Di dalamnya terjadi semacam objektifitas perempuan secara sistematis untuk kepentingan laki-laki. Dalam pengertian inilah, ideologi patriarki dapat dikatakan sudah inheren di dalam ideologi kapitalisme itu sendiri, disebabkan kapitalisme memposisikan perempuan di dalam relasi idiologis sebagai komoditi, yang menempatkannya pada posisi objek dan laki-laki sebagai subjek.
Perempuan, dengan demikian, dalam sistem pornografi kapitalistik menjadi korban dari komodifikasi pasif, yaitu eksploitasi dirinya oleh pihak lain (laki-laki) untuk kesenangan pihak lain tersebut.
Di dalam pornografi, perempuan memang berperan sebagai sentral, akan tetapi sentral hanya pada posisi subordinasi, yaitu pada posisi tidak berkuasa untuk mengendalikan dunia tersebut. Sebagai objek komoditi pada umumnya seperti juga di dunia prostitusi dan pornografi, kehadiran perempuan diutamakan sifat kemudaan, kesegaran, dan kecantikan, yang membutuhkan semacam perawatan intensif dan penggunaan semiotika tubuh terus menerus.
No comments:
Post a Comment