Monday, September 11, 2017

Menuju Kematian Kota

Setaip pertumbuhan kota tidak selalu bersifat positif,
namun juga negatif; tidak selalu mengundang optimisme, tetapi juga pesimisme

Tentang Kota, sebagai sesuatu yang hidup, mengalami perubahan, perkembangan, pembiakan, metamorfosis, perkawinan, perceraian, transformasi, bahkan mutasi. Sebuah kota lahir, bertumbuh, membesar, dewasa, menua bahkan mengalami kematian, layaknya manusia. Potret sebuah kota merupakan potret dari masyarakatnya. Artinya, perubahan kota menandai perubahan manusia di dalamnya.

Kota cenderung bertumbuh ke arah yang lebih kompleks. Kota berevolusi ke arah kompleksitas yang lebih tinggi. Dalam kompleksitas itu, tempat, ruang, dan relasi manusia di dalam kota juga mengalami kompleksitas. Ketika pertumbuhan kota tak terkendali lagi, yaitu ketika kompleksitasnya tidak dapat lagi dipahami dan dimaknai, maka kota akan menimbulkan berbagai masalah (kemacetan, limbah, polusi udara, pengangguran, gelandangan, sampah, kelangkaan air bersih, kriminalitas dll). Kota lalu berubah dari order menjadi disorder; dari keberaturan menjadi chaos.

Kota bukanlah ruang kosong, tanpa relasi dan tanpa makna, perbincangan kota sekaligus adalah perbincangan tentang apa yang bukan kota. Kota diperbincangkan berdasarkan prinsip perbedaan atau pembedaan. Ada pembedaan kota/desa, kota/kota, subkota/subkota. Ada juga pembedaan kota berdasarkan besaran dan skala: kota , metropolis, megapolis.

Ada banyak cara pembedaan kota. Pembedaan kota tidal saja pembedaan fisik, tetapi juga pembedaan isi, konsep atau makna. Ada perbedaan makna atau konotasi di balik realitas fisik desa dan kota. Perbedaan semantika kota/desa itu biasanya dibangun berlandaskan prinsip oposisi biner.

Di era informasi dewasa ini, perbedaan kota dan desa tidak setajam pada era sebelumnya. Ini disebabkan oleh perkembangan teknologi transportasi, komunikasi, informasi dan hiburan yang kini telah melampaui batas-batas kota/desa. Dengan berkembangnya berbagai teknologi mutakhir (pesawat, mobil, televisi, internet, film) kota semakin menyatu dengan desa, bukan secara fisik, tetapi secara semantik, bahwa makna kota dan desa kini semakin kabur.

Tidak saja ada oposisi biner kota/desa, akan tetapi juga oposisi biner antara unsur-unsur di dalam kota sendiri, khususnya oposisi biner makna semantiknya. Di dalam sebuah kota dibedakan antara: elit/popular, utara/selatan, atas/bawah, high/low, upper town/down town.

Kota merupakan sebuah fenomena politik, yaitu politik kota yang disebabkan di dalam kota beroperasi berbagai bentuk relasi kekuasaan: di dalamnya berlangsung berbagai dominasi kelompok atas kelompok lainnya; di dalamnya ada perebutan kekuasaan terus menerus di antara kelompok-kelompok sosial. Kota juga merupakan sebuab ruang yang di dalamnya terjadi segmentasi manusia berdasarkan kelompok sosial, politik, profesi, etnisitas, dan budaya. Di dalam kota, dengan demikian, berlangsung semacam politik segmentasi, yang melaluinya manusia kota dijadikan segmen-segmen sosial, berdasarkan motivasi, kepentingan dan fungsi tertentu.

Transformasi potret kota dari konvensional, ke arah kota kapitalistik dan kini ke arah kota digital, telah mengubah pula manusia yang hidup di dalamnya. Wajah manusia kota merupakan cermin dari wajah kotanya, dan sebaliknya. Manusia membangun dan mengubah kota, dan bersama perubahan itu berubah pula wajah manusianya.

Wajah manusia kota merupakan cermin dari wajah kotanya

Karena kota meniscayakan perubahan, pertumbuhan, transformasi, bahkan bermutasi tanpa henti ke arah yang lebih kompleks dari sebelumnya: dari kota arsitektur menjadi kota digital; dari kota sejuk menjadi kota panas; dari kota pendidikan menjadi kota industri; dan dari metropolitan menjadi magapolitan.

Akan tetapi, Setaip pertumbuhan kota tidak selalu bersifat positif, namun juga negatif; tidak selalu mengundang optimisme, tetapi juga pesimisme. Pada umumnya selalu ada dilema dan paradoks dalam pertumbuhan kota: paradoks antara kemajuan dan kemunduran, antara perbaikan dan perusakan, antara konstruksi dan dekonstruksi.



Banyak kota-kota besar di Indonesia mengalami paradoks yang sama. Berbagai pertumbuhan industri, ekonomi, perdagangan, pariwisata, perumahan yang pesat telah membawa berbagai masalah kota. Bersamaan dengan perubahan kota itu, berubah pula karakter manusianya yang cenderung lebih individualis, egois, hedonis, narsistik, konsumeris, soliter, dan anti sosial.

Selain itu, perkembangan teknologi informasi, yang kini memenuhi wajah kota telah mengubah secara fundamental dimensi dan makna kota bagi manusia. Ada berbagai dimensi fundamental yang menjadi pilar sebuah kota, seperti dimensi tempat, ruang, sudut, jalan kini telah kehilangan maknanya, di ambil alih oleh subtitusi-subtitusinya yang bersifat artifisial lewat teknologi informasi. Dan pada akhirnya, sebuah kota akan menuju pada kehancuran.


No comments:

Post a Comment