Survei Membuktikan... "Tubuh perempuan sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditi atau tubuh itu sendiri sebagai komoditi tontonan" |
Ada pertanyaan yang menggelitik tentang perempuan saat ini, mengapa dalam setiap literatur atau referensi pembahasan tentang perempuan yang tertulis dalam buku kebanyakan penulisnya pria? Adakah semacam perasaan simpati, toleransi, emansipati, keberpihakan, atau hanya sekedar rasa kasihan untuk perempuan? Atau, apakah ini merupakan satu bentuk legitimasi idiologi "man dominated world" atau patriarki yang di dalamnya terjadi semacam dominasi dan sekaligus ketimpangan peran sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan?
Persoalan yang kerap sekali dikemukakan dalam perbincangan atau diskusi mengenai perananan perempuan di dalam masyarakat bahwa perempuan tidak berperan dominan di dalam bidang produksi (ekonomi dan industrialisasi), Selain itu, perempuan kerap kali dianggap merginal di dalam bidang produksi. Asumsinya, bahwa mereka marginal di dalam bidang ekonomi, apalagi mengenai industri karena mereka dominan dalam tontonan. Marginalisasi perempuan di dalam bidang produksi dan dominasi mereka sebagai objek tontonan sering menjadi ideologi utama media-media terutama di bumi pertiwi ini.
Erica Carter dalam bukunya Die Konsumgesellschaft in Deutschland (masyarakat konsumen jerman) mengatakan bahwa perempuan itu marginal dan subordinat di dalam bidang budaya kerja maskulin (kelas pekerja), akan tetapi mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat patriarki untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai objek konsumen atau tontonan dan sebagai subjek konsumsi. Pria identik dengan produksi sedangkan perempuan identik dengan konsumsi (belanja, mall, dapur).
Di dalam kondisi ketimpangan peran tersebut, yang kemudian berkembang adalah seksisme dalam kebudayaan. Tentang seksisme, adalah sebuah pertanyaan tentang relasi kekuasaan di antara kelompok seks. Penggunaan kekuasaan ini untuk mempertahankan hegemoni budaya sebagai bagian dari wacana media yang bersifat patriarki.
Hanya sebuah iklan mesin air |
Istilah bekerja di dalam masyarakat patriarki mempunyai konotasi maskulin. Bekerja secara rasional dibatasi oleh waktu, misalnya delapan jam sehari. Sementara, perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga selama hampir sepanjang hari dan sepanjang waktu (mencuci, memasak, menyapu, mengasuh anak) tidak dikatakan bekerja. Produk hasil pekerjaan ibu rumah tangga digunakan secara langsung oleh keluarga bukan untuk diperjualbelikan. Akan tetapi, mereka tidak pernah dibayar untuk setiap pekerjaanya. Mereka hanya dibayar terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang menjadikan mereka sebagai komoditi di dalam ekonomi, sebagai industri citraan, hiburan dan tontonan.
Di dalam masyarakat tontonan, perempuan mempunyai fungsi dominan sebagai pebentuk citra dan tanda komoditi (sales girl, cover girl, model girl dll). Masyarakat tontonan, menurut Guy Debord adalah masyarakat yang di dalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi tersebut menjadi tontonan.
Di dalam mayarakat tontonan pula. Tubuh perempuan sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditi atau tubuh itu sendiri sebagai komoditi tontonan mempunyai peran yang sangat sentral. Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan merupakan jembatan atau jalan pintas untuk memasuki pintu gerbang dunia budaya populer, untuk mencari popularitas, untuk mengejar gaya hidup, dan untuk memenuhi kepuasaan material, tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya telah dikonstruk secara sosial untuk berada di dunia marginal, dunia objek, dunia citra, dunia komoditi. Inilah yang dilakukan oleh sebagian besar bintang-bintang film terutama bernuansa "panas" akhir-akhir ini di bumi pertiwi.
Film Horor Di Indonesia |
Sejarah tubuh perempuan itu sendiri di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraan tubuh sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Fungsi tubuh telah bergeser dari fungsi organis/biologis/reproduktif ke arah fungsi tanda. Ekonomi kapitalisme mutakhir telah berubah ke arah penggunaan tubuh dan hasrat sebagai titik sentral komoditi, yang disebut dengan komoditi libido. Alhasil, Tubuh menjadi bagian dari semiotika komoditi industrialisasi.
Pada era keterbukaan (kemajuan teknologi) saat ini, dalam membaca masa depan atau keberadaan perempuan ditengah-tengah masyarakat, terutama yang berkaitan dengan media, perlu kiranya para perempuan membuat sebuah rancangan. Sebuah rancangan yang membawa perempuan harus menempatkan citra dirinya secara lebih aktif, produktif, dan lebih adil di dalam percaturan media. Bila dalam rancangan masa depan, perempuan tetap mengambil peran sebagai perayu di dalam media, maka identitas perempuan sebagai bagian komoditi (menjual tubuh) akan selalu hadir bagaikan rumput liar.
No comments:
Post a Comment